Film Sobat Ambyar sudah tayang. Namun, sejauh mana ia mengajak penontonnya untuk turut ambyar?
“Wis sakmestine, ati iki nelongso. Wong seng tak tresnani mblenjani janji.”
Potongan lirik di atas merupakan bagian dari lagu “Cidro” karya Didi Kempot. Salah satu lagu yang menjadi spotlight di antara lagu “cidro-nya” yang lain. Lantunan lagu patah hati yang tersampaikan dengan sopan melalui melodi khas the Godfather of Broken Heart.
Lewat berbagai lagunya, perasaan pendengar dibuat kalang kabut. Ambyar, kata yang pas untuk menggambarkan perasaan seseorang yang sedang nelangsa karena patah hati. Pun lewat lagu-lagunya muncul tradisi njogeti patah hati—tradisi untuk nggak berlarut dalam kesedihan. Begitu, kiranya cara merayakan patah hati sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya bagi sobat ambyar.
Di tengah rasa rindu untuk dapat bernyanyi, berjoget dan melepaskan semua rasa patah hati bersama blio di konsernya, kehadiran film Sobat Ambyar seolah menjadi penyeka dahaga setelah kepergian blio. Sutradara Charles Gozali dan Bagus Bramanti berusaha mewujudkan visualisasi “ambyar” dalam bentuk skenario film.
Sayang seribu sayang, ada tiga hal yang mengganggu saya dalam menikmati film ini, menjadikannya antiklimaks untuk dapat nilai sempurna.
#1 Trailer sobat ambyar terlalu meng-highlight isi filmnya
Ketika trailer film ini tayang pertama kali di channel YouTube Netflix Asia, tanpa pikir panjang saya segera menonton walau pada akhirnya berujung kecewa. Sebagai calon penonton, saya berharap akan dibuat semakin penasaran dari trailer ini, tapi yang saya dapat justru sebaliknya.
Trailer film ini begitu banyak meng-highlight isi filmnya. Diawali dengan scene Jatmiko (Bhisma Mulia) misuh, “Buajingaaaaan!” Scene yang mungkin terinspirasi dari acara ngobam milik Gofar Hilman ketika ada seorang pria yang misuh, bahkan lagu yang dinyanyikan pun sama. Dari sini, saya seolah sudah mengetahui ke mana arah film ini.
Kemudian praduga saya diperkuat dengan kemunculan scene pertemuan pertama Jatmiko dengan Saras (Denira Wiraguna) di sebuah kedai kopi. Di satu momen, mereka lalu digambarkan sudah pacaran. Momen yang bagi saya sangat FTV banget karena serba kilat.
Selanjutnya, muncul scene di mana Abdul (Rezca Syam) hadir sebagai penanda awal konflik dalam film ini. Disusul dengan scene di mana Jatmiko menanyakan sosok Abdul kepada Saras diikuti dengan ucapan Jatmiko yang banyak di quote oleh netizen, “Kowe ki ngongkon aku jaga kesehatan, tapi kowe dewe sing ngelarani aku, Ras.” Semakin menegaskan bahwa film ini terlalu vulgar dalam spoiler penontonnya.
Di momen cidro itu, muncul sosok Pakde Didi dan Asri Welas sebagai anestesi rasa ambyar Jatmiko. Momen yang dari awal sudah sangat tertebak. Pun di akhir trailer, lagi-lagi Pakde Didi memperkuat semua plot twist dari awal hingga akhir dengan ajakan untuk njogeti patah hati. Ya… Begitulah.
Dari keseluruhan trailer yang tayang, terlalu banyak spoiler. Entah, ini memang strategi marketing atau bukan, tapi bagi saya terlalu mengecewakan. Maksud saya, nggak perlu terlalu over expose plot di trailernya. Toh, penonton juga akan melirik dengan “jualan” Pakde Didi karena persona sang maestro. Jadi, simpan saja plotnya.
#2 Berharap Pakde Didi sebagai spotlight, ternyata hanya cameo
Awalnya, saya berharap Pakde Didi akan menjadi spotlight dalam film ini. Saya sudah berimajinasi sebegitu liarnya, ternyata harapan saya lagi-lagi kandas. Blio hanya muncul di awal dan penghujung akhir scene saja dalam film ini. Seolah hanya sebagai bahan “jualan” demi menarik penonton.
Saya kira, Pakde Didi akan diberi banyak peran, minimal seperti Indro Warkop di film Warkop DKI Reborn. Walau saya juga tahu betul ini bukan film biopik, tetapi rasanya terlalu kurang ruang peran bagi Pakde Didi. Sebab, film ini “menjual” Pakde Didi dengan persona dan namanya. Maka, nggak salah dong, saya berharap blio menjadi spotlight bukan sebagai cameo.
Padahal, andai lebih banyak melibatkan blio, film ini bisa menjadi penghormatan terbaik atau cara mengapresiasi seluruh hasil karyanya selepas kepergian blio.
#3 Plot cerita yang FTV banget
Terlalu bisa ditebak. Jika dirangkum plotnya pun terlalu sederhana, rasanya FTV banget. Bagi saya, Prisia Nasution lebih cocok menjadi pemeran Saras di film ini. Sebab, Mbak Prisia ini sudah sangat fasih memerankan peran Mbak-mbak yang FTV banget. Apalagi lokasi syuting FTV dengan latar “jawa” juga sering di Jogja. Ya, anggap saja Jogja-Solo masih sama. lah. Kan pernah satu wilayah juga.
Lanjut, lanjut.
Dari proses perkenalan yang datar-datar saja, kemudian mereka bertemu di kedai kopi lalu berpacaran dan berujung cidro itu hal yang terlalu mainstream. Terlalu sederhana untuk diangkat menjadi sebuah film. Plot seperti ini justru sering kali saya jumpai di kolom komentar media sosial yang menyajikan kegalauan sebagai dagangannya. Bahkan, di antaranya jauh lebih pedih.
Sekali lagi saya bertanya-tanya, ini memang sengaja dibuat sederhana agar maksa relate atau yang penting ada kata “ambyar” dan sosok Didi Kempot-nya? Ya, kalau memang hanya seperti itu, ya, sudah. Bagi saya seperti makan kerupuk, renyah doang tapi nggak ada gizinya. Beneran seperti hanya pelengkap di antara hidangan utamanya.
Terlepas dari itu semua, film Sobat Ambyar tetap layak diminati dan diapresiasi. Titipan karya terakhir sang maestro kepada sobat ambyar. Kepergian blio, sama halnya dengan “Cidro” lain yang datang, nggak perlu terlarut dalam patah hati. Cara terbaik untuk mengingatnya dengan memberi “Dalan Anyar” penyanyi lagu Jawa melalui jalannya masing-masing.
BACA JUGA Ketika Sobat Ambyar Semakin Banyak dan Menyebalkan dan tulisan Muhammad Arif N Hafidz lainnya.