“Kerja mah apa aja, nggak usah pilih-pilih.”
“Realistis aja, lah, nggak usah terlalu Idealis.”
Buat yang masih atau pernah nganggur pasti udah nggak asing lagi sama kalimat-kalimat di atas. Kalimat ngeselin yang selalu terngiang-ngiang bahkan paling parah sampe kebawa mimpi. Kira-kira level ngeselinnya udah sampe situ buat saya. Tapi, saya yakin pasti ada yang sepemikiran dengan saya soal ini.
Perkara kerja memang tricky. Di satu sisi, kita dipaksa untuk bekerja karena ada tagihan yang harus dibayar. Tetapi, kerja apa saja demi dapur ngebul kadang malah bikin masalah yang lebih gede ketimbang tagihan yang tak terbayar. Selain itu, kitanya jadi di situ-situ saja. SDM jadi nggak berkembang.
Bukannya sok idealis atau tidak mau realistis. Tetapi pernahkah kita memikirkan bagaimana beban mental yang dirasakan orang-orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak disukainya? Sudah berapa banyak yang stres, dari Senin sampai Jum’at hanya dihabiskan untuk mengeluh. Kelelahan fisik dan mental yang diterima juga tidak sebanding dengan apa yang dihasilkan.
Memang pada akhirnya kita membutuhkan uang. Tetapi bukankah menyenangkan kalau kita mengerjakan pekerjaan yang kita cintai? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan data tentang pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Sebab, kesehatan mental itu cukup mempengaruhi performa dan produktivitas pekerja.
Selain perkara sistem atau manajemen kerja yang buruk, jam kerja yang terlampau mengikat, penugasan yang tidak tepat bagi kompetensi individu pekerja juga menjadi sebab kesehatan mental pekerja terganggu. Untuk itu jenjang karier dan kesehatan mental perlu diseimbangkan. Buat apa sukses dalam karier kalau ujung-ujungnya gila?
Saya paham kalo tingkat persaingan di era ini ketat banget. Oleh karena alasan itulah saya semakin ingin kerja di bidang yang saya suka dan sudah dalami. Alasan itu juga saya jadi semangat untuk meningkatkan skill. Biar saya nggak jadi SDM yang gitu-gitu aja, sesuai yang saya bilang tadi.
Ada dua tipe orang dalam dunia kerja, generalis dan spesialis. Generalis biasanya orang yang handy. Bisa melakukan apa saja, tapi tidak ahli. Hanya sekadar bisa. Sedangkan spesialis adalah orang yang dalam satu bidang tertentu sangat ahli, baik secara teori maupun praktiknya.
Menurut saya persoalan serius yang harus kita hadapi di Indonesia adalah minimnya tenaga spesialis. Kita semua sudah bisa menebak karena saking minimnya spesialis di negara kita. Akibatnya kita menanggung masalah pasokan dalam negeri dengan mengimpor banyak kebutuhan dari luar negeri. Lengkap, mulai dari barang primer, sekunder, sampai tersier.
Akibat kalimat terkutuk “kerja apa saja, tidak usah pilih-pilih, yang penting dapat uang”, membuat kita menjadi negara dengan tenaga kerja mayoritas tipe generalis. Dan membuat kita bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan kita karena minimnya tenaga kerja spesialis. SDM stuck, gitu-gitu aja.
Coba bayangin udah seberapa sering kalian mendengar kalimat terkutuk di atas. Entah dari keluarga, teman, tetangga, saudara yang baru pertama kali ketemu pas lebaran. Pasti di antara mereka ada aja yang sering bikin kalimat itu seolah jadi mantra kunci sukses dalam karier. Apalagi sampe buktiin dengan materi yang udah dia dapetin.
Padahal jadi spesialis itu penting juga. Sebab, banyak bidang pekerjaan yang memang butuh spesialis agar hasilnya bagus. Paling gampang aja deh, Mojok ini pasti diisi banyak spesialis. Kita bisa baca banyak artikel yang unik ya karena ada spesialis.
Selain itu, belajar untuk jadi ahli bikin kualitas meningkat. Coba, kalau kita kasih pengertian betapa pentingnya spesialis, ketimbang mengajarkan kepepet melulu, SDM kita nggak gini-gini aja.
Ya saya tahu, pada akhirnya, kebutuhan hidup harus dipenuhi. Tapi, jangan menghakimi orang yang menunda kerja karena ingin belajar juga dong. Apa salahnya sih ingin jadi SDM unggul. Orang kalau mereka nggak bisa bayar tagihan ya yang repot mereka sendiri, situ malah nambahin.
Intinya, nggak ada salahnya, lho, nganggur dulu atau ambil pelatihan khusus untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang kita mau. Kalo perlu sampe jadi spesialis. Nggak usah dengerin kata orang. Kalo kita senang sama kerjaannya otomatis bisa meminimalisir tingkat depresi. Kerja dan memelihara kebahagiaan bisa jalan beriringan juga kok. Percaya deh.
Penulis: Riandy Kadwi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya