Kasus Holywings baru-baru ini memang ngeri-ngeri sedap. Sejumlah karyawan tersandung kasus, dipolisikan, dan pihak manajemen malah terkesan “cuci tangan”—nggak pasang badan atau belum ada pergerakan untuk membela sedikit pun karyawannya. Paling nggak, itu yang sejauh ini terlihat di permukaan internet.
Wajar saja jika khalayak di media sosial mencak sekaligus misuh melihat bagaimana kasus Holywings ini ditangani. Banyak yang menganggap bahwa, perkara yang dihadapi oleh karyawan Holywings yang berkaitan dengan promo, design grafis, dan unggahan di media sosial yang dianggap melakukan penistaan agama, sebetulnya bisa dicegah sejak dini jika tidak ada persetujuan dari atasan atau pihak manajemen—terkait promo tersebut.
Di sisi lain, karyawan mana yang mau memungkiri bahwa, bekerja di bawah pihak manajemen atau atasan yang ketika ada masalah di tim malah cuci tangan itu memang menyebalkan. Ungkapan, “Nggak semua atasan bisa bersikap layaknya pemimpin. Sebagian di antaranya hanya berlagak sebagai bos,” dalam persoalan Holywings, rasanya memang cukup relate dan nggak berlebihan.
Namun, realitasnya, dalam ruang lingkup yang lebih kecil dan lain persoalan, atasan yang sering kali “cuci tangan” kerap kali ditemui di sebagian kantor lainnya. Bahkan, sulit dihindari. Giliran pencapaian tim dinilai baik dan dapat respons positif dari pihak manajemen, malah membanggakan diri sendiri tanpa mention kinerja tim.
Berbanding terbalik saat ada masalah. Keseluruhan anggota tim yang paling pertama disalahkan. Menunjuk bawahan dengan serampangan. Sedangkan atasan yang dimaksud malah “cuci tangan” dan menyelamatkan diri sendiri.
Gimana rekan-rekan pekerja? Semakin familiar dengan realitas tersebut?
Memang, punya atasan ideal akan selalu menjadi rezeki tersendiri bagi para pekerja. Kriteria seperti: selalu hadir dan bertanggungjawab setiap ada masalah yang harus ditangani, merangkul tim yang butuh bantuan, sampai dengan menyadari bahwa cuti adalah hak setiap pekerja. Menjadi contoh dari atasan yang setidaknya layak diperjuangkan oleh para pekerja.
Atasan yang kerap kali “cuci tangan” saat masalah melanda tim memang sulit dihindari. Jadi, bisa dibilang kasus Holywings ini sebenarnya concern bersama. Namun, tentu saja ada cara yang bisa dilakukan oleh para karyawan agar bisa meminimalisir disalahkan secara serampangan oleh satu atau berbagai pihak—soal tanggung jawab dunia kerja. Konteksnya, karyawan bekerja sesuai dengan SOP perusahaan dan apa yang dikerjakan, melalui approval dari atasan.
Cara pertama dan yang paling utama, jika perintah diajukan secara verbal, dianggap menyimpang, apalagi di luar SOP dan/atau tanggung jawab, pastikan ada email atau pesan tertulis yang bisa dijadikan sebagai bukti—bahwa sebagai karyawan, kita menerima perintah tesebut dari atasan. Termasuk soal persetujuan. FYI, email tersebut bisa dijadikan sebagai bukti bahwa, sebagai karyawan, kita nggak bergerak sendiri tanpa persetujuan. Dan jika sewaktu-waktu ada audit atau penyidikan di perusahaan.
Cara tersebut juga bisa dilakukan dalam menghadapi atasan yang sering kali berlagak lupa atau lepas tanggung jawab saat memberi perintah ini dan itu kepada tim.
Kedua, lakukan kroscek dengan cara bertanya kepada HRD, apakah yang diperintahkan melanggar aturan atau SOP perusahaan? Apakah ada pasal di perusahaan atau UU Ketenagakerjaan yang mengatur tugas tersebut, dan seterusnya, dan seterusnya. Dengan sharing sekaligus kroscek kepada HRD, pekerja bisa punya wawasan tambahan soal apa yang sebaiknya dilakukan sekaligus dihindari di ruang lingkup pekerjaan.
Ketiga, punya kesadaran diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dirasa sensitif, bertentangan dengan norma perusahaan dan/atau sosial. Lantas, bagaimana jika atasan mendesak untuk melakukan hal/tugas yang nyeleneh? Kembali kepada poin pertama dan kedua. Setidaknya, ada usaha yang tetap dilakukan jika sewaktu-waktu terjadi hal yang kurang menyenangkan.
Perlu digarisbawahi, ketiga poin tersebut sangat mungkin dilakukan agar sebagai pekerja, bisa mawas diri jika ada hal yang bertentangan dengan norma di sekitar. Biar nggak kecolongan atau disalahkan secara serampangan tanpa bukti yang jelas. Juga, sebagai bentuk pertahanan diri dan usaha yang dilakukan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, sebagai pekerja.
Memang, tidak ada atasan yang sempurna, sebagaimana tidak ada karyawan yang sempurna. Sebaik-baiknya hubungan antara atasan dan bawahan adalah mutualisme. Bisa saling melengkapi, saling memperjuangkan, dan memberi keuntungan satu sama lain, sebagai sebuah tim. Ya, biar sama-sama bisa berkembang dan tumbuh—baik secara personal maupun profesional.
Sebagai penutup, saya hanya mau bilang, Holywings ra mashoook!
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Hal Tidak Menyenangkan Jadi Warga Kabupaten Lamongan