Jika Anda mengikuti jagat maya akhir-akhir ini, maka tidak ada yang lebih banyak ditemukan daripada beberapa orang yang mengeluh terhadap suatu pelayanan dengan cara yang membentak. Pekerjaan di bidang jasa sering mendapatkan perlakuan sedemikian rupa sejak berusaha memberikan pelayanan yang maksimal kepada para pelanggan. Kurir adalah salah satu contoh pekerjaan yang paling sering mendapatkan perlakuan sedemikian rupa.
Seiring dituntut untuk tetap profesional, kurir juga dihadapkan dengan tantangan untuk mengenali daerah secara lebih luas dan berhadapan dengan segala macam rupa manusia. Ada penerima yang ramah, ada pula penerima yang mudah naik pitam. Meskipun sudah dijelaskan dengan baik bahwa kesalahan ada pada pihak penjual, tetap saja kurir yang berada di depan mata menjadi sasaran empuk kemarahan.
Barangkali situasi pandemi yang berkepanjangan hingga saat ini membuat beberapa orang lebih lelah dari sebelumnya. Kelelahan tersebut pada akhirnya memengaruhi kestabilan emosi, termasuk mudah naik pitam. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat menjadi alasan bagi para kurir untuk tidak bekerja secara profesional. Mereka tetap dituntut untuk mengirimkan barang dengan selamat tanpa kerusakan dalam bentuk apa pun. Mungkin ada pula beberapa kasus pengiriman barang yang tak dapat dibenarkan, mulai dari melempar barang secara asal, sikap kasar kurir, hingga pencurian dengan mengganti barang kiriman dengan barang lain demi keuntungan pribadi.
Akan tetapi, tidak setiap kurir bisa seenaknya dituduh culas. Pada dasarnya, pengiriman barang sudah diawasi secara ketat oleh perusahaan, mulai dari tracking sejak penerimaan ke jasa pengiriman, hingga diantar oleh kurir sampai ke tujuan. Itulah sebabnya kurir sering mengambil foto ketika barang sampai di tujuan dengan penerimanya sebagai bukti. Sekalipun penerimanya adalah kucing dari pemilik rumah yang menjadi alamat tujuan, tetap dibutuhkan persetujuan dari penerima jika tidak sempat menerima barang pada saat kurir tiba di tujuan.
Di sisi lain, penindasan terhadap kurir bukanlah berita baru lagi. Upah minim sebagai “mitra” perusahaan/start up besar nyatanya menjadi bukti ketidakadilan yang dialami oleh para kurir. Setiap pengiriman barang dihargai tergantung kebijakan perusahaan maupun jarak pengiriman. Akan tetapi, banyak pula kurir yang mengeluh karena upah yang tidak setimpal dengan usaha mereka yang tidak didukung dengan jaminan kesehatan, kecelakaan, hingga biaya bensin dan makan untuk sehari bekerja. Oleh karena itu, status “mitra” yang cenderung mengarah kepada buruh tersebut menjadi perdebatan hingga cukup menyita perhatian masyarakat akhir-akhir ini.
Setidaknya, ada dua peran penting yang dapat kita lakukan sebagai konsumen selain asal terima barang saja. Tidak hanya untuk mendukung kinerja para kurir tercinta, tetapi juga memperlancar dan mengamankan proses pengiriman barang yang diinginkan. Toh, pada akhirnya, keselamatan barang menjadi fokus bersama agar tidak menimbulkan permasalahan yang tak diperlukan.
Pertama, pastikan alamat tujuan sudah jelas, termasuk nomor kontak yang dapat dihubungi selama proses pengiriman. Dengan demikian, barang akan sampai lebih cepat tanpa terkendala alamat. Jika kurir mengalami masalah atau kesalahpahaman dengan petunjuk arah alamat, maka usahakan untuk berkoordinasi dengan jelas, ramah, dan tetap berkepala dingin.
Kedua, kita harus menjadi konsumen yang cerdas dengan memahami antara kesalahan barang dengan kerusakan akibat proses pengiriman. Setiap jasa pengiriman pasti memiliki layanan pengaduan yang dapat bertindak. Usahakan untuk merekam setiap penerimaan hingga pembukaan barang agar bukti aduan menjadi kuat. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, setidaknya kita sudah mempunyai bukti yang kuat. Dengan demikian, kita tidak perlu keluar tenaga lebih untuk marah-marah, bukan?
BACA JUGA Sistem COD di Marketplace Itu Ngerugiin Kurir dan Perlu Dipikir Ulang, deh! dan tulisan Ahmad Sulton Ghozali lainnya.