NFT itu konsep yang nggak masuk akal. Kok bisa ada foto selfie dihargai puluhan bahkan ratusan juta rupiah? Tentu saja saya lagi ngomongin Ghozali Everyday. Bohong kalau saya bilang nggak ada aksi goreng menggoreng dari pihak tertentu. Bohong kalau kasus Ghozali itu terjadi dengan alami. Sejauh ini mudeng? Ya, NFT milik Ghozali Everyday itu emang ada yang mainin. Ada pihak yang ingin melambungkan sosok Ghozali.
Nah, setelah mengetahui fakta ini, kalian masih mau berharap menjadi The Next Ghozali Everyday? Kalian masih mau mengunggah foto selfie kalian yang super biasa aja itu? Kalian pengin kaya mengikuti jejak Ghozali? Kalau jawabannya adalah iya, kalian belum tau gimana dunia NFT bekerja.
Kalau kalian berharap pengin jadi The Next Ghozali, nih saya kasih tau kemungkinan yang bakal terjadi.
Kemungkinan pertama, NFT apa pun yang kalian unggah nggak bakal laku. Kenapa? Lah, jawabannya sesimpel buat apa orang mau beli NFT kalian? Terus kalau dibantah dengan pertanyaan apa bedanya dengan ngapain orang beli NFT Ghozali? Maka jawabannya ya kayak yang udah saya bilang di atas, karena ada yang niat bin tekun mau membesarkan Ghozali. Yess, ia hampir mirip dengan komoditas lainnya yang bisa digoreng harganya dan membuat semua orang jadi pengin ikut-ikutan.
Kemungkinan kedua, kalau tetep ngotot bikin pakai foto selfie, foto kalian bakal nyebar di media sosial. Entah ada yang beli atau sebatas nyolong pakai tangkapan layar. Setelah itu apa? Foto kalian bakal jadi meme. Nah, mampus nggak tuh kalau foto sudah nyebar dan jadi meme? Pasti dongkol bin mangkel, kan? Niatnya dapet duit, malah jadi bahan olok-olokan banyak orang.
Emangnya siap lihat muka sendiri jadi lelucon di media sosial? Kayaknya nggak, deh. Yang ada malah depresi, mutung, dan marah ke siapa saja yang bikin meme. Iya kalau hanya berhenti di media sosial aja memenya, lah kalau ada yang iseng jadiin meme itu another NFT? Kan, makin mampus. Meme dengan muka kalian bakal abadi di blockchain dan nggak bisa dihapus.
Lantas kenapa Ghozali tampak baik-baik saja jika fotonya jadi meme? Ada dua alasan. Pertama, ya mana kita tau perasaan Ghozali sebenarnya. Dan alasan kedua, dia memang sudah mengizinkan agar fotonya menjadi meme. Ya, mengizinkan. Artinya doi sudah siap dengan konsekuensi atas jualan NFT foto selfienya.
Hal yang paling nggak masuk akal dari gelombang tren ini, ternyata ada orang yang menjadikan foto KTP mereka sebagai NFT. Sik, maksudnya apa coba? Berharap data pribadinya dimiliki orang lain, gitu? Wong mengunggah foto KTP ke media sosial aja berbahaya. Lah, ini malah dijadikan NFT yang bakal abadi di blockchain. Begitu datanya dimanfaatkan buat macem-macem baru deh menyalahkan diri sendiri dan berpikir dunia sungguh tak adil.
Oke, oke, barangkali saya berlebihan mengungkap betapa berbahaya membuat “karya” di sini. Tetapi percayalah, misal melupakan bahaya-bahaya yang mungkin kalian anggap nggak seberapa itu, konsep ini tetep nggak bisa dibilang masuk akal.
Saya pernah bahas di artikel ini, kalau suatu karya bisa dijadikan NFT berulang kali sehingga sia-sia saja sertifikat keaslian itu jika barangnya ada banyak. Terlebih, jika kita beli NFT, toh nggak bisa dijual lintas marketplace yang beda system blockhainnya, kan? Bukankah itu artinya ia hanya pembodohan publik?
Terus, misal memang ada seniman yang hanya membuat satu saja NFT dari karyanya, ya buat apa kita beli? Nggak ada faedahnya beli mahal-mahal. Juga, ngapain beli kalau nyari bajakannya di Google aja bisa? Bener, kan?
Konsep NFT itu nggak penting ada. Ngapain beli yang asli kalau ada yang palsu? Toh, bentuknya sama-sama gambar gitu. Ya sama lah kayak ngapain kita langganan Netflix kalau banyak konten mereka yang bisa ditonton gratis lewat Telegram atau situs-situs bajakan.
Lihat? Konsep keaslian itu emang nggak masuk akal, nggak hanya dalam urusan NFT, tetapi juga dalam banyak hal lain. Nah, dengan segala ke-berbahaya-an NFT dan ke-enggakmasukakal-an konsep originalitas suatu NFT, berarti kita nggak butuh ada NFT-NFT-an, dong?
Ya, benar. Kita emang nggak butuh NFT. Nggak penting buat keberlangsungan hidup. Stop bikin “karya” ini dari foto selfie, KTP, atau mbuh apa pun itu. Dah, cukup sampai di sini aja bacanya. Kenapa gitu? Soalnya bagian berikutnya dari tulisan ini bakal lebih nggak masuk akal buat kalian. Tetapi kalau kalian masih mencoba mencari di mana sisi masuk akal dari NFT, ya ayo bahas.
Saat ini, entah di Indonesia maupun di seluruh dunia, seorang artis NFT sangat bergantung dengan komunitas di masing-masing daerah.
Komunitas tersebut yang membangun value dari sebuah seni sekaligus sang artis. Seperti kita tahu bahwa sebuah karya seni bisa menjadi mahal karena memiliki value, bisa berasal dari siapa senimannya, atau cerita di balik pembuatan karya seni tersebut.
Seorang seniman tentunya nggak tiba-tiba menghasilkan karya seni yang harganya mahal, dong? Perlu ada lingkungan yang membantu mengurasi sehingga publik percaya bahwa karya seni itu memiliki nilai lebih.
Kita tentu tahu bahwa lukisan karya Salvador Dali memiliki value besar entah dari sejarah maupun murni dari karyanya. Mengetahui itu, kita bisa memaklumi bahwa lukisan Salvador Dali bisa sangat mahal. Tetapi jika ternyata Salvador Dali adalah teman SD kalian, dan ketika dia punya ide bikin lukisan macan terbang yang dicaplok ikan, gajah berkaki panjang kering mirip ranting pohon, dan di sampingnya ada perempuan telanjang, pasti kalian mikir dia sinting dan nggak bakal ada yang kagum atau bahkan mau beli mahal lukisan itu, kan?
Begitu juga yang terjadi dengan NFT saat ini. Kita merasa semua itu nggak masuk akal karena belum ada value dari setiap karya yang ada. Temen SD kita yang saat ini ngelukis dan pengin jadi seniman NFT pasti kita sepelekan dan karyanya kita anggap jelek, semata-mata karena dia belum berhasil membranding dirinya. Di sanalah fungsi komunitas bekerja.
Komunitas akan membantu seorang seniman membranding diri agar karyanya memiliki story di masa depan, agar bertransformasi menjadi value. Value tersebut, yang sekarang belum menjadi apa-apa saat ini, tersimpan di blockchain yang nggak bakal bisa dihapus, ditambah keasliannya yang terjaga.
Itulah kenapa aksi ikut-ikutan jualan NFT ngaco susah berhasil. Lantaran, tidak ada komunitas yang mau membranding aksi tersebut. Mari ambil contoh Ghozali Everyday. Saya percaya komunitas NFT Indonesia turut membantu kesuksesannya. Komunitas ingin ada figur NFT Indonesia, dan Ghozali adalah orang yang barangkali mereka pilih.
Kenapa begitu? Karena di antara banyaknya NFT yang ada di Indonesia atau bahkan dunia, rasanya baru Ghozali yang dengan ujug-ujug posting serangkaian foto selfie-nya. Saat kebanyakan karya di sini adalah gambar monyet dan sebagainya, Ghozali datang dengan PeDe jualan foto selfie. Keunikan itu yang lantas diangkat.
Ada salah satu orang dari komunitas NFT beli, kemudian ngajak temen-temennya beli. Ditambah Arnold Poernomo sang Chef terkemuka juga beli, maka meledaklah sosok Ghozali. Lantas, apa keuntungan komunitas NFT dengan meledaknya sosok Ghozali? Toh, mereka rasanya ya nggak mungkin berharap banyak dengan harga jual kembali NFT karya Ghozali tersebut?
Jawabannya bisa beragam. Ghozali kini menjadi figur NFT Indonesia, dan ia dikenal hampir siapa saja. Artinya, semakin banyak lagi orang yang tau NFT itu apa. Dengan semakin aware-nya orang-orang tentang hal ini, maka ada kemungkinan bahwa komunitas penggiatnya semakin besar, sehingga proses perjalanan menciptakan value sebuah NFT itu juga makin cepat.
Memang, banyak yang lantas ikut-ikutan dan asal-asalan bikin NFT. Namun, orang-orang model begitu bakal lenyap seiring waktu dan menyisakan mereka yang memang niat menggeluti dunia tersebut. Mereka yang pernah pengin bikin NFT secara serius tetapi masih ragu, lantas menjadi PD dan kembali bersemangat untuk menciptakan karya.
Lantas apa yang akan terjadi di kemudian hari? Saya masih mencoba percaya, atau seenggaknya berharap. Bahwa semakin banyak yang serius bikin karya berbentuk NFT dengan berbagai cerita yang mereka bawa, lantas komunitas yang sudah lebih massif dari sekarang akan membranding para seniman, sehingga karya mereka bisa terjual karena value yang diciptakan, dan mereka bisa hidup dari karya mereka. Tentunya jika hal itu kelak akan terjadi, konsep jaringan blockchain harusnya sudah lebih canggih sehingga memungkinkan karya NFT bisa diakses lintas marketplace.
Saya yakin sebagian dari kalian tetap menganggap konsep NFT itu nggak masuk akal. Nggak masalah, bahkan saya juga gitu. Setelah riset sana sini, mencoba terjun ke dunia NFT, dan menulis artikel panjang ini, saya juga tetep mikir bahwa NFT adalah konsep yang nggak masuk akal. Tapi, emangnya sejak kapan karya seni itu masuk akal?
Penulis: Riyanto
Editor: Audian Laili