Saya memilih untuk tidak tinggal untuk sebat dan langsung pulang dari acara bukber kru Mojok semalam. Ada misi penting yang harus saya lakukan, yaitu menjadi media pertama di Indonesia yang mewawancarai Jose Mourinho setelah dipecat dari Tottenham Hotspurs.
Tentu saja saya tak bisa mewawancarainya secara tatap muka. Pertama, masih pandemi. Kedua, jaraknya jauh. Andai Jose mau ke Jogja pun, kalau mau wawancara di kafe, takut disamperin satpol PP, terus diancam mau PSBB apa nggak. Gitu.
Sesampai di rumah teman—yang ada WiFi kencang provider non-plat merah—saya rebahan bentar menunggu kabar dari Jose Mourinho. Perbedaan zona waktu bikin kita harus nyesuaiin jadwal masing-masing. Siapa tahu semenjak dipecat, dia jadi tukang mancing, kan kalau telpon pas mancing nggak asik.
Hape saya berdering, dan itu ternyata Jose Mourinho. Dia ngajak wawancara lewat Zoom, biar sama-sama enak katanya. Beberapa waktu kemudian, kita sudah dalam ruang obrolan. Lumayan lama kami saling diam. Akhirnya, saya berinisiatif untuk membuka obrolan dengan menawari dia rokok. Oh iya, saya tulis percakapan ini pake bahasa Indonesia. Soalnya kalau saya kasih pake bahasa Inggris, kalian bakal komen nga bisa basa engres. Hari gini nggak bisa basa engres tuh kalian sekolah buat apa coba?
Oke, langsung saja.
“Djarum Super, Sir?”
“Nggak dulu, Mas”
“Saya langsung to the point saja ya, Bung Jose, apa yang menyebabkan Anda dipecat?”
Dia menatap saya lumayan tajam. Saya langsung bingung.
“Pertanyaan ini jujur saja klise, tapi tidak apa-apa. Saya beri alasan saya yang sebenarnya, yang belum pernah saya buka terkait pemecatan ini.”
Ini dia, ini.
“Baiklah, Sir, sa akan dengerin.”
“Jadi, saya dipecat bukan karena ESL, atau karena performa buruk. Maksudnya begini, Tottenham Hotspurs dan penampilan buruk itu adalah sejoli yang tak bisa dipisahkan. Ketika saya menerima tawaran jadi pelatih Tottenham, itu saya cuman lagi sok aja. Saya pikir saya bisa melawan takdir. Nyatanya, ada hal yang tak bisa diubah, bahkan oleh The Special One sekalipun.”
“Tapi, Sir, City itu jelek, nyatanya bisa jadi bagus dipegang Pep?”
“Itu kan City, duitnya banyak, bisa ngakalin FFP. Lha Tottenham ki sopo? Ha wong saya ngincer Bruno Fernandes aja gagal, kok mau mengincar pemain gede lainnya. Bruno itu keliatan moncer ya karena mainnya buat MU. Secara kolektif MU itu jelek, ketambahan pemain bagusan dikit keliatan kayak superstar. Coba itu Bruno main di Madrid…”
“Bakal keliatan jelek, Sir?”
“Ya nggak juga”
“Lho pie to koe ki, Sir Wasir?”
“Lupakan Bruno. Intinya, saya akhirnya bikin ulah agar dipecat.”
“Ulahnya kek apa, Sir?”
“Sa ngatain Kane ‘rupamu koyo sempak ra dikumbah pitung sasi’.”
“Weh, ngelu iki wong.”
“Sa harus melakukan itu dong, kalau pengin keluar. Meski saya nggak betah, tapi kalau dipecat dapet duit. Jangan sampai kesialanmu bikin kamu rugi. Saya belajar ini dari falsafah Cina.”
“Apa itu?”
“Urip iku wang sinawang.”
“Sa kok ragu ya, Sir, kalau Anda ini waras.”
“Jenius memang tidak akan bisa dikenali orang biasa. Sudah tertebak reaksimu.”
“Sakkarepmu. Balik ke topik, lalu kenapa Anda ingin mengakhiri masa kepelatihan di Tottenham? Memang Tottenham itu ampas, tapi seorang Jose Mourinho menyerah memegang tim? Kok nggak nalar gitu lho, Sir. Kalau yang ditangani tim liga Indonesia sih, masuk akal.”
“Begini, Mas. Saya menyadari bahwa ternyata karier saya yang gemerlap ini karena karunia Tuhan. Tapi, saya tidak menyadarinya dan malah jadi orang yang takabur. Tiap liat wawancara di masa lalu kok, saya malu ya… Melatih Tottenham Hotspurs yang ampasnya nggak tertolong ini bikin saya sadar, tanpa Allah, saya ini siapa…”
“Sek, iki tenanan?”
“Tenan, Mas, tenan.”
“Jadi Anda mendapat berkah Ramadan?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Maha Besar Allah…”
“Iya, Mas. Setelah ini saya akan masih melatih tim lagi. Tapi, saya akan mengedepankan taktik yang berbeda. Saya tak lagi akan ngatain pemain saya di depan pers. Kalau buruk, saya akan kirim pemain saya ke pesantren. Ini saya terinspirasi dari klub Indonesia, Mas.”
“Sir, saya pikir itu keliru. Jenengan ambil contoh yang…”
“Salah? AH itu persepsimu saja, Mas.”
“Setelah ini, jenengan mau melatih klub mana, Sir?”
“Saya kemarin dihubungin RANS Cilegon. Saya masih bimbang ini.”
“Baiklah, penutup, ada sepatah dua patah kata dari Jose Mourinho?”
“Saya tahu bahwa kalian semua membenci saya. Tapi, don’t judge a book by its cover. Kurang-kurangin halu dan percaya zodiak. Kurang-kurangin bikin analisis nggak jelas perkara bencana. Patuhi protokol kesehatan, dan nggak usah dengerin Mardigu ngomong fafifu.”
“Lho, Sir, kok ra mutu ngene, Sir?”
Sambungan dimatikan. Saya ditinggal Jose Mourinho sendirian di ruang Zoom. Ndelogok.
BACA JUGA Wawancara Ekslusif Mojok dengan Louis van Gaal dan artikel Rizky Prasetya lainnya.