Setahu saya ormas yang ini, dari dulu juga ganas. Jadi ingat Anwar Congo, menjerat leher orang diduga komunis dan keturunan Tionghoa dengan kawat sambil joget bahagia, ca… ca… ca…
Ada kawan cerita, warga pasar yang menolak penggusuran di daerahnya diteror oleh ormas yang mengaku paling Pancasila se-Indonesia ini. Tidak heran. Beberapa kali saya juga menghadapi sendiri. Bahkan pernah sebuah kegiatan diskusi yang digelar kawan-kawan akademisi UGM diduduki mereka. Datang ke dalam ruangan sambil ngamuk-ngamuk dan memaksa diskusi dihentikan. Pernah pula pameran lukisan diobrak-abrik oleh mereka dan masih banyak lainnya.
Kabarnya, semua elemen fasis sedang diaktifasi oleh penguasa untuk menjaga kepentingan modal (bisnis penguasa). Dengan dalih menangkal radikalisme, kekerasan akan diintensifikasi untuk memukul rakyat. Semua yang protes pada kebijakan negara pro modal besar akan dimasukan dalam satu folder “musuh negara” yang status politiknya disetarakan dengan HTI.
Jadi, jangan heran. Misal kalau sampai ada rakyat digebuki sampai mati oleh aparat dan ormas paling Indonesia ketimbang kaum republikan perintis kemerdekaan. Tak akan ada yang teriak pelanggaran hukum. “Oh, tidak. Ini demi NKR1”.
Yang sulit justru para santri. Nasibnya paling sial. Paling mengenaskan. Di satu sisi narasi cinta tanah airnya perlu dihargai sebagai modal perjuangan lebih radikal untuk menyelamatkan aset-aset rakyat (dan negara) yg telah dijarah penguasa+pengusaha. Tapi bila tidak cermat, tidak mawas, bisa dengan mudah dijadikan alat pemukul dan bahkan pembunuh mematikan gerakan perjuangan keadilan sosial rakyat Indonesia yang sebagian besarnya secara ekonomi dari kelas yang sama dengan mereka. Yakni para proletar, cadangan buruh murah, dan petani miskin di desa.
Namun kesadaran historisnya masih belum ke sana. Belum menginjak pada problem kemanusiaan abad 21. Analisisnya masih Al Mawardi. Belum merambah studi-studi ekopol dan filsafat politik kontemporer nan rumit sebagai senjata perjuangan rakyat, dan semua orang-orang yang berserak korban pembangunan di berbagai belahan dunia. Karena itu adalah tugas yang tak bisa ditunda lagi mengaktualisasi Aswaja untuk abad 21. Yaitu masuk pada suatu persoalan manusia yang terombang ambing antara perjuangan redistribusi dan perjuangan rekognisi. Antara penghisapan manusia, plus penghancuran bumi dan fasisme negara/agama. Antara ekspansi modal melampaui batas-batas administratif negara bangsa dan kondisi rakyat tertindas seluruh dunia.
Jika tak ada percobaan teoritis dan gerakan. Maka, para santri akan tergagap-gagap memahami situasi dan semua telah serba terlambat. Ladang-ladang telah hilang, diba’ dan barzanji tinggal kenangan, saudara-saudara sekampung telah pergi ditelan kejamnya jaman. Ia, santri hanya tinggal narasi.
Tidak bisa tidak. Beban santri makin berat. Mengapa? Sebab akar kultural orang-orang Nahdliyin, kelak tidak hanya hancur oleh ekspansi keberagamaan takfiri ala HTI dan Ikhwanul muslimin saja, tapi juga yang pasti oleh ekspansi modal ke desa. Tanah beserta keguyuban tahlilan dan diba’an dengan cepat akan dicerabut hingga ke akar-akarnya oleh kapitalisme.
Di sini ada dilema. Di satu sisi pencerabutan kapitalisme membuat kontradiksi kelas lebih terbuka: proletar vs kapitalis. Dan bahkan sesungguhnya memberi peluang besar perjuangan selangkah lebih maju, ketika masyarakat yang telah tercerabut dari fondasi kultural mereka berada satu barisan dengan para buruh manufaktur. Namun di sisi lainnya, sebagai santri, apapun itu, yang secara politik lebih dekat dengan tradisi populis, dan biasa kalengan dengan hidup guyup, pasti akan merasa kesakitan tiada tara ketika fondasi akar kulturalnya berantakan porak-poranda.
Sehubungan dengan narasi NKR1 harga mati. Para santri sudah waktunya untuk mengelaborasi. Jangan sampai, apa yang dulu kakek-kakek kita dahulu lakukan, terulang lagi. 65 tak boleh terulang lagi di Indonesia. Namun sayangnya, ini hanya harapan orang renta. Faktanya, persekutuan jahat pemodal besar, aparatur negara, dan politisi makin mengental dan belum kunjung memudar. Alhasil, seluruh narasi Indonesia kita, Pancasila kita, yang progresif, membebaskan,dan kerakyatan, dijarah habis-habisan oleh mereka untuk menginjak rakyat.
Cukup kakekku saja. Cukup sudah. Kini para santri harus berani menarik garis batas yang tegas bahwa narasi cinta tanah air kita mempunyai akar teologis, dan politis yang berbeda 180% derajat dengan retorika politik para fasis yang merasa paling Pancasila se-Indonesia. Jika tidak, maka kita akan tercebur dalam kubangan comberan yang sama.
Sumpah demi pagi dan petang anugerah Tuhan.
Tiap melihat seragam doreng-doreng seperti ini. Ingatan saya spontan berkelebat pada keluarga yang kakeknya, bapaknya, atau istrinya digorok dengan brutal di tepian jati di desa dan kemudian diiris kupingnya untuk setoran jumlah korban yang telah dijagal atas nama negara.
Berharap para santri memulai terlibat dalam perdebatan negara bangsa dalam puasaran kapitalisme global dan nasib perjuangan multitude di seluruh dunia.
BACA JUGA Indonesia Nggak Butuh Jihad yang Lain Selain Jihad Progresif atau tulisan Roy Murtadho lainnya. Follow Facebook Roy Murtadho.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.