Kata live action sering kali menjadi momok bagi banyak penonton anime. Bagaimana tidak, sudah banyak adaptasi anime ke dalam medium live action tercatat gagal total. Sebut saja Fullmetal Alchemist, Attack on Titan, Death Note, hingga Ghost in the Shell. Hampir semua judul di atas mendapatkan adaptasi yang cukup membuat penonton anime ketar ketir saat menontonnya.
Biasanya ada dua kemungkinan jenis masalah yang ditemukan dalam adaptasi live action anime. Pertama, adaptasi yang berusaha merangkum puluhan episode anime ke dalam film berdurasi dua jam saja. Hasilnya menjadi film yang tak lebih sekedar ringkasan tanpa nyawa dari material aslinya.
Kedua, adaptasinya dengan keberanian mengambil keputusan untuk melakukan reimajinasi. Namun, gagal karena tim produksi tidak memahami apa yang membuat material aslinya dicintai. Adaptasi seperti ini biasanya menghasilkan produk yang beda panggang daripada api. Serial Cowboy Bebop dari Netflix masuk ke dalam jenis adaptasi kedua.
Saat pertama kali diumumkan, sebenarnya saya gak punya ekspektasi tinggi akan adaptasi live action anime cult classic ini. Namun seiring berjalannya promosi gencar dari Netflix dan pemilihan casting yang menurut saya cukup oke, ekspektasi saya mulai merangkak naik. Tentunya ekspektasi saya terbayar setengah saat melihat performa tiga aktor utama serial ini yaitu John Cho, Mustafa Shakir, dan Daniella Pineda.
John Cho berhasil membuktikan kepada mereka yang skeptis terhadap usianya, bahwa dia masih bisa memerankan salah satu karakter protagonis anime paling ikonis dengan bravado yang memukau. Aktingnya sebagai Spike Spiegel mungkin salah satu hal yang membuat saya kuat untuk terus menonton serial ini. Di lain pihak, Mustafa Shakir berhasil membuat saya bahkan jatuh cinta lebih dalam kepada karakter Jet dan memberikan salah satu reinterpretasi karakter anime terbaik dalam akting live action. Sedangkan Daniella Pineda mencuri hati saya dengan performanya sebagai Faye Valentine.
Namun, permasalahan besar muncul saat kita mulai membahas terkait Julia dan Vicious. Dua karakter integral terkait masa lalu Spike Spiegel. Penulis skenario Christopher Yost berusaha memberikan peran sentral kepada Julia dan Vicious dalam adaptasi kali ini. Jika Julia hanya muncul pada dua episode terakhir dan lebih menjadi representasi dari bagian masa lalu Spike yang dia tidak bisa lepaskan, maka Julia versi live action muncul pada setiap episode. Begitu pula antagonis utama kita, Vicious, yang mendapat ruang lebih untuk mengeksplorasi karakternya dibandingkan dengan versi animenya.
Niat Yost mungkin baik, yaitu berusaha membuat dua karakter yang pada serial orisinalnya hanya mendapat waktu tampil sedikit menjadi lebih penting dalam iterasi ini. Namun gaya penulisannya yang terlalu blak-blakan dan gagal menangkap esensi dari serial anime Cowboy Bebop malah membuat karakter Julia dan Vicious menjadi momok terbesar serial ini.
Keberadaan subplot Julia dan Vicious terkait konflik internal Sindikat, malah membuat hampir semua episode Cowboy Bebop menjadi tidak fokus. Kadang dalam satu episode bisa terdapat tiga subplot berjalan bersamaan. Dua dari tiga subplot ini biasanya cukup klop satu sama lain dari segi tematik maupun atmosfer. Namun, subplot ketiga yang selalu berkutat pada Vicious dan Julia, malah sering kali menghancurkan flow dari episode.
Hal ini karena secara atmosfer saja, seluruh adegan terkait konflik internal Sindikat, lebih mirip film crime thriller Hollywood daripada serial petualangan luar angkasa. Saat adegan yang cenderung komedik atau penuh aksi dipaksa terpotong cuma untuk memajukan subplot ala The Godfathers, mood penonton malah hanya berakhir menjadi kebingungan. Kadang pula subplot ini menyeronok masuk ke dalam alur dari episode yang seharusnya didedikasikan terhadap salah satu dari tiga karakter utama kita. Membuat saya bertanya mengapa si penulis skenario dan sutradara memutuskan mencekoki episode dengan subplot tersebut daripada fokus terhadap perkembangan karakter para anggota kru Bebop.
Jika subplot tersebut menambah level kedalaman dari karakter Julia dan Vicious, masing-masing diperankan oleh Elena Satine dan Alex Hassel, mungkin semuanya masalah di atas bisa dimaafkan. Namun, subplot ini malah mengubah karakter Vicious 180 derajat dibandingkan dengan versi animenya. Jika Vicious di serial anime adalah mafia bertangan dingin dan lihai dalam membuat skema, serial live action malah menampilkan Vicious yang bertindak berdasarkan emosi daripada strategi.
Tentunya ini kontraproduktif terhadap tujuan awal karakter Vicious sebagai representasi masa lalu Spike yang selalu mengejarnya ke mana pun dia pergi. Jika Vicious saja tidak bisa menancapkan kekuasaannya di Sindikat dengan inisiatif atau rencananya sendiri, bagaimana mungkin penonton percaya bahwa pria ini bisa membunuh Spike atau mengambil alih kontrol atas Sindikat.
Namun, kesalahan paling fatal dari subplot di atas adalah mengaburkan pesan tematik Cowboy Bebop terkait eksistensialisme dengan mengubah format episodik dari material aslinya. Ada alasan mengapa serial anime Cowboy Bebop diformat secara episodik dan bukan linear seperti serial live action kali ini. Hal tersebut adalah penekanan terhadap pesan bahwa eksistensi setiap orang ada karena mereka masih hidup saat ini bukan karena masa lalu mereka. Belajar melepaskan masa lalu dan menikmati momen saat ini adalah esensi utama dari banyak petualangan unik di anime Cowboy Bebop serta moto ikonis Spike, “Apa pun yang terjadi, terjadilah”.
Berbeda dengan serial animenya, live action Cowboy Bebop berusaha menyuapi secara paksa semua hal terkait masa lalu Spike ataupun konflik Sindikat pada setiap episodenya. Bahkan mereka harus mengulangi adegan sama sebanyak tiga kali pada episode pertama. Seperti penonton adalah orang bodoh yang harus selalu diingatkan bahwa suatu adegan memiliki perbandingan pararel dengan masa lalu Spike. Padahal di serial animenya, masa lalu Spike hanya ditampilkan dua kali sepanjang serial dan itu pun cuma sekilas saja.
Pengulangan adegan ini hanya menunjukkan betapa tidak percayanya sutradara Alex Garcia Lopez dan Michael Katleman terhadap kemampuan penonton ataupun dirinya sendiri. Hal ini juga bisa terlihat jelas dari bagaimana camera cut digunakan secara eksesif dalam banyak adegan baru dari serial ini. Nggak mengejutkan jika menurut saya adegan terbaik dari serial live action ini masih merupakan rekreasi atas beberapa adegan ikonis dari material orisinalnya. Bukti nyata perbedaan kelas jauh antara sutradara anime Shinichiro Watanabe dengan kedua sutradara Hollywood ini.
Pada akhirnya, keberadaan adaptasi ini cuma menunjukkan bahwa karya Shinichiro Watanabe dan Keiko Nobumoto masih merupakan iterasi terbaik dari kisah Cowboy Bebop. Christopher Yost berhasil menghilangkan segala keunikan dari serial anime Cowboy Bebop, dan membuatnya menjadi grade B crime thriller yang kalah menarik. Jika kamu sudah pernah menonton serial animenya, jangan terlalu memiliki ekspektasi tinggi saat menonton adaptasi ini. Jika kamu belum pernah, menghabiskan waktu menonton anime Cowboy Bebop di Netflix mungkin lebih berharga daripada menonton satu lagi adaptasi live action yang meh.
Sumber Gambar: Instagram @bebopnetflix