Sebagai anak tengah, saya memiliki status di keluarga sebagai adik sekaligus kakak. Peran itu terjadi karena saya terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Sejujurnya, bagi saya tidak ada yang istimewa dari siapa yang lahir duluan. Pada dasarnya, baik saya, kakak, ataupun adik, sama-sama seorang anak dari orang tua dan juga seonggok daging manusia. Bagaimanapun, mau jadi kakak atau jadi adik, bagi saya nggak akan menjadikanmu lebih spesial!
Saya tuh nggak ngerti, kenapa sih anak pertama suka merasa memiliki tanggung jawab atas hidup adik-adiknya? Itu juga terjadi ke kakak saya. Dengan mengetahui pemikiran seperti itu, bukannya merasa dilindungi atau semacamnya, saya justru merasa sedih. Kakak saya memiliki kehidupannya sendiri. Keputusan apa pun yang ia buat, ia juga yang mesti menerima konsekuensi dan bertanggung jawab karena pilihannya. Saya pun demikian. Sudah harus bertanggung jawab pada diri sendiri, kenapa juga harus merasa bertanggung jawab atas pilihan hidup saya.
Makanya dahi saya mengernyit ketika anak pertama sering sekali saya temui merasa harus bertanggung jawab atas keputusan-keputusan hidup adiknya. Ngapain sih kita merasa bertanggung jawab terhadap hidup orang lain? Meskipun usia adikmu lebih muda darimu, bukan berarti seorang kakak harus terus berada paling depan sebagai penanggung kekeliruan pilihan hidupnya. Biarkan saja adik-adikmu belajar, berikan ia kepercayaan untuk menjadi manusia yang mampu mengambil pelajaran.
Sebagai anak tengah, saya sepakat tentang poin bahwa seorang kakak semestinya menjadi contoh bagi adiknya. Tapi, bukan berarti ketika menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan standar keberhasilan, kemudian kamu menganggap dirimu gagal sebagai contoh bagi adik-adikmu. Misalnya ketika seorang kakak tidak bisa lulus kuliah tepat waktu, masih luntang-lantung menunggu panggilan kerjaan, atau tidak bisa mendapatkan nilai pelajaran yang bagus, tidak berarti kelak adik-adikmu akan meniru itu. Kalau toh nanti mereka dihadapkan dengan salah satunya, bukan juga berarti itu kesalahanmu.
Adik-adikmu, sama sepertimu, anak manusia yang memiliki kesadaran dalam bertindak. Seandainya ada kerikil di jalan hidupnya, dia satu-satunya tangan yang mampu menjangkau kerikil itu. Sebagai kakak, memang sangat mungkin untuk berada di bahu jalan sekadar untuk memperlihatkan bahwa ia tidak sendiri atau meneriakinya bentuk-bentuk pertimbangan. Ujung-ujungnya, tetap adikmu yang akan memilih menyingkirkan kerikil terlebih dahulu atau langsung melewatinya lantas mungkin tersandung.
Menjadi contoh di sini lebih merupakan peran manusia yang berada di sebuah komunitas bernama keluarga. Bapak, ibu, kakak, saya, maupun adik, memiliki kepentingan untuk membuat lingkungan yang bisa mengembangkan potensi satu sama lain secara optimal. Orang tua yang mendukung keputusan anak-anaknya dalam menekuni hobi atau seorang kakak yang mendukung adiknya dengan menemaninya belajar. Dari sini akan muncul pola pengasuhan yang menciptakan pertukaran peran di antara anak-anak manusia.
Saya juga nggak mengerti, kenapa anak bungsu seringkali merasa harus mencapai ini-itu yang tidak bisa diraih kakak-kakaknya. Sebagai anak tengah yang juga adik, jujur, saya pernah juga merasakan ini. Tapi, itu tidak berlangsung lama manakala saya sadar bahwa jika berpikir demikian berarti saya sendiri yang mengatakan bahwa kakak saya gagal. Secara tidak langsung, saya merasa bahwa kakak saya tidak melaksanakan perannya dengan baik, sehingga saya mesti mengambil tanggung jawab atas itu.
Kemudian saya menyadari kalau seharusnya tidak demikian. Sejak mula, rasanya tidak seharusnya orang lain yang bertanggung jawab atas kehidupan orang yang lain. Jika saya harus melakukan sesuatu, itu boleh jadi karena tanggung jawab saya terhadap diri sendiri. Misalnya ketika kakak saya tidak dapat lulus kuliah tepat waktu, bukan berarti saya berusaha lulus tepat waktu karena ingin menggantikan tanggung jawab kakak saya. Itu lebih kepada tanggung jawab saya sendiri terhadap keputusan awal saya dalam menempuh jenjang studi sarjana dan menyelesaikannya seoptimal mungkin.
Berhenti membanding-bandingkan urutan kelahiran. Anak pertama, anak tengah, anak bungsu, semuanya setara, tidak ada yang lebih menderita. Pundak sulung lebih berat karena menanggung tanggung jawab sebagai contoh kehidupan adiknya atau kaki bungsu lebih kuat karena harus menapaki cita-cita yang belum rampung. Berhenti dan cukupkan pada keberadaan kita sebagai manusia yang sedang belajar menjalani kehidupan masing-masing. Seperti lirik pamungkas di lagu Kunto Aji yang berjudul Sulung dan Bungsu, “yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri.”
BACA JUGA Anak Sulung dan Harapan yang Kadang Merepotkan dan tulisan Afitasari Mulyafi lainnya.