Mengumpat adalah bentuk penerjemahan emosi menjadi kata-kata yang bisa didengar dan memberi efek lega bagi si pengumpat. Dalam bahasa Jawa, mengumpat disebut misuh. Kata umpatan biasanya tidak jauh dari nama-nama hewan, organ tubuh, atau kegiatan persetubuhan. Akan tetapi, umpatan tidak selalu bermakna negatif, melainkan bisa saja diucapkan pada saat senang, bahagia, menang, atau bertemu kawan lama yang lama tidak bertemu.
Di Jawa khususnya Jawa Timur, terdapat beberapa umpatan populer seperti “jancuk”, “gatel”, “raimu”, “asu”, “bajingan”, “lonte”, dan masih banyak yang lainnya. Dari sekian banyak umpatan, yang menduduki kasta tertinggi adalah “jancuk”, atau yang sering disingkat “cuk”. Tapi, jika mengartikan kata “cuk” berasal dari kata “jancuk”, saya tidak setuju.
Pengucapan “jancuk” sendiri terdapat berbagai macam variasi, ada yang “jancuk”, “gancuk”, dan “dancuk”. Namun, yang danggap sebagai akar kata “cuk” adalah “jancuk” pakai huruf “j”, bukan “g” ataupun “d”. Apakah benar demikian? Mari kita coba artikan ketiga kata tersebut satu per satu.
#1 Gancuk
“Gancuk” mungkin sudah jarang terdengar di telinga sebagian orang, tapi percayalah, umpatan seperti itu memang pernah diucapkan sebagian orang. Saya dulu pertama kali mengumpat menggunakan “gancuk”. “Gancuk” sendiri ternyata berasal dari kata “ganco”, sebuah alat pertanian yang berfungsi untuk membelah tanah ataupun batu. Kalau tidak bisa membayangkan, kalian bisa mencarinya di Google.
Tapi, jika kita anggap itu sebagai akar kata “cuk”, sepertinya masih bisa dipertanyakan lagi. Ya mosok kita mau mengumpat pakai nama alat pertanian?
#2 Jancuk
“Jancuk” adalah varian yang dianggap paling orisinal dari pengucapan yang lainnya. Bahkan makanan pun ada yang bernama nasi goreng juancuk atau mi jancuk karena saking pedasnya sampai ingin mengumpat. Kata “jancuk” sendiri identik dengan Surabaya.
Sejarah yang beredar terkait awal mula umpatan “jancuk” adalah ketika Belanda menyerbu Kota Surabaya menggunakan tank yang bertuliskan “Jan Cox”. Kemudian, arek-arek Suroboyo mengatakan “Jan Cox” untuk memberi tahu masyarakat bahwa Belanda mulai datang. Kata “Jan Cox” itu kemudian beradaptasi menjadi “jancuk” sebagai umpatan yang kita kenal sekarang.
Tapi, mungkin itu juga bukan akar kata dari pengucapan “cuk” yang sebenarnya. Ya mosok kita mengunakan nama kendaraan untuk misuhi?
#3 Dancuk
“Dancuk” sendiri juga tidak kalah sering diucapkan. Umpatan “dancuk” masih beredar di daerah Kediri dan sekitarnya. “Dancuk” berasal dari kata “diencuk” yang artinya disetubuhi, dan kemudian berkembang menjadi “diancuk” atau “dancuk”. Menurut saya, ini adalah akar kata yang paling valid dari kata “cuk” lantaran “dancuk” sesuai dengan standar umpatan internasional. Kok bisa?
Jika diartikan dengan sebagai persetubuhan, “dancuk” sepadan dengan kata “dlogok” dari Jawa Tengahan ataupun “ngentot” dari Jakarta, atau bahkan kata “fuck” dari bahasa Inggris. Itu juga masih dilegitimasi dengan istilah “mbokne ancuk” yang sepadan dengan istilah “mother fucker”, yang sama-sama memakai istilah “mother” dan “mbokne” yang berarti ibu. Atau juga umpatan Barat “fucking donkey” yang nggak jauh beda dengan “dancuk jaran”.
Sah dan tidak bisa disanggah lagi bahwa “dancuk” adalah akar kata dari “cuk” yang sesuai dengan umpatan internasional. Konkret!!!
Meski demikian, bukan berarti kita harus pakai “dancuk” untuk mengumpat jika malah mengurangi esensi umpatan, tidak! Itu semua tergantung si pengumpat, mau pake “dancuk”, “gancuk”, “jancuk”, asal semua emosi bisa terekspresikan, why not? Dan yang lebih penting dari semua itu adalah bijak-bijaklah dalam mengumpat.
Penulis: Mohammad Sirojul Akbar
Editor: Intan Ekapratiwi