Judul: Ancika
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: Pastel Books
Tebal: 344 halaman
Harga: Rp98.000
Tahun Terbit: 2021
Setelah lima tahun lamanya bertahan sebagai trilogi, akhirnya buku berjudul Ancika: Dia yang Bersamaku Tahun 1995 lahir melengkapi formasi tetralogi Dilan. Buku ini berkisah tentang kelanjutan kisah asmara Dilan dengan Ancika, pacar Dilan setelah Milea. Ancika masih siswi kelas 3 SMA sementara Dilan sudah kuliah di ITB, ketika mereka bertemu pada tahun 1995.
Buku setebal 340 halaman ini sukses mendarat di tangan saya awal September lalu dan tiga hari berikutnya, tuntas saya baca. Dari pengalaman tersebut, saya merasa bahwa buku Ancika ini adalah penyudah yang pas dari seri novel Dilan. Tentu, dengan beberapa alasan berikut ini:
#1 Sintesis kisah Dilan
Hadirnya buku keempat yang dinarasikan dari sudut pandang orang pertama oleh tokoh Ancika ini adalah taktik jenius Pidi Baiq dalam melengkapi “puzzle” yang belum genap dari petualangan kisah cinta Dilan.
Sebagaimana awal kemunculannya, novel Dilan menjadi fenomenal lantaran memuat kisah perjuangan seorang Dilan dalam mendekati murid baru, Milea Adnan Hussain, dengan cara-caranya yang antimainstream, hingga akhirnya berhasil memproklamasikan status pacaran pada tanggal 22 Desember 1990 di warung Bi Eem.
Buku kedua Dilan 1991 lebih lanjut mengisahkan dinamika hubungan keduanya pasca-resmi berpacaran sampai akhirnya putus dan beberapa tahun kemudian Milea bertemu dengan Mas Herdi dan menikah.
Sementara buku ketiga, Milea: Suara dari Dilan berisi narasi Dilan yang melengkapi hal-hal yang masih rumpang dari segala hal yang telah Milea ceritakan perihal jalinan kasih mereka terutama terkait kesalahpahaman yang terjadi seputar waktu mereka putus.
Nah, buku Ancika ini adalah sintesisnya. Konklusi dari perjalanan kisah asmara Dilan. Kenapa? Karena pada akhirnya Dilan menikah dengan Ancika!
Waktu pun bergerak cepat, baik Dilan maupun Milea akhirnya menikah dan memiliki kehidupan rumah tangganya masing-masing.
Sebetulnya di buku ketiga, Ancika sudah muncul namun hanya sepintas lalu. Hanya menginformasikan bahwa ada tokoh Ancika yang menjadi pacar Dilan selanjutnya. Sudah, itu saja. Maka, hadirnya buku ini adalah jawaban lengkap dari misteri ketokohan Ancika.
Di buku ini juga kita mendapat jawaban tentang bagaimana hati-hatinya Dilan menjelaskan kepada Ancika terkait kisah masa lalunya dengan Milea dan bagaimana Dilan meyakinkan Ancika yang gamang ketika Dilan mengajaknya berpacaran.
Ancika sebetulnya juga suka Dilan, tapi di satu sisi, ia takut akan kemungkinan putus dan kehilangan sosok Dilan, terlebih Ancika belum pernah pacaran sebelumnya. Malahan ia menolak konsep berpacaran yang dianggapnya hanya akan merepotkan dan mengekang.
Kasus semacam ini sebenarnya cukup umum dialami oleh banyak orang. Dan ketika kita bertemu dengan orang baru, tentu keterbukaan menjadi gerbang menuju komunikasi yang sehat dan interaktif. Oleh karenanya, perlu kebijaksaan dalam menyikapi momen-momen ketika membahas masa lalu. Bukan untuk memutarbalikkan fakta, melainkan memberi maaf dan menjadi ikhlas.
Barangkali kamu mengalami hal yang sama, bolehlah langsung buka halaman 252 untuk menyimak uraian lengkapnya.
#2 Dilan adalah nyawa buku
Sebenarnya buku ketiga sudah cukup gamblang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Dilan dan Milea. Hanya saja karena nyawa dari buku ini adalah si Dilan, jadilah yang harus tetap ada di cerita dalam setiap buku, ya Dilan.
Dilan adalah karakter utamanya, maka tidak heran jika buku ini adalah tentang Dilan, Dilan, dan Dilan. Itulah kenapa kisah Ancika dan Dilan menjadi penerus estafet trilogi sebelumnya alih-alih kisah Milea dan Mas Herdi. Ya balik lagi, karena seluruh kisah dalam tetralogi ini berpusat pada tokoh Dilan.
Namun, jika memang tetralogi Dilan ini belum cukup dan ternyata akan berlanjut, mengingat Dilan adalah sang lakon, maka pastilah seri berikutnya adalah kisah Dilan dan Ancika. Tentang bagaimana mereka menjalani biduk rumah tangga. Tapi, rasanya itu mungkin agak absurd, mengingat cikal bakal lahirnya novel Dilan ini lantaran sang penulis, Pidi Baiq, ingin membuat novel teenlit yang berbeda dari umumnya walaupun memang tidak menutup kemungkinan akan terwujud.
Aku baca teenlit anak SMA, pulangnya nulis Dilan RT @nasamarss mau nanya inspirasi buku dilan dpt dr mana? soalnya ya gt deeh…. hehehee..
— Pidi Baiq (@pidibaiq) September 4, 2014
Atau, bisa jadi seri buku ini akan berlanjut dengan cerita yang kembali berasal dari sudut pandang Dilan, sebagaimana buku ketiga.
Sebelumnya, tanda-tanda bahwa buku Ancika ini akan ada guna melanjutkan trilogi Dilan sebenarnya tersirat dalam seri buku sebelumnya, Milea: Suara dari Dilan tepatnya pada halaman 295. Yang mana Dilan bilang bahwa harus Ancika sendiri yang cerita bagaimana perjalanan romansa mereka alih-alih dirinya sendiri.
Pun demikian dalam novel Ancika ini, hal yang serupa terdapat pada halaman 309. Hanya saja kali ini bukan berkaitan kisah asmara, melainkan perkara perkembangan perspektif Dilan.
Sebagaimana diceritakan oleh Ancika, setelah kepulangan Dilan dari kuliah di Kuba, pandangan-pandangan Dilan menjadi terinspirasi oleh prinsip-prinsip ideologis yang Ancika anggap aneh.
Jadi, jika faal ini benar adanya, bisa kita bayangkan bagaimana Dilan menyampaikan langsung pandangan-pandangannya yang telah bersentuhan dengan gagasan-gagasan para filsuf seperti Albert Camus, Martin Heidegger, Ivan Illich, Jean-Paul Sartre, Karl Jaspers, atau mungkin Soren Kierkegaard.
Bayangkan, berawal dari novel romance, buku Dilan akan berevolusi menjadi buku pengantar filsafat! Wow!
#3 Bias ke-Dilan-an
Harus diakui bahwa novel Dilan memang fenomenal dan sudah sepantasnya demikian. Kematangan Pidi Baiq dalam menulis Dilan berhasil membuat kita geleng-geleng kepala ketika pertama kali membacanya.
Sebetulnya alur ceritanya biasa saja. Tidak ada peristiwa besar yang menjadi konflik sepanjang novelnya. Namun, Surayah mampu meramu kesederhanaan itu menjadi sesuatu yang memikat dan begitu realistis sehingga terasa istimewa khususnya dari segi penulisan.
Meski demikian, saya tetap pada pendapat bahwa Dilan sudah cukup sampai di sini. Novel Ancika adalah epilog yang ideal dari tetralogi ini. Biar begitu, saya akan tetap menanti karya-karya beliau.
Kesuksesan Dilan boleh jadi akan dikenang dalam sejarah kesusastraan negeri ini, namun hal tersebut meninggalkan konsekuensi tersendiri bagi sang penulis. Pidi Baiq dengan Dilan-nya sudah sangat inheren. Sulit untuk tidak terbayang-bayang sosok Dilan ketika membaca karya-karyanya yang lain. Khususnya bagi yang menggali lebih dalam mengenai sosok Pidi Baiq, pasti akan selalu melihat ke-Dilan-annya dalam setiap karyanya, seperti ketika melihat tokoh Ukan dalam novel Helen dan Sukanta atau bahkan ketika membaca kembali seri buku Drunken Monster.
Entah ini hanya saya yang mengalami demikian atau mungkin kalian juga pernah merasakannya. Mungkin saya terlalu pareidolia terhadap tokoh Dilan, tapi mungkin juga tidak. Tapi yang jelas, seperti kata Ancika, siapa pun Dilan, dia adalah bajingan. Benar-benar bajingan!
Sumber Gambar: Mojok Store