Pernah dengan melodi Canon? Ia adalah salah satu formula musik yang banyak diikuti musisi dunia.
Baru-baru ini, industri musik di Indonesia digegerkan oleh perseteruan antara Andhika Mahesa dengan musisi asal Kota Gudeg, Tri Suaka. Pasalnya, menurut kabar yang beredar di jagat maya, Tri Suaka beserta Zinidin Zidan yang bersama dalam satu frame video, diduga memparodikan vokalis Kangen Band tersebut dengan cara kurang menyenangkan.
Terlebih, beberapa hari yang lalu, riders Tri Suaka bocor di platform Twitter yang kemudian merambah ke platform media sosial lainnya. Tak ayal, banyak warganet ikut mengomentari hal tersebut. Istilah bahasa gaulnya, dirujak oleh netizen.
Permasalahan kian bergulir dan merembet ke isu royalti. Beberapa musisi buka suara dan mengaku mengalami kerugian lantaran band asal Yogyakarta tersebut ditengarai meng-cover lagu tanpa izin dari pihak yang bersangkutan sebelumnya. Kalau sudah bersinggungan dengan hukum dan berkaitan dengan hak cipta, tentunya masalah ini akan semakin pelik. Di luar peselisihan tersebut, sepertinya memang masih banyak orang awam yang tidak mengerti tentang pentingnya memahami copy right sebelum melangkah lebih lanjut.
Di sini kita tidak akan membicarakan konflik antara pihak-pihak yang telah disebutkan di atas karena kapasitas tentang hal berbau hukum memang bukan ranah saya. Namun, yang jadi perhatian saya untuk dibahas kali ini adalah mengenai strategi marketing dalam industri musik.
Seperti yang kita tahu, hampir tidak ada yang namanya ide murni dari sebuah ciptaan. Yang namanya inspirasi, tentunya datang dari luar diri kreator. Sampai-sampai, ada istilah ATM yang merupakan kependekan dari amati, tiru, serta modifikasi. Tinggal sejauh mana si penemu gagasan tersebut mengembangkan, tidak menjiplak mentah-mentah sumber asli tempat ia menemukan inspirasi. Terlebih, bila ide awalnya sudah mempunyai hak paten, serta meminta izin pihak terkait agar tidak tersandung masalah di kemudian hari.
Apabila kita memundurkan ingatan ke era 2000-an, nama band Weslife tentu tidak asing lagi. Tak hanya kaum milenial yang mengenal band ini. Generasi berikutnya pun mungkin sudah tak asing lagi dengan grup musik yang digawangi oleh pemuda-pemuda asal Irlandia Utara tersebut. Hal ini disebabkan, banyak lagu Westilfe yang bersifat long lasting dan masih enak didengar hingga sekarang.
Bahkan, beberapa tahun lalu ketika mengadakan tur keliling dunia, termasuk Indonesia, konser mereka dipadati oleh pengunjung yang masih fasih menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Mark Feehly dan kawan-kawan. Artinya, base penggemar mereka cukup kuat, termasuk di tanah air.
Namun, tahukah kamu kalau di tahun-tahun awal kemunculannya dulu, Westlife kerap dicibir karena sering membawakan lagu yang sudah terlebih dahulu populer beberapa tahun sebelumnya? Sejumlah lagu yang mendunia merupakan cover musisi lain dan terbilang sukses dibawakan oleh Westilfe antara lain adalah “I Have A Dream” yang melegenda milik grup ABBA, “More Than Words”, “You Raise Me Up”, “Season In The Sun”, “Uptown Girl”, dan “When You Tell Me That You Love Me”-nya Diana Ross. Lambat laun, ejekan terhadap boyband pencetak hits tersebut berangsur berubah menjadi pujian karena mereka sanggup membuktikan kualitas diri dan bisa bertahan sangat lama dari gerusan zaman.
Di luar seluk beluk jalur hukumnya, strategi marketing seperti ini sudah banyak dilakukan. Siapa yang tidak kenal Canon Pachelbel? Kalau belum mengerti, setidaknya sekali dalam hidup kita pasti pernah mendengar nada syahdunya yang mendunia. Melodi Canon diduga diciptakan untuk mengiringi prosesi pernikahan ini dibuat oleh Johann Pachebell. Sejak pertama kali dipublikasikan pada 1919, lagu Canon menjadi sangat terkenal dan sering dimainkan di event wedding. Saking fenomenalnya, Canon menjadi banyak inspirasi bagi para musisi hingga saat ini.
Melihat kesuksesan Canon, kunci utama dari menciptakan lagu adalah menimbulkan eargasm yaitu euphoria serta perasaan menyenangkan yang menyeruak ketika mendengarkan sebuah lagu. Di samping itu, sinyal pencapaian lain sebuah lagu adalah bisa menimbulkan earworms. Ini adalah istilah yang menggambarkan di mana sebuah lagu yang baru saja didengarkan akan terngiang-ngiang di telinga meskipun lagu tersebut sudah tidak diputar.
Canon memiliki kedua kekuatan tersebut. Tak heran jika band tersohor sekelas Maroon 5 pun turut menyisipkan melodi Canon dalam lagu mereka yang bertajuk “Memories“. Sesuai dugaan, lagu tersebut pun meledak di pasaran dan banyak diputar di berbagai tempat seperti pusat perbelanjaan.
Selain Maroon 5, Shane Filan yang merupakan pentolan Westlife turut menyertakan nuansa music Canon pada single-nya yang berjudul “Beautiful In White”. Akibatnya, lagu yang berlirik pujian terhadap pasangan tersebut kerap kali dimainkan dalam momen pernikahan.
Jauh sebelum Adam Levine dan Shane Filan menyanyikan lagu dengan sentuhan Canon, seorang penyanyi asal Amerika bernama Collen Ann telah menggunakan Canon untuk lagu yang dibawakannya. Penyanyi perempuan dengan nama panggung Vitamin C tersebut meraih kesuksesan dengan lagu “Graduation” (Friends Forever) yang menyelipkan melodi Canon.
Melihat ketiga musisi di atas lantas timbul pertanyaan dalam benak kita. Apakah mereka tersandung masalah hukum? Entahlah. Apakah mereka sukses dan bertahan dalam industri musik? Jelas. Di luar kontroversi yang beredar, ketiga penyanyi internasional tersebut mampu membawa Canon dengan ciri khas dan nuansa yang berbeda-beda.
Maroon 5 menceritakan tentang kehilangan seseorang dalam hidup. Shane Fillan menggambarkan kegembiraan dalam pernikahan. Sedangkan Vitamin C mengisahkan tentang persahabatan. Lebih dari itu, mereka semua sanggup menunjukkan totalitas, konsistensi, serta kualitas di bidang yang ditekuninya.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Audian Laili
BACA JUGA Narasi Membela Tri Suaka dan Kawan Pengamennya Itu