Tulisan tangan setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang rapi seperti ketikan komputer, ada yang tidak terlalu rapi tapi jelas, sampai ada yang hanya bisa dibaca oleh dirinya sendiri selaku yang menulis alias susah dibaca. Gaya penulisannya pun bermacam-macam. Ada yang suka menulis dengan tegak bersambung, huruf kapital, ada juga yang huruf besar menulisnya kecil huruf kecil menulisnya besar. Setiap orang mempunyai ciri khas masing-masing kalau sedang menulis.
Saya sendiri termasuk orang yang menghasilkan tulisan tangan yang dinilai apik dan rapi menurut teman-teman saya saat sekolah, kuliah, dan sekarang saat sudah bekerja. Ketika saya menulis, huruf-huruf yang tersusun tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil.
Sebelum masuk ke isi tulisan, saya pasti menuliskan tanggal, bulan, dan tahun. Tak lupa juga saya tuliskan siapa guru/pemateri. Judul pembahasan/bab pada hari itu tidak pernah terlewatkan untuk saya tulis. Jika pada saat itu guru/pemateri sudah selesai menjelaskan dan dilanjutkan materi pada pertemuan selanjutnya, saya tidak melanjutkan tulisan saya yang sebelumnya. Namun, saya ganti halaman baru dan saya kembali menulis seperti pada awal tadi.
Mungkin itu jadi alasan teman-teman saya menganggap bahwa tulisan tangan saya apik dan rapi. Padahal, tujuan saya melakukan hal itu karena biar lebih mudah dibaca kembali pada saat dibutuhkan karena waktu, guru/pemateri, judul, dan isi yang sudah jelas ada.
Saya masih ingat ketika guru SD saya bilang bahwa tulisan tangan saya apik dan mengatakan bahwa pasti bapak atau ibunya tulisannya pun apik. Setelah pulang sekolah, saya mencari bukti ucapan guru SD saya tersebut. Ternyata benar. Tulisan saya yang dinilai apik dan rapi memang bakat yang diturunkan dari bapak saya. Mempunyai tulisan tangan yang dinilai apik dan rapi memang tidak selamanya menyenangkan. Ada beberapa pengalaman yang nggak enak yang saya alami karena mempunyai tulisan tangan yang dinilai apik dan rapi.
Pertama, saya sering ditunjuk menjadi sekretaris atau membantu menulis di papan tulis. Saat SD, saya hampir selalu ditunjuk oleh guru kelas saya untuk menuliskan rangkuman materi di papan tulis walaupun sebenarnya jabatan saya di kelas adalah ketua kelas, bukan sekretaris.
Saat SMP dan SMA, saya menjadi sekretaris abadi dari kelas 1 sampai kelas 3. Teman-teman saya seakan tidak punya teman lain yang ditunjuk untuk dijadikan sekretaris. Saya sempat menolak dan mengatakan bahwa saya bosan jadi sekretaris. Namun, ketika wali kelas turun tangan dan menganggap bahwa saya memang layak menjadi sekretaris karena melihat tulisan saya di buku tulis, saya hanya bisa pasrah. Nasib, nasib.
Kedua, langganan menjadi orang yang buku catatannya dipinjam. Saat sekolah dan kuliah, saya sering menjadi target utama teman-teman saya ketika guru/dosen memberikan materi yang banyak. Mau bilang nggak boleh tapi sama teman sendiri. Bilang boleh, tapi terkadang sampai beberapa hari buku catatan saya tidak dikembalikan. Sampai pada akhirnya saya putuskan teman saya boleh meminjam buku catatan saya tapi harus dikembalikan besok, buku tidak boleh tertekuk, buku tidak boleh kotor, dan buku tidak boleh tersobek.
Ketiga, diminta guru untuk membantu menulis rapor. Ketika saya SD kelas 6, tiba-tiba saya dan satu orang teman saya dipanggil oleh guru kelas saya dan diminta untuk jangan pulang terlebih dahulu. Katanya sih, ada sesuatu yang hendak diperbincangkan. Setelah teman-teman saya yang lain pulang, tiba-tiba guru kelas saya membagikan rapor.
Guru kelas saya bilang bahwa saya dan teman saya tersebut harus membantu menulis rapor tapi dilarang untuk menulis rapor sendiri. Saya mendapat bagian menulis kalimat, sedangkan teman saya menulis nilai yang berupa angka. Sedangkan rapor saya dan teman saya tersebut ditulis sendiri oleh guru kelas saya.
Saya dan teman saya merasa bangga bisa membantu guru saya menulis rapor. Setelah saya besar dan dewasa, saya baru sadar bahwa tindakan saya dan teman saya waktu itu adalah bukan tindakan yang terpuji. Seharusnya itu adalah murni tugas seorang guru dan dilarang keras melibatkan murid karena melanggar kode etik. Duh, dosa nggak, ya?
Keempat, dimintai tolong untuk membuat surat izin palsu. Kejadian ini terjadi saat saya duduk di bangku SMA. Beberapa teman sekolah saya yang terkenal trouble maker, sering meminta bantuan saya untuk menuliskan surat izin agar tidak masuk sekolah. Alasannya bermacam-macam, ada yang meminta untuk ditulis sakit, membuat KTP/SIM, dan ada kepentingan keluarga yang tidak jelas kepentingannya apa.
Lantaran saya menjunjung tinggi toleransi kepada teman, hati saya akhirnya luluh dan mau menuliskan surat izin palsu tersebut. Pesan saya hanya satu, jika ketahuan jangan sampai nama baik saya dibawa-bawa. Awas saja pokoknya. Sungguh pengalaman yang amat mendebarkan.
Menjadi hal yang keliru jika akhirnya menganggap orang yang dinilai mempunyai tulisan yang apik dan rapi menjadi subjek yang bisa melakukan apa pun yang ada kaitannya dengan tulisan tangan. Padahal sebenarnya itu hanya dijadikan alasan untuk terhindar dari tugas atau untuk menutupi kemalasan semata. Walaupun tulisan tangannya biasa-biasa saja atau bahkan jelek sekalipun, yang terpenting adalah usaha untuk menulisnya. Kalaupun tidak bisa bermanfaat, setidaknya kita tidak merepotkan orang lain, kan?