Meski diserang pandemi habis-habisan, industri perfilman Indonesia nyatanya justru makin bersinar di beberapa festival internasional. Sebut saja, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin yang memenangi Golden Leopard di Locarno International Film Festival. Disusul Yuni karya Kamila Andini yang berhasil menggaet Platform Prize-nya TIFF. Ikut serta juga Penyalin Cahaya besutan Wregas Bhanuteja yang tayang perdana di Busan International Film Festival.
Minat saya menonton film-film Indonesia mulai bergejolak. Ada perasaan lega sekaligus bahagia membaca kabar baik perfilman tanah air. Setidaknya, nantinya saya punya preferensi lain selain sinema Korea Selatan yang sudah terlebih dulu saya gemari.
Baru-baru ini sutradara kenamaan Indonesia, Nia Dinata, melahirkan karya terbarunya berjudul A World Without. Film kerjasama orisinil dengan layanan streaming Netflix ini menyuguhkan trailer yang lumayan. Ada kebaruan yang dengan mudah bisa dilihat dari film dystopian bergenre scifi ini. Promosinya pun nggak main-main.
(((Artikel ini mengandung spoiler, berhenti membaca sampai di sini jika kamu tidak berkenan)))
Sayangnya, ekspektasi saya pada film ini nggak terpuaskan. Semua serba nanggung. Pun film ini seakan overdose selipan pesan sang sutradara, tapi nggak dibarengi eksekusi ide yang cemerlang.
Padahal, saya masih bisa memaklumi hal-hal off di film ini. Saya nggak memaki saat tahu betapa cringe-nya panggilan ‘Yang Istimewa’. Saya nggak lantas menghentikan jalannya film saat tahu name tag anggota The Light pakai kertas doang. Pun saya masih memaklumi nihilnya background story para karakter utama.
Namun, meskipun banyak kekurangan yang dapat saya maklumi, jalan cerita A World Without tetap membuat saya resah. Keresahan saya ini sudah sangat terwakili dengan yang disuarakan Mbak Ajeng Rizka lewat tulisannya.
Bertolak dari resah dan gemasnya saya terhadap film ini, dan tanpa ada niatan menyaingi nama besar Nia Dinata selaku sutradara dan Lucky Kuswandi sebagai penulis naskah, berikut beberapa alternatif alur yang barangkali bisa bikin film ini lebih greget.
#1 Ulfah mengkhianati Salina
Paham sih, mungkin pesan woman empowerment yang dibawa sang sutradara kudu banget diwujudkan dengan nggak terpisahkannya Salina, Ulfah, dan Tara. Padahal bisa banget lho plotnya dibikin nggak selempeng itu.
Gini ya, dalam dinamika hubungan ketiganya, ada konflik yang sangat kentara antara Salina dan Ulfah. Ulfah punya alasan kuat untuk kesal ataupun marah pada Salina. Konflik ini bisa diperdalam lebih lagi, daripada mengharuskan ketiganya jadi anak baik-baik.
Misalnya, saat adegan Salina menghampiri Ulfah dan kebetulan ada Hafiz di sana. Ia mengabarkan bahwa dirinya akan dinikahkan dengan Ali, tapi kemudian Hafiz mengungkap cerita cintanya dengan Salina. Alih-alih bersimpati pada Salina, Ulfah bisa saja menjadi karakter yang membelokkan jalan cerita. Ulfah punya cukup alasan untuk membingkai pengkhianatannya sendiri. Dengan begitu, setidaknya penonton akan dibawa menerka gimana jadinya kalau Ulfah melaporkan Salina pada otoritas The Light. A little plot twist won’t hurt, right?
#2 Kejahatan tersembunyi di The Light
Buat yang udah nonton sampai selesai, coba jawab, The Light itu dibentuk buat apa? Keuntungan apa yang didapetin The Light selama ini? Sistem sponsornya gimana? Seleksi peserta barunya seperti apa? Hayo, kejawab nggak, tuh?
The Light sebagai organisasi wadah kawula muda ini digambarkan seperti tanpa identitas, arah, dan tujuan. Abu-abu banget. Padahal kalau mau dibawa lebih misterius, bisa lho dibentuk jadi semacam organisasi kriminal, kultus, ataupun perkumpulan illegal. Jujur saja, lebih mudah buat saya membayangkan ada human trafficking, penjualan organ, brainwashing ideologi ekstrem, sampai pembunuhan terjadi di dalam The Light.
Apalagi Pak Frans sebagai sponsor sampai harus “menyuap” Ali dan Sofia. Mudah dibayangkan ada perbuatan illegal lainnya terselenggara di balik dinding The Light. Dan Salina cs kebetulan jadi agen pembawa perubahan.
#3 Aksi kejar-kejaran yang intens
Kalaupun nggak ada element of surprise yang menarik, harusnya sih masih ada yang bisa diharapkan dari ending. Harusnya, sih. Tapi nyatanya ending A World Without kayak dibikin seadanya. Yang penting selesai dengan akhir bahagia nan sejahtera.
Sebagai penonton, saya sebetulnya nggak terlalu mempermasalahkan apakah cerita akan ditutup dengan closed ending ataupun open ending. Pun merasa bahwa ending yang nggak memberikan justice pada seluruh karakter itu nggak terlalu masalah. Tapi paling nggak, ia dibutuhkan untuk hadir sebagai konklusi keseluruhan cerita.
Setelah ketiadaan dinamika yang proper menuju babak tiga, sejujurnya saya masih berharap ada sesuatu yang greget menanti saya ketika disuguhi adegan kaburnya Salina, Ulfah, dan Tara dari The Light. Nah, ini nih yang ditunggu-tunggu, pikir saya.
Memang dasar saya aja yang banyak mau, nyatanya saya nggak boleh berekspektasi setinggi itu. Apalagi berharap pelarian mereka bertiga jadi aksi kejar-kejaran yang intens. Misalnya kayak Wendy dan Danny diburu Jack Torrance di The Shining. Atau mencekamnya serbuan zombie di Train to Busan.
Gini deh, dalam pelarian Salina cs, lebih masuk akal kalau pasukan keamanan The Light berhasil meringkus mereka. Dua orang dulu aja boleh lho yang ketangkep, lalu satunya kabur ke kota dan mengungkap semuanya. Salina sih paling cocok, soalnya dia punya rekaman keseharian The Light, ada bukti penyuapan juga.
Nah, biar nggak datar-datar aja, kira-kira alternatif plot kayak gimana lagi yang terpikir sama kalian setelah selesai nonton film ini? Eh, sampai selesai, kan, ya?
Sumber Gambar: Akun Instagram Netflix Indonesia