Saat mengingat-ingat masa kecil, yang saya lihat hanyalah bayangan samar-samar, ingatan itu tak pernah utuh. Ibu dan ayah mungkin akan lebih teliti dan fasih saat bercerita tentang masa kecil saya. Hanya tertinggal beberapa momen penting, atau genting, yang berbekas di memori.
Misalnya saat mbah kakung menawarkan segelas air kelapa, yang saya tolak dan bilang tidak enak. Saya menyesalinya karena beberapa waktu setelah itu mbah meninggal. Ada lagi yang saya ingat, kenangan-kenangan saat belajar mengaji bersama mas dan mbak.
Tempat ngaji pertama saya dekat rumah, tak sampai lima menit jalan kaki. Saya pakai buku Iqra, dan hanya mentok sampai jilid 3. Lalu ustad di sana pindah keluar kota, tempat ngaji saya ganti ke masjid yang agak jauh. Kalau jalan kaki bisa seperempat jam. Saya belum sampai khatam ngaji buku Iqra, keburu keluar. Alasannya cuma karena jauh, dan saya tak lagi berangkat ngaji.
Lalu ayah memanggil ustad ke rumah, yang ternyata muridnya, biar anak-anaknya yang bandel ini bisa ngaji. Mas Firman namanya. Beliau langsung mengajari kami baca Alquran, dan saya sempat kelimpungan. Saya bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk membaca habis dua-tiga baris.
Karena masih anak kecil, saya sampai mikir kalau saya tidak ada bakat baca Alquran. Sampai suatu waktu Mas Firman datang ke rumah, pintu depan tidak saya bukakan. Lalu saya ngumpet dalam kamar. Durhaka betul kalau diingat-ingat lagi.
Mungkin untuk penebusan dosa, saya memilih untuk mondok selulusnya dari sd. Ayah mengirim saya ke Singosari buat nyantri selama 6 tahun di sana. Saya belajar membaca Alquran dari awal. Sebelum dibagi per kelas, santri baru diajari untuk membaca surat Al-Fatihah.
Saya cukup percaya diri awalnya. Meski bacaan Alquran saya belepotan, tapi Al-Fatihah kan selalu saya ulang bertahun-tahun sejak saya mulai salat. Dugaan saya salah. Di pondok itu, saya sadar bacaan Al-Fatihah saya—yang saya kira cukup fasih—ternyata berantakan.
Lalu, berapa waktu yang dibutuhkan santri baru untuk kelas persiapan itu? Untuk membaca Al Fatihah dengan benar, satu bulan. Barulah kami dibagi per kelas, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Saya balik lagi ke jilid 1. Jilid 1 itu sama dengan belajar mengeja I-NI BU-DI, I-NI I-BU BU-DI dalam kelas membaca.
Ada 6 jilid sebelum saya bisa masuk kelas membaca Alquran. Setiap habis satu jilid, kami diuji untuk naik ke jilid berikutnya. Bagi kami waktu itu, lulus tes kenaikan tingkat sudah seperti dapat doorprize tv berwarna, senangnya minta ampun. Dan karena juga susahnya minta ampun. Mungkin terdengar agak dramatis, tapi begitulah yang terjadi. Kalau ada santri yang mukanya mengerut semalaman, boleh jadi sedang tanggal tua dan kirimannya terlambat datang, atau boleh jadi ia tidak lulus tes kenaikan tingkat.
Sebenarnya apa yang begitu susah dari belajar membaca Alquran—selain beraksara Arab? Tajwid, atau cara membaca Alquran dengan baik. Ilmu tajwid ini nanti bakal membahas tentang makhraj, sifat huruf, hubungan antar huruf, panjang-pendek huruf, sampai kapan harus memulai dan menghentikan bacaan.
Makhraj adalah tempat keluarnya bunyi dari setiap huruf, artikulasi. Ada huruf-huruf yang keluar dari kerongkongan (halqi), lidah (lisani), bibir (syafawi), rongga mulut (jaufi), dan rongga hidung (khaisyum).
Ini dalam prakteknya sungguh payah. Misalnya huruf jim (ج), saat melafalkannya, bagian tengah lidah mesti menekan langit-langit rongga mulut. Indikator berhasilnya: sampai tak ada angin yang keluar saat membaca. Cara mengeceknya? Telapak tangan dihadapkan depan mulut. Kalau masih ada angin yang meniup di tangan, berarti pelafalan huruf jim masih kurang fasih. Sedangkan masih ada 28 huruf lagi dengan cara baca masing-masing.
Belum lagi setiap huruf punya sifat. Ada yang dibunyikan sambil bersamaan mengembuskan nafas, seperti berbisik (hams). Ada lagi yang sambil menahan nafas (jahr). Ada yang dibunyikan dengan kuat sambil seakan-akan menahan suaranya (syiddah). Ada lagi yang lembut (rakhawah). Dan banyak lagi yang saya sudah lupa-lupa ingat sebutannya.
Belajar membaca Alquran masa-masa itu sungguh seperti melatih teknik vokal dan pernafasan. Bolak-balik mantra ini kami dengar dari ustad: mangap, meringis, mencucu! Maksudnya, kalau melafalkan huruf vokal harus jelas. Bila ada huruf berharakat fathah, mesti mangap sehingga jelas bunyi A-nya. Kalau berharakat kasrah, harus meringis. Kalau dhummah, mencucu. Sehingga misalnya kami membaca hamdalah, bunyinya jelas alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, bukan alhamdo lellaahe rabbel ‘aalameen.
Saya merampungkan ngaji Alquran bin-nadzor (sambil membaca mushaf, bukan hafalan) setelah dua tahun di pondok. Itu tergolong cepat. Kebanyakan yang lain mesti menempuh waktu tiga tahun, empat, bahkan ada yang lima tahun.
Hari ini saya lihat banyak sekali penawaran cara cepat mahir membaca Alquran. Ada yang menjanjikan waktu hitungan minggu sampai hitungan hari. Dan yang lebih hebat lagi, secara otodidak—bisa belajar sendiri di rumah, di kamar, mungkin sambil selimutan. Entah metode seperti apa yang ditawarkan. Namun jelas, tawaran cepat bisa baca Alquran itu terdengar begitu menggiurkan.
Sepanjang pengalaman saya—yang sebagiannya sudah saya ceritakan barusan, saya akan bilang bahwa tak ada metode cepat membaca Alquran, apalagi otodidak. Seperti belajar menyetir, tanpa instruktur mungkin kita bisa mengira-ngira bagaimana mengendarai mobil dari petunjuk-petunjuk di internet. Namun hasilnya bukan menyetir mobil secara andal. Kita sekadar bisa menginjak gas, rem, dan kopling. Baca Alquran dengan fasih juga keterampilan yang membutuhkan seorang guru, dan tempo yang memang lama. Tanpa itu, mungkin kita sekadar bisa membaca transliterasi Alquran.
Bukankah kita juga sudah diberitahu, “Dan bacalah Alquran dengan pelan-pelan dan jelas.” (Al-Muzammil:4) Jadi, tak perlu terburu-buru dalam belajar mengaji. Nikmati saja prosesnya.
BACA JUGA Urusan Ranjang Orang Bukan Untuk Dikenang atau tulisan Agus G. Ahmad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.