Tulisan ini bermula ketika saya membaca tulisan Mas Bima Eka Satriya tentang romantisasi Yogyakarta sebagai Kota Wisata dan Kota Pelajar yang sering dibahas oleh penulis Terminal Mojok, yang intinya, kesenjangan sosial dan kesenjangan yang kerap kali terjadi di sana. Mulai dari UMK yang tidak manusiawi, hingga Keraton yang dianggap tidak pro pada rakyat kecil. Saya bukan orang Yogya, jadi tidak tahu apa yang terjadi di sana, namun saya akan menuliskan apa yang terjadi di Kota kelahiran saya, yakni Kota Bandung.
Kota Bandung dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu kota wisata dan kota pelajar, sama seperti Yogyakarta karena memiliki banyak sekali tempat wisata dan juga berbagai kampus di kota ini yang menampung mahasiswa dari seluruh daerah di Indonesia. Sejak zaman Kolonial Belanda, Bandung memang dirancang sebagai tempat wisata para bangsawan dan juga orang-orang Pemerintahan Kolonial karena udaranya yang sejuk karena terletak di pegunungan dan banyak pepohonan.
Bahkan, sampai ada kutipan terkenal yang diucapkan oleh orang Belanda bernama Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau akrab dipanggil M.A.W. Brouwer, yang merupakan orang Belanda. yang berkata, “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”.
Saking populernya kutipan tersebut, dalam menyambut Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 pada tahun 2015 yang lalu, Walikota Bandung saat itu, Ridwan Kamil menaruh kutipan tersebut di terowongan di Jalan Asia Afrika sebagai latar untuk berfoto para wisatawan yang datang ke Kota Bandung.
Tidak salah memang. Saya akui memang sejak saya lahir di Bandung pada 1992, Bumi Pasundan memang sangat indah dan romantis. Gambaran yang digambarkan oleh film Petualangan Sherina dan Dilan memang sangat benar. Namun, menurut saya, ini terlalu diromantisisasi, sama seperti Yogyakarta.
Kenapa? Di kawasan Jalan Asia Afrika Bandung dan sekitarnya, termasuk Jalan Braga, yang tidak jauh dari kutipan Brouwer tersebut, terjadi kesenjangan sosial yang terpampang sangat nyata. Di kawasan tersebut, setidaknya setiap lima menit sekali, barangkali akan datang musisi jalanan yang berusaha untuk mengais rupiah dari wisatawan yang berfoto-foto di sana. Tidak hanya itu, banyak juga anak kecil usia sekolah yang membawa cobek maupun berjualan tisu di tengah kawasan wisata tersebut. Ada juga bapak-bapak dan ibu-ibu yang berjualan kopi keliling di sana.
Di saat wisatawan menikmati sore di Jalan Asia Afrika dan sekitarnya, dengan latar belakang gedung-gedung antik peninggalan masa Kolonial Belanda dan sejumlah apartemen dan hotel yang berdiri kokoh di sana, banyak yang tidak memiliki privilege untuk menikmati apa yang wisatawan tersebut nikmati seperti yang saya sebutkan di atas.
Lebih berat lagi, ketika kita melewati Jalan Asia Afrika dan sekitarnya di atas pukul sepuluh malam, ada begitu banyak tunawisma yang tidur di trotoar Jalan Asia Afrika dan sekitarnya, tepat di depan kawasan pertokoan dan gedung peninggalan Belanda yang sudah tutup. Mereka tidur dengan alas seadanya, sekadar kardus atau koran, berselimutkan sarung, dan beratapkan langit. Entah kenapa, tidur mereka begitu nyenyak meskipun pada pukul sepuluh malam sekalipun, padahal kawasan tersebut tetap ramai oleh kendaraan yang lewat. Mungkin karena mereka terlalu lelah mencari nafkah di siang hari sehingga di malam hari tidur mereka begitu pulas.
Jalan Afika dan sekitarnya adalah sebuah jalan utama di Kota Bandung yang sudah dikenal sejak masa Kolonial Belanda. Bahkan Jalan Braga tetap dipertahankan sebagai salah satu maskot dan objek wisata kota Bandung yang dahulu dikenal sebagai Parijs van Java. Nilai jual dari Jalan Braga adalah kawasan pertokoan yang disebut-sebut mengikuti model pertokoan yang ada di Eropa pada masa itu (1920-1940an). Sejak saat itu toko-toko dan butik pakaian yang mengambil model di kota Paris, bar, hingga hiburan malam lainnya sehingga Jalan Braga banyak didatangi turis.
Kawasan Braga dan sekitarnya barangkali mirip dengan kawasan Malioboro di Yogyakarta atau Kota Tua di Jakarta, dengan arsitektur masa Kolonial Belanda yang menjadi andalan pariwisata di sana. Namun di sisi lain, begitu banyak para tuna wisma yang tidur di trotoar Jalan Braga, beralaskan aspal dan beratapkan langit, mungkin beranda-andai dapat berada di kawasan tersebut dengan keadaan yang berbeda, yakni menikmati hidangan lezat di sana, sambil bersantai dengan orang-orang yang mereka kasihi.
Menjadi sebuah ironi, ketika maskot pariwisata Kota Bandung yang sudah berdiri dari masa Kolonial Belanda, namun menyimpan sisi gelap yang begitu menyedihkan. Namun ya, kita tidak harus capek-capek memikirkannya bukan? Ini adalah PR besar dari Pemerintah Kota Bandung/Pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Sosial maupun dinas terkait yang harus memberikan sebuah solusi agar kesenjangan sosial ini tidak terus terjadi, terlebih, di masa pandemi seperti ini kesenjangan sosial ini akan terus terjadi.
Sebagai rakyat jelata, dan bukan pemangku kepentingan, kita hanya bisa membantu mereka dengan sekadar memberikan sebagian dari rezeki kita agar mereka, para musisi jalanan, para tunawisma, para penjual tissue, dan anak-anak penjual cobek dapat makan dan minum. Tidak banyak memang, tapi setidaknya itulah yang dapat kita lakukan untuk sekadar berbagi kepada mereka semua. Tentunya kita tidak bisa menikmati kawasan tersebut jika kesenjangan sosial tersebut terus terjadi di depan mata kita bukan?
BACA JUGA Persikab Kabupaten Bandung Mati di Tanahnya Sendiri dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.