Tak terasa, satu tahun sudah saya tinggal di Tulungagung. Meskipun KTP saya masih bertahan Nganjuk, setidaknya saya sudah mempunyai banyak teman. Sekaligus mengenal banyak bahasa baru yang tidak saya temukan di kabupaten sebelumnya.
Pada dasarnya bahasa di Nganjuk tidak banyak berbeda dengan Tulungagung. Namun, dari intonasi serta beberapa kosakata tetap ada perbedaan yang membuat saya harus roaming terlebih dahulu.
Melalui penyelidikan mendalam, serta berbagai teman pendatang saya berhasil mengumpulkan beberapa kosakata yang khas Tulungagung.
Suwung
Kosakata ini saya dengar pertama kali di ruang kerja saya. Teman-teman sering menggunakannya sebagai gambaran orang sukses yang berpura-pura susah dan butuh uang, padahal dia punya beberapa hektar sawah, dan beberapa kolam ikan. Huh, meresahkan sekali.
Namun, belakangan saya temukan kosakata ini terpampang di sebuah kolam pemancingan. Tepatnya bunyinya begini, “Kolam Pemancingan Tombo Suwung.” Rupanya, anggapan teman di ruang kerja saya agak berbeda dengan apa yang saya temukan. Suwung adalah kata sifat yang menggambarkan keadaan seseorang yang malas berbuat apa-apa. Sedang nggak mood, lah, mudahnya.
Jika digunakan dalam kalimat akan menjadi, “Duh, suwung aku.” Yang artinya, “Aduh saya sedang nggak mood.”
Kompo
Pertama kali saya mendengarnya ialah dari obrolan kakak ipar saya yang asli Tulungagung. Awalnya, saya menduga artinya ialah ngeyel, atau bersikukuh, keras kepala. Ini prediksi awal saya.
Pasalnya, Di Nganjuk kata ini berarti pompa yang biasa digunakan untuk mengisi angin di roda dengan cara manual. Namun, begitu saya tanyakan kepada Fahrudin seorang native speaker dari Rejotangan, Tulungagung. Kata ini beralih menjadi kata sifat yang berarti omong kosong atau membual. Contoh dalam kalimatnya ialah, “Ojo kompo wae,” yang berarti jangan membual.
Nggarem
Benar, kata ini berasal dari kata garam. Namun, artinya bukan menggarami. Ini lain, kata ini khas digunakan para petani Tulungagung yang artinya menebar pupuk. Saya menduga kata ini muncul gegara pupuk terutama ZA berbentuk layaknya garam berwarna putih. Jadinya kata nggarem ini berarti menebar pupuk yang berbentuk seperti garam. Ah, mbuh, lah.
Lurung
Saya benar-benar asing dengan kata ini. Terus terang saja, saya mendapatkan kata ini dari kakak kandung. Oleh karena sudah menjadi orang Tulungagung via bursa transfer, kakak saya sering tanpa sengaja sering menggunakannya untuk melarang anaknya bermain di jalan. “Ojo dolanan neng lurung,” (jangan bermain di jalan) begitu nasihatnya kepada anaknya.
Dimek
Dimek dengan pelafalan huruf “e” sama dengan entong. “Ini apa lagi?” kata saya dalam hati. Belum lama ini, saya baru tahu artinya adalah duluan. Di Nganjuk saya menyebutnya dikek, di Madiun saya menyebut disek, artinya sama saja. Pernah keponakan saya berkata, “Ibuk, aku tak budal dimek.” Yang artinya, “Ibu, saya berangkat duluan.” Selama ini saya hanya mengenal kata demek, yang artinya menyentuh. Lha jebul nggak ada hubungannya sama sekali dengan dimek satu ini.
Ndorong
Saya sebenarnya tidak terlalu yakin kalau kata ini hanya dipakai di Tulungagung saja. Saya juga pernah mendengarnya dipakai di Ponorogo, dan Madiun. Tapi, sebagai warga Nganjuk, saya tidak pernah memakainya.
Agar umat seperti saya tidak terkaget-kaget mendengarnya, lebih baik saya ungkapkan di sini. Kata ini merupakan kata kerja yang berarti duduk. Contoh dalam kalimatnya ialah, “Ndorong kene, lho.” Yang artinya, “Duduk sini, lho.” Lagi-lagi pertama kali saya mendengarnya dari kakak ipar saya. Dan, stop, jangan tanya lagi dia siapanya kakak kandung saya.
Dah lah, itu saja. Semoga para pendatang di Kota Marmer ini tidak roaming lagi. Dan, sekadar saran, bila pembaca sedang suwung, mendingan mancing saja di Tulungagung. Tombo suwung tenan. Hahaha.
Sumber Gambar: Unsplash