Di awal 2021 ini Badan Pusat Statistik baru saja merilis Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020. Jika dicermati, ada beberapa data menarik dari hasil sensus teranyar ini. Antara lain terkait perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan golongan generasi.
Tapi, Hasil Sensus Penduduk 2020 bisa jadi pelajaran bagi banyak orang di negeri ini. Mulai dari kaum pendukung poligami, akademisi, capres-cawapres, politikus, transmigran, hingga Bang Rhoma Irama. Lho kok bisa? Ya bisalah. Saya kasih tau.
Menurut hemat dan boros saya, berikut ini beberapa pelajaran yang tersirat dalam data Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020. Ini sengaja saya paparkan detail agar pelajaran yang tadinya tersirat itu menjadi tersurat. Sebab, sebagaimana keyakinan saya yang begitu kuat, berbagai kalangan yang saya sebut di atas sangatlah perlu mengambil ibroh dari hasil sensus termutakhir ini.
Pelajaran bagi akademisi, penulis, dan Bang Rhoma Irama
Banyak akademisi dan penulis kerap membuka paragraf laporan atau esai mereka dengan data jumlah penduduk Indonesia. Terutama jika tulisan itu membahas mengenai salah satu atau beberapa kondisi penduduk Indonesia. Misalnya saja dengan kata-kata berikut: “Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta orang merupakan negara terpadat blablabla..”
Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Indonesia tercatat mencapai 270.203.911 jiwa. Itu artinya, para akademisi dan penulis perlu mulai mengubah angka di paragraf awal tulisan mereka dari 230 juta atau berapapun menjadi 270 juta.
Selain mereka, Bang Rhoma Irama juga harus mengubah lirik lagunya yang berjudul “135 Juta” yang liriknya begini:
Seratus tiga puluh lima juta/ penduduk Indonesia// Terdiri dari banyak suku bangsa/ itulah Indonesia
Menjadi begini:
Dua ratus tujuh puluh juta jiwa/ penduduk Indonesia// Terdiri dari banyak suku bangsa/ itulah Indonesia
Mari nyanyikan bersama!
Pelajaran bagi kaum pria Indonesia yang mendukung poligami
Ini saya bukan membahas Bang Rhoma lagi, lho. Ini hanyalah hasil pemaknaan saya terhadap hasil sensus terbaru yang menunjukkan, ternyata kini ada lebih banyak pria dibanding perempuan di Indonesia.
Secara rasio jenis kelamin, kini ada 102 penduduk pria untuk setiap 100 penduduk perempuan di Indonesia. Data tersebut berkebalikan dengan hasil sensus tiga dekade ke belakang yang biasanya menemukan jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak ketimbang pria.
Sependek dan sedangkal pengetahuan saya, salah satu hal yang kerap jadi alasan bagi kaum pria Indonesia untuk mendukung poligami adalah karena jumlah perempuan saat ini dianggap lebih banyak daripada pria. Menurut mereka, jika tiap pria hanya berpasangan dengan seorang perempuan, bakal ada perempuan yang menjomblo seumur hidupnya.
Asumsi ini seolah menganggap perempuan lajang itu menyedihkan, kesepian, dan perlu ditolong oleh pria. Seolah kaum perempuan begitu lemah sehingga harus dijadikan pasangan hidup pria bahkan meski pria itu sudah punya istri lain.
Nah dengan data sensus terbaru ini, kaum pria Indonesia yang memiliki fantasi seksual bercinta dengan lebih dari satu perempuan mutlak telah kehilangan salah satu argumentasi berpoligami. Jika mereka masih kekeh jumlah perempuan di dunia lebih banyak daripada pria, itu juga salah. Sebab, dari total penduduk dunia sebanyak 7,79 miliar jiwa, jumlah penduduk perempuan hanya tercatat 49,58 persen, sedangkan penduduk pria sebanyak 50,42 persen.
Pelajaran bagi kaum transmigran dan peminat urbanisasi
Data sensus penduduk terbaru ini menunjukkan Pulau Jawa ternyata sudah sangat sesak jika dibandingkan pulau-pulau lain. 56,10 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa. Fakta ini seharusnya bisa mengurangi keinginan warga luar Jawa untuk berurbanisasi ke Jawa. Bahkan seharusnya bisa mendorong warga Jawa untuk bertransmigrasi ke luar Jawa. Yang jelas, orang-orang yang ingin bertransmigrasi atau berurbanisasi sebaiknya jangan ke Pulau Jawa deh.
Jika dibilang pusat ekonomi Indonesia cuma di Jawa, jangan khawatir, kini katanya pemerintah kita sudah mewujudkan pemerataan ekonomi di semua daerah di Indonesia. Katanya lho ya.
Konon, pemerintah sudah mengeluarkan banyak izin kepada pengusaha untuk membabat banyak hutan di luar Jawa untuk dijadikan tambang dan kebun sawit demi menghidupkan ekonomi. Banyak lahan pertanian warga juga sudah disulap jadi pabrik-pabrik. Nah apalagi yang kamu ragukan dari kehebatan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja di seluruh daerah bagi rakyatnya?
Pelajaran bagi capres, cawapres, dan politikus lainnya
Dengan lebih dari setengah penduduk Indonesia tinggal di Jawa, calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia ke depan seharusnya fokus kampanye di Jawa saja. Tidak usah pedulikan warga pulau lain. Toh sudah terbukti presiden Indonesia yang tak peduli penanganan pelanggaran HAM di Papua pun tetap bisa terpilih kembali.
Persentase jumlah penduduk yang jomplang antara Jawa dan non-Jawa ini bisa jadi adalah penyebab bahwa capres yang menang suara di Jawa pasti bakal jadi presiden Indonesia meski capres lain menang suara di lebih banyak provinsi di luar Jawa. Itulah mungkin sebabnya pula presiden pemenang pemilu di Indonesia pasti selalu orang Jawa. Terkesan rasis, tapi fakta sejarah.
Jika kalian menganggap perhitungan sistem suara elektoral pilpres Amerika Serikat itu ribet, sebenarnya itu bertujuan agar tiap negara bagian atau provinsi di sana memiliki signifikansi suara cukup setara. Kita jelas nggak mau ribet, pokoknya presiden pemenang pemilu Indonesia harus Jawa dan Islam.
Pelajaran bagian generasi tua dan generasi lainnya
Sebagai bagian dari generasi milenial (lahir tahun 1981-1996), saya seringkali kesal mendengar banyak orang dari generasi lebih tua kerap membebankan generasi kami sebagai penentu masa depan bangsa ini. Yang paling menyebalkan, alasannya adalah karena mereka menganggap generasi milenial punya jumlah populasi terbanyak di Indonesia.
Data sensus terbaru menunjukkan generasi terbanyak di Indonesia saat ini adalah generasi Z (lahir tahun 1997-2012) dengan persentase 27,94 persen, bukan generasi milenial yang persentasenya 25,87 persen. Jadi argumen generasi tua itu kini terpatahkan. Namun begitu, bukan berarti pula kita bisa membebankan masa depan bangsa ini pada gen Z saja. Masa depan bangsa kan dibentuk dari masa lalu dan masa kini.
Apakah nilai kurs rupiah yang kini amat sangat rendah terhadap dolar AS adalah kesalahan generasi milenial? Ataukah itu kesalahan masa lalu dari rezim Soeharto beserta generasi pre-boomer (lahir sebelum tahun 1945)?
Di tahun 2045, mungkin pertanyaannya lain lagi: Apakah pemberantasan korupsi dan nasib buruh makin susah karena generasi Z? Ataukah itu karena rezim Jokowi beserta generasi baby boomer (lahir tahun 1956-1964) dan generasi X (lahir tahun 1965-1981) yang menciptakan UU KPK Baru dan Omnibus Law? Mari berdoa dan menjawab dalam hati masing-masing.
BACA JUGA Mengenal Kegunaan Masker Transparan yang Dipakai Teman Tuli hingga Artis Korea dan tulisan Utomo Priyambodo lainnya.