Memasuki episode 12, drama Korea Hometown Cha-Cha-Cha tak hanya berisikan Hong Du Shik dan Yoon Hye Jin yang sedang berbunga-bunga, lho. Di episode yang tayang hari Minggu kemarin, Yeo Hwa Jeong, pemilik bangunan sekaligus rumah yang disewa Hye Jin, menyampaikan pesan penting soal parenting yang bisa kita renungkan bersama.
Penonton setia drama besutan tvN ini tentu masih ingat dengan Choi Bo Ra dan Chang I Jun yang kebingungan karena telanjur mengadopsi landak mini dan nggak diperbolehkan memelihara oleh orang tuanya, kan? Hye Jin lah yang akhirnya setuju membantu mereka memelihara si landak bernama Seumseum untuk sementara. Saat itu, Bo Ra mengatakan bahwa I Jun sedang belajar keras supaya menang lomba matematika. Sebagai hadiah, I Jun akan minta ibunya, Yeo Hwa Jeong, agar diizinkan memelihara landak.
Dalam episode 12 Hometown Cha-Cha-Cha kemarin diceritakan akhirnya I Jun berhasil jadi juara matematika. Untuk merayakan keberhasilan anak semata wayangnya ini, Hwa Jeong dan mantan suaminya, Chang Yeong Guk, pergi makan malam bersama. Nah, di momen tersebutlah I Jun mengutarakan keinginannya untuk memelihara Seumseum.
Perkataan Hwa-jeung saat itu sangat menyentuh, bahkan mind-blowing, terutama bagi para orang tua atau orang dewasa yang kesehariannya dikelilingi anak-anak. Jika diterjemahkan bebas, percakapan mereka dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini:
I Jun: “Ibu, bolehkah aku memelihara landak mini?”
Hwa Jeong: “Kamu ingin landak mini?”
I Jun: “Dr. Yoon memelihara landak mini yang diadopsi Bo Ra. Aku ingin meminta izinmu untuk memelihara landak mini itu setelah berhasil menang lomba.”
Hwa Jeong: “Tentu saja. Bawalah landak mini itu ke rumah.”
I Jun: “Bolehkah?”
Hwa Jeong: “Tentu saja. Tapi ketahuilah, I Jun. Ibu mengizinkanmu memelihara landak mini bukan karena menang lomba, tapi karena kamu menginginkannya. Saat ini kita makan bersama juga bukan karena kamu menang lomba.”
Yeong Guk: “Apa maksudnya? Aku pikir kita makan bersama sekarang untuk merayakan kemenangan I Jun?”
Hwa Jeong: “Tidak. I Jun, ibu bangga padamu yang memenangkan lomba itu. Tapi, kita tetap bisa makan bersama meski kamu tidak menang. Yang kita rayakan adalah kerja kerasmu. Bagi Ibu, itu lebih penting daripada memenangkan lomba.”
I Jun: “Aku mengerti, Ibu.”
Yeong Guk: “Betul, I Jun. Kamu tidak harus mendapat peringkat yang bagus. Ayah hanya ingin kamu memiliki masa kanak-kanak yang menyenangkan.”
Saat menonton adegan Hometown Cha-Cha-Cha tersebut, saya pikir mereka sekeluarga makan malam bersama sebagai hadiah untuk I Jun. Toh, sudah lazim merayakan keberhasilan salah satu anggota keluarga dengan makan bersama yang enak, bukan?
Namun, saya salah. Hwa Jeong tidak berpikiran seperti itu. Perkataannya seperti sebuah pencerahan bahwa ada yang lebih penting dari memenangkan perlombaan. Sesuatu yang lebih penting tersebut adalah kerja keras. Dan, meskipun tidak berhasil memenangkan lomba, kerja keras tetap harus dihargai dan dirayakan sebagai keberhasilan.
Kita terbiasa melihat peristiwa dengan hitam putih, digeneralisir, disederhanakan, dan dimaknai tanpa konteks. Zaman yang bergerak cepat memaksa kita memiliki pola pikir yang seperti itu dan kemudian berpengaruh pada pola pengasuhan dan mendidik anak atau parenting. Anak dituntut untuk serba bisa, kompetitif, bahkan dipaksa terbiasa memahami logika reward dan punishment. Tanpa disadari kebiasaan tersebut membentuk pola hubungan yang transaksional antara anak dengan orang tua.
“Mama kasih tambahan uang saku kalau nilai rapormu naik.”
“Kamarnya dibereskan dulu, nanti baru Papa ajak makan pizza.”
Memang di satu sisi anak jadi belajar memahami bahwa ia harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Tapi di sisi lain, anak tidak diberi pengertian kenapa nilai rapor yang bagus dan kamar yang rapi itu penting dan bermanfaat untuknya.
Anak hanya memahami bahwa jika ia ingin sesuatu dari orang tuanya, maka ia harus menyenangkan hati orang tuanya terlebih dulu. Meski menyenangkan punya anak penurut dan tidak pernah mengecewakan orang tua, jika tidak dikontrol malah bisa toksik ke anak.
Pernah mendengar istilah “people pleaser”, Bun? Istilah tersebut dipakai untuk menyebut seseorang yang lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Seorang “people pleaser” beranggapan dirinya hanya layak dicintai jika memberikan segalanya kepada orang lain dan orang-orang hanya peduli padanya saat dirinya berguna. Untuk jangka panjang, terlebih setelah dewasa, menjadi “people pleaser” cenderung rentan stres dan depresi.
Bukan berarti menerapkan reward dan punishment dalam parenting itu salah, ya, Bun. Hanya perlu lebih berhati-hati dan bijaksana. Perhatikan dan hitung baik-baik dampaknya ke anak. Karena seperti yang dijelaskan Kahlil Gibran, “Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri.”
Sumber Gambar: Instagram TvN Drama Official