Praktek politik Indonesia seringkali sangat irritating bagi yang belajar ilmu politik dan mencoba konsisten dengan istilah-istilah keilmuan yang baku. Banyak kesalah-kaprahan yang sering terjadi. Istilah-istilah politik digunakan sengan seenak-enaknya oleh para politisi, terutama sejak era reformasi. Mereka tak mau berpikir panjang apakah istilah yang digunakan itu sesuai dengan sistem yang diterapkan atau tidak. Yang penting nampak gagah, mereka pakai lah istilah itu.
Setelah belasan tahun istilah-istilah salah kaprah itu mengudara, sebagian orang pun menerimanya sebagai kebenaran. Sungguh besar dosa para politisi itu terhadap literasi politik rakyat.
Ini misalnya: istilah-istilah dalam sistem parlementer dipakai serampangan di Indonesia yang menerapkan sistem presidensiil. Salah satu yang selalu gagah diucapkan oleh banyak politisi adalah: “partai oposisi.” Istilah itu mereka pakai untuk menyebut partai-partai politik yang memperoleh kursi di DPR tapi bukan pendukung presiden terpilih dan tidak memperoleh bagian kursi di kabinet.
Padahal ini sistem presidensiil. Dalam sistem ini tak ada partai oposisi di dalam lembaga perwakilan. Mari kita dudukkan perkaranya sedikit.
Dalam demokrasi modern, secara umum ada dua jenis pemerintahan, yakni pemerintahan presidensiil dan pemerintahan parlementer. Sistem presidensiil biasanya merujuk pada gaya Amerika Serikat, sedang sistem parlementer merujuk pada gaya Inggris. Perbedaan paling utama antara kedua sistem terletak di karakter mandat yang diberikan oleh rakyat.
Perbedaan karakter mandat itu membawa sejumlah konsekuensi. Ini sama seperti pilihan transmisi di sebuah mobil membawa sejumlah konsekuensi tertentu. Misalnya, transmisi manual memerlukan pedal kopling untuk pemindahan gigi secara manual. Transmisi otomatis tak memerlukan pedal kopling sebab perpindahan gigi dilakukan oleh mesin, bukan pengemudi. Kalau sedang mengemudikan mobil matic, Anda jangan mencari pedal kopling.
Mari kita lihat karakter mandat yang dimaksud di atas. Dalam sistem parlementer, rakyat hanya memberikan satu mandat, yakni mandat legislasi. Ini diberikan pada para anggota lembaga perwakilan. Di dalam Lembaga perwakilan, kekuatan yang menguasai 50% + 1 kursi lalu membentuk kabinet pemerintahan. Di dalamnya ada perdana menteri dan para menteri (semuanya anggota parlemen). Kekuatan yang memperoleh kurang dari 50% kursi mengelompok sebagai pengawas. Posisi para pengawas itu selalu berseberangan dengan posisi perdana menteri dan kabinetnya. Mereka berseberangan secara politik. Mereka juga berseberangan tempat duduknya saat sidang parlemen. Karena posisi ini, para pengawas itu disebut sebagai opposition – mereka yang berada di seberang.
Dalam sistem presidensiil, rakyat memberikan dua mandat pada elit politik. Mandat pertama adalah mandat legislasi. Di Indonesia, rakyat memberikan mandat legislasi pada pada para anggota dewan di semua level. Dalam porsi yang lebih terbatas, rakyat juga memberikan mandat pada anggota DPD. Mandat kedua adalah untuk eksekutif. Mandat ini diberikan pada presiden, gubernur, bupati dan walikota.
Dalam pemerintahan presidensiil yang kita terapkan, sebagian besar pimpinan eksekutif dipilih oleh rakyat dengan sistem mayoritarian. Dalam sistem ini, pemenang mendapat kursi, yang kalah tak dapat kursi. Mereka dicalonkan sebagai pasangan, oleh parpol atau gabungan parpol. Dalam pemilihan pimpinan eksekutif ini ada pasangan kandidat yang menang, ada pasangan kandidat yang kalah. Jokowi-MA menang dalam pilpres kemarin. Prabowo-Sandi kalah. Sesederhana itu.
Sementara itu, para anggota dewan perwakilan rakyat di semua level dicalonkan oleh partai politik, lalu dipilih oleh rakyat dengan sistem proporsional. Setiap partai politik (yang mendapat suara melampaui ambang batas) memperoleh kursi sesuai dengan proporsi perolehan suaranya.
Dalam pemilu legislatif seperti ini tak ada istilah parpol kalah atau parpol menang. Semua parpol yang memperoleh kursi di parlemen mengemban mandat legislasi dari rakyat. Tugas mereka adalah menyeimbangi kekuasaan eksekutif. Ini dikenal sebagai mekanisme checks and balances.
Jadi dalam sistem presidensiil seperti ini, tak ada yang namanya partai penguasa dan partai oposisi seperti di sistem parlementer.
Tapi itulah masalahnya. Sejak dulu, parpol seperti PDI P dan sekarang PKS cenderung menyuburkan salah kaprah. PDI P lah yang dulu dengan gagah-gagahan menyebut diri sebagai “oposisi.” Sebagian politisinya malah membentuk “kabinet bayangan.” Itu semua adalah istilah dalam sistem parlementer, bukan presidensiil.
Kini PKS mengulang kegagahan-salah-kaprah itu dengan menyebut diri sebagai “partai yang kalah sehingga memilih berada di luar pemerintahan.”
Semua istilah itu tidak benar. PKS memang menyokong Prabowo, dan Prabowo kalah dalam pilpres. Tapi PKS tidak “kalah” dalam pilleg. Partai itu memperoleh kursi di DPR. Para anggotanya adalah bagian dari lembaga legislatif. Jadi, mereka adalah bagian dari pemerintahan.
Di legislatif, PKS boleh kok bersepakat dengan PDI P untuk menyeimbangi penyelenggaraan pemerintahan oleh Jokowi-MA selama lima tahun ke depan. Tak ada kewajiban ethics untuk selalu berseberangan dengan fraksi-fraksi penyokong Jokowi-MA dalam pilpres kemarin.
Jadi, partai-partai politik, bisakah Anda berhenti main-main salah-kaprah, dan mulai menggunakan istilah yang layak digunakan dalam sistem presidensiil? Saya kuatir mahasiswa saya ketularan sampeyan semua…
BACA JUGA Muslim United: Jargon atau Arah Baru? atau tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya. Follow Facebook Abdul Gaffar Karim.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.