Dulu, saat masih jadi kontraktor alias berpindah kontrakan dari satu rumah ke rumah yang lain, saya sering membayangkan rumah seperti apa kelak yang akan ditakdirkan untuk saya. Apakah sebuah rumah mungil dengan taman bunga di depannya? Atau sebuah rumah dengan balkon, tempat saya bisa bercengkerama dengan laptop yang selalu bermasalah dengan keyboardnya ini? Sehingga kalau si laptop ngadat, saya jadi punya opsi untuk menerjunbebaskan dia seketika itu juga dari lantai 2.
Hingga kemudian, sekira 3 tahun setelah menikah, saya dan suami diberi kemampuan untuk beli rumah. Bukan rumah dengan taman bunga. Pasti Tuhan tahu saya nggak bakat ngopeni bunga. Alih-alih tumbuh cantik indah mewangi sepanjang hari, bunga-bunga itu mungkin akan berakhir tragis di tangan saya. Bukan pula rumah dengan balkon. Tapi, rumah yang sampai saat ini masih kami tinggali adalah rumah mungil khas perumahan.
Untuk menyiasati agar rumah kami yang kecil ini bisa terlihat lebih luas, saya pernah memutuskan untuk mengecat dinding rumah dengan warna putih. Dikutip dari rhiannonsinteriors, alasan mengapa warna putih bisa menimbulkan kesan ruangan lebih luas adalah karena warna putih dapat mencerahkan ruangan, sehingga pantulan cahaya dari lampu ataupun sinar matahari yang mengenainya dapat menciptakan kesan ruangan lebih lega. Selain itu, warna putih adalah warna yang fleksibel untuk beradaptasi dengan warna-warna lain yang ada di ruangan. Kalau suatu saat bosan, mau ganti warna cat dinding jadi warna hijau kodok atau kuning Golkar, juga nggak ribet. Kan warna putih gampang ditimpa dengan warna lain. Wah, juara banget ya, Bund, warna putih ini?
Tapi itu teorinya.
Faktanya? Nggak seindah itu, duhai Tuan dan Puan.
Pertama, cat rumah putih itu menguras emosi. Soal ini yakinlah padaku. Mempunyai rumah berdinding warna putih itu ibarat memiliki kitab suci yang tertempel di dinding. Harus hati-hati. Tidak boleh tidak. Sekali noda atau kotoran itu menempel, beuhhh bencana di depan mata tak terelakkan lagi. Ya gimana? Kelihatan banget soalnya. Pating ndlemuk, kalau orang Tegal bilang. Masih mending jerawat, bisa disembunyikan pakai duet maut concealer dan foundation.
Akhirnya, menjaga agar dinding putih itu tetap suci tanpa ternoda menjadi hal yang menguras emosi. Apalagi kalau di rumah ada bocil. Lihat anak bawa masuk sepeda, stres. Khawatir kalau-kalau roda sepeda merenggut kesucian si tembok. Apalagi kalau anak sudah pegang krayon. Alamak! Itu krayon berasa kek granat yang bisa meluluhlantakkan keagungan si tembok putih. Kalau sudah begitu, apa nggak menguras emosi namanya? Sebentar-sebentar khawatir kotor.
Kedua, cat rumah putih itu rentan kotor. Tanpa ada drama roda sepeda nyenggol tembok, bekas coretan krayon, atau jejak jari-jari jahanam yang seenak wedel membuat grafiti di tembok, warna putih pada dinding sungguhlah rentan untuk cepat kotor. Sumbernya bisa dari debu yang terbawa udara ataupun efek putaran waktu yang membuat warna putih di dinding tak lagi segonjreng saat awal diaplikasikan. Alih-alih menciptakan kesan ruangan jadi lebih lega, yang ada malah terihat kusam. Kan kesel.
Pada akhirnya, segala teori yang menuangkan puja-puji akan kelebihan pemilihan warna putih sebagai cat dinding, tetaplah dibarengi dengan konsekuensi yang tak bisa diabaikan. Saya pun sudah tak lagi menggunakan warna putih untuk cat interior rumah. Kapok? Mungkin. Lagian pengin rumah terlihat lebih luas kok pilih warna putih? Beli rumah baru, dong! Itu baru benaaar.
BACA JUGA ‘Higehiro’, Anime yang Menyajikan Realitas Sosial dan Isu Kesehatan Mental dan artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.