Siapa yang tidak kenal Kabupaten Bondowoso? Jika saya boleh menebak, banyak dari kalian mungkin hanya sepintas pernah mendengar namanya, tapi tidak tahu di mana letaknya. Itu juga pernah mendengar namanya kalo nggak dari perdebatan panjang Kawah Ijen itu milik Bondowoso atau Banyuwangi. Atau dari pemberitaan media. Yaaa, meskipun beritanya bermuatan negatif, perebutan jenazah pasien Covid-19 lalu petinya dibakar misalnya. Tapi, nggak apa-apa lah ya. Daripada tidak terekspose sama sekali, ya nggak?
Oke, lanjut. Secara geografis Bondowoso berada di ujung timur Pulau Jawa, lebih tepatnya di antara Jember dan Situbondo. Tapi jangan salah, meskipun berada di Pulau Jawa, kami beraliran Madura kental, lho. Mulai dari bahasa, budaya, hingga kesenian yang menjadi identitas tidak luput dari pengaruhnya. Namun nggak sepenuhnya sama, sih. Pasalnya, Bondowoso termasuk wilayah tapal kuda yang otomatis menganut budaya pandalungan. Pandalungan adalah pencampuran antara budaya Jawa dan Madura. Nggak usah dibayangin, gimana jadinya! Intinya gitu.
Terlepas dari semua itu, Bondowoso menurut saya sangat luar biasa. Banyak destinasi wisata alam yang sangat keren, lho. Tapi, nggak usah lah ya kemudian bertanya “Pantai yang bagus di Bondowoso mana ya?” atau “Kalo ke Bondowoso naik kereta jurusan apa?” Jujur saja, pertanyaan seperti itu bak kilat menyambar seketika, dan membuat hidup serasa hampa.
Ya mau gimana, emang dasarnya nggak punya, jika mau mantai ya numpang di kota sebelah. Kemudian, masalah kereta api, stasiunnya sih ada, cuman sudah berhenti beroperasi dan beralih fungsi jadi museum. Keren nggak tuh, masuknya gratis pula. Nggak perlu lagi takut ketinggalan jadwal pemberangkatan, hehehe.
Sebuah kabupaten tentunya memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, seperti Malang disebut Kota Apel, Bandung Kota Kembang, kemudian Banyuwangi Kota santet Sunrise Of Java. Nahhh, Bondowoso nggak mau kalah, hingga mengoleksi lima julukan yang populer di kalangan masyarakat. Patut diapresiasi nih.
Republik Kopi
Pada 2013, kopi Arabika Java Ijen Raung asal Bondowoso sudah mendapat pengakuan dunia dengan memperoleh sertifikat nasional. Hal tersebut menjadikan Bondowoso salah satu produsen kopi terbaik di Indonesia, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda sudah dikenal dunia sebagai penghasil kopi. Bayangin aja nih kompeni pagi-pagi nyeruput kopi seraya berkata “nghopii, Cong”
Komoditas Kopi Bondowoso, khususnya klaster kopi yang dikembangkan di lereng Gunung Ijen dan Raung, nggak hanya dijual dalam bentuk mentahan, tapi juga dapat dinikmati dalam bentuk siap seruput. Kalo kalian pingin menikmati nikmatnya kopi Arabika Bondowoso, bisa mampir ke Kampung Kopi di sepanjang Jl Pelita, Kelurahan Tamansari, Bondowoso.
Kota Tape
Ini yang paling ikonik sekali sih. Dari sederet pengalaman saya ketika menapakkan kaki di kabupaten lain pasti basa-basinya nggak luput dari “Loh asal Bondowoso, kok nggak bawa tape?” Yaaa tolong dong, Pak. Saya bukan bakul tape, yang ke mana-mana bawa besek tape.
Emang yang bisa produksi tape hanya Bondowoso? ya nggak juga sih, di kabupaten lain juga ada. Tetapi, perihal cita rasa kelezatan dan kenikmatan jangan diadu, Bos! Tape Bondowoso sudah menemukan orisinalitasnya sebagai jajanan khas yang digemari berbagai kalangan, kuncinya berada di faktor geografis dan keahlian pengrajin tape.
Uniknya, jajanan tape Bondowoso ini menggunakan kode angka dalam proses branding produknya, beda dikit lah sama pemain sepak bola atau pembalap Moto GP. Ada tape manis 88, 62,77,37,63,31, dll.
Kota Megalitikum
Setelah mendengar istilah megalitikum, sontak raga kita akan kembali terbawa ke bangku SMP dan SMA, mulai mengingat dan mengambil interpretasi dari maksud kota megalitikum. Ouh, Orang-orangnya primitif? Karena suka merebut jenazah dan membakar petinya? Tentu saja tidak! Latar belakangnya ialah Bondowoso memiliki banyak peninggalan purbakala yang tersebar di berbagai daerah. Ada sekitar 1.400 peninggalan purba di zaman megalitikum yang tersebar di seluruh Kecamatan Bondowoso.
Situs megalitikum di kota ini terbilang komplit, lho. Kalian mau melihat penampakan menhir, dolmen, sarkofagus, arca, batu kenong, dan lain-lain, semua tersedia. Untuk lebih mudah mengaksesnya bisa langsung mengunjungi museum Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso (PIMB).
Kota pensiunan
Lah, kenapa disebut kota pensiunan, apa karena banyak dihuni warga pensiunan? Yap, betul. Di kota ini ada cukup banyak pensiunan yang hidup dan memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya di sini. Alasannya cukup sederhana, biaya hidup yang murah, jauh dari keramaian, dan lingkungan yang tergolong asri dan sejuk.
Kendati demikian, dengan beberapa alasan tersebut tidak lantas membuat kalian langsung tertarik untuk tinggal di kota ini dan mencari kerja di sini. Sebab, UMR di Bondowoso sekitar Rp1.954.000, sangat berbanding lurus dengan biaya hidup yang murah tadi. Gimana tetap tertarik? Atau masih mau mikir-mikir dulu?
Kota Mati
Julukan yang terakhir ini acap kali saya dengar dari masyarakat asli atau dari masyarakat luar. Alasannya pun nggak begitu jelas, dari yang katanya nggak punya mall, bandara, daerah miskin lah, terbelakang, pendidikan rendah, dsb. Tapi, kalau kalian bertanya mana dari alasan tersebut yang bikin kota tersebut dianggap kota mati, yaaa, ndak tau, kok tanya saya.
BACA JUGA Suara Thoriq Memanggil di Gunung Piramid Bondowoso, Asli atau Rekayasa? dan tulisan Mohammad Hidayatullah lainnya.