Sebelumnya tak pernah terbayangkan saya akan hidup di negeri para Mullah, Iran. Tapi nyatanya takdir membawa saya sampai ke sana. Sebagai orang yang dibesarkan dalam kultur Islam tradisional, saya jelas merasakan gegar budaya ketika pertama kali tiba di sana. Kejutan yang dimaksud adalah perbedaan dalam praktik ibadah khususnya.
Sebelum berangkat ke Iran, saya selalu diminta waspada oleh teman-teman karena katanya orang sana tidak ramah terhadap penganut Sunni. Bahkan, sebagian mereka berkata bahwa nyawa saya akan terancam karena ke-Sunni-an yang melekat pada diri saya. Dengan sedikit khawatir, saya tetap berangkat.
Ketika di sana, saya pun tetap menunjukkan identitas Sunni dalam beribadah. Suatu saat, saya ikut berjamaah di masjid. Dengan perasaan berdebar, saya salat seperti yang saya praktikkan di Indonesia. Awalnya, saya menjadi pusat perhatian karena berbeda dengan cara mereka. Akan tetapi, saya tidak mengalami bentuk kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Mereka hanya menanyakan dari mana asal saya. Selebihnya, basa basi khas Persia.
Perbedaan salat pun jika diperhatikan tidak begitu signifikan. Ketika berdiri, Syi’ah hanya membiarkan kedua tangannya menjuntai ke bawah, sedangkan Sunni meletakkan kedua tangan di atas perut. Perbedaan lainnya adalah mereka selalu qunut pada rakaat kedua sebelum ruku’, bukan sesudah seperti Sunni. Selain itu, ketika sujud, mereka harus menggunakan alas berupa tanah kering yang selalu tersedia di masjid. Selebihnya sama dan tak ada perbedaan yang berarti.
Hal lain yang kawan-kawan saya persoalkan adalah mereka beranggapan Syi’ah hanya salat tiga kali. Setelah saya menyaksikan sendiri, anggapan tersebut kurang tepat. Yang tepat adalah mereka tetap salat lima kali hanya saja dalam tiga waktu. Duhur digabung dengan asar, magrib dengan isya, dan terakhir subuh. Persis seperti praktek jamak takdim dalam kebiasaan Sunni.
Yang paling menjengkelkan adalah justru tuduhan-tuduhan yang menerpa pada diri saya. Setelah orang-orang di kampung mengetahui saya belajar di Iran, mereka menganggap saya perlu diwaspadai. Tak pelak, itu cukup mengganggu pikiran saya. Saya merasa seperti tidak punya masa depan jika suatu saat pulang ke kampung tercinta.
Padahal, di Iran saya tidak belajar agama melainkan hanya belajar bahasa Persia. Saya tertarik belajar bahasa Persia karena puisi-puisi sufistik banyak ditulis dalam bahasa ini. Penyair-penyair terkenal seperti Hafez dan Sa’di juga turut andil untuk mendorong saya ke sana.
Setelah masa belajar singkat saya selesai, saya akhirnya kembali ke kampung. Dan benar saja, saya dicurigai sebagai antek-antek Syi’ah. Banyak desas-desus yang mengatakan jangan dekat-dekat dengan saya karena takut terpengaruh dan nanti menjadi penganut Syi’ah. Mereka langsung menghakimi saya tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Stigma antek Syi’ah pun resmi saya sandang.
Belum lagi ketika melamar pekerjaan di institusi berbasis agama misalnya, melihat riwayat hidup dengan keterangan pernah di Iran bisa menjadi kendala tersendiri. Apalagi jika suatu saat saya berencana pergi ke Amerika, kemungkinan ditolak untuk mendapat visa sangat besar karena ada jejak Iran di dalam paspor.
Saya bertanya-tanya dalam hati kenapa ketika berbicara tentang Iran, aspek politik dan keagamaan yang selalu dominan. Masyarakat seakan sudah mempunyai persepsi yang tertanam dalam otak bawah sadar bahwa Iran sama dengan Syi’ah.
Memang benar mayoritas masyarakatnya penganut syi’ah. Namun, kita jangan menutup fakta jika di sana juga hidup kelompok Sunni, Kristen, bahkan Yahudi dan Majusi yang di Indonesia saja belum tentu ada. Kelompok-kelompok minoritas ini bahkan mempunyai perwakilan di parlemen untuk menyuarakan aspirasinya.
Kita juga melupakan fakta lain bahwa Persia mempunyai peran besar dalam perkembangan Islam sunni. Imam Ghazali, Imam Muslim, Imam Haramain, dan ulama-ulama besar lainnya adalah ulama yang berasal dari Persia. Tanah Khurasan juga menjadi tempat tumbuh suburnya sufisme yang menjadi corak Islam yang masuk ke Indonesia.
Nampaknya, ke-syiah-an mereka telah membuat sebagian masyarakat amnesia dan antipati terhadap Iran. Dalam hal ini propaganda media-media yang menebarkan kebencian kepada mereka yang berbeda berhasil. Menjadi berbeda seakan-akan menjadi ancaman dan harus dimusnahkan.
Saya kira sudah saatnya kita membangun komunikasi yang mengedepankan pendekatan budaya bukan agama. Dengan budaya, kita belajar untuk memahami lian tanpa prasangka. Kita diajak untuk meningkatkan kesalingpahaman dan mencoba memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjelaskan diri mereka sendiri.
Aspek budaya inilah yang nampaknya masih kurang dieksplorasi. Padahal, budaya dapat menjadi jembatan untuk membangun perdamaian. Secara insting, manusia mempunyai sifat penasaran dan rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang baru. Dalam budaya ada nilai-nilai universal yang dianut, sehingga kita akan berusaha mencari persamaan tanpa menafikan adanya perbedaan.
Berdasarkan apa yang saya alami, ternyata untuk dianggap sebagai antek Syi’ah, kita hanya perlu tinggal di sana dan menunjukkan sedikit apresiasi kepada negara yang disebut dengan Iran. Sesederhana itu.
BACA JUGA Derita Laki-Laki Tanpa Kumis dan Jenggot di Iran dan tulisan Ulummudin lainnya.