Di tahun yang bahkan para peramal diragukan dan digoblok-goblokin, ternyata masih saja ada orang Jawa yang nggak hafal arah mata angin. Hal paling prinsip seperti ngalor, ngetan, ngidul, ngulon saja nggak tahu, hal ini akan berimbas banyak kepada tatanan kehidupan ke depannya.
Apalagi jika yang nggak mudeng adalah pacar kalian. Orang yang bisa dikatakan sebagai garda terdepan dalam melingkupi sukacita, bisa jadi dukacita kala nggak tahu arah mata angin. Geger geden mungkin nggak bisa dideskripsikan sebagai penggambaran kondisi seperti ini, karena biasanya nggak tahu arah mata angin dalam hubungan itu berimbas ke dalam berbagai hal.
Saya merasakan dampratnya. Selain hobi koleksi video-video TikTok nggak nggenah, pacar saya ini punya satu hal yang lebih nggak nggenah lagi, yakni buta arah mata angin. Parahnya, nggak hanya arah mata angin ala orang Jawa, tetapi juga arah mata angin yang digunakan dalam dunia internasional.
Sedang saya, bisanya ya kalau menunjukkan tempat dan arah menggunakan ngetan lan ngulon, bukan kanan dan kiri. Entah weton kami nggak cocok atau fengshui otak kami kurang sepadan, masalah arah mata angin kadang jadi hal yang amat pelik lan nggatheli. Begini ceritanya…
“Dek, tunggu di lor jalan, ya? Biar aku gampang jemputnya,” suatu ketika kala kami janjian di daerah Minggiran, dekat rumahnya. Kebetulan katanya sedang ada tenda manten dan saya tahu betul lokasi yang enak untuk menjemputnya tanpa kudu melewati tenda biru tersebut.
Telepon saya tutup tanpa kudu menunggu jawaban darinya. Pikir saya, sebodoh-bodohnya tupai, toh ada Sandy Cheeks juga. Arti lain, ya mosok lor jalan saja nggak tahu. Begitu pikir saya.
Setelah saya mendekati daerah rumahnya, lha kok ya manusia satu ini nggak ada di lokasi yang saya janjikan. Bagai tersambar petir, walau saya belum pernah—dan amit-amit—mengalaminya, saya bersiap untuk muntab via suara.
Saya telepon gadis itu, kemudian diangkat olehnya. Dengan nada panik di seberang telepon sana, ia berkata, “Mas, lor itu mana? Aku belum keluar dari rumah gara-gara nggak tahu lor itu sebelah mana.”
Wah jyaaan, cilaka tiga belas. Dengan rekoso, akhirnya saya melewati tenda biru itu dan menjadi tontonan warga setempat. Belum apa-apa, saya sudah dicap jelek oleh tetangga-tetangganya. Gimana mau maju, lha wong mundur saja kena janur kuning yang menutupi jalan.
Setelah itu saya beri pemahaman. Patokannya, lor itu adalah utara dan Merapi menjadi episentrumnya. “Jadi, lor itu inget-inget aja sama Merapi. Kan Merapi besar, pasti kelihatan. Nah, di situlah utara,” begitu kata saya, doi manggut-manggut tanda paham.
Pikir saya, nggak mungkin terjadi hal-hal yang menyesakkan lagi semisal kami janjian dan saya keceplosan memberikan arahan berupa arah mata angin. Pikir saya yang selalu positif, otak manusia itu selalu berproses. Pun ia adalah gadis yang cerdas. Setelah belajar banyak tentang mata angin ngalor, ngetan, ngidul, lan ngulon, saya yakin betul doi sudah menguasai medan dan nggak bakalan ada kejadian bodoh lainnya.
Ndilalah saya salah, dia cerdas dalam berbagai hal, kecuali arah mata angin. Kali ini lebih bajilak lagi, yakni kala menentukan kereta mana yang akan kami gunakan, dan kebetulan doi sok-sokan pakai ngalor, ngetan, ngidul, lan ngulon.
Ke-ndlogok-an itu terulang lagi, kali ini lebih pahit, yakni kala saya jemput dia di Stasiun Solo Balapan. Ia naik TransSolo dan turun di depan Solo Balapan caket. Ia masuk, saya bisa memprediksi lantaran sudah hafal betul area stasiun. Sedangkan pacar saya belum, ia hanya sesekali singgah di stasiun ini.
Ketika masuk lobby utama, dalam telepon dia bertanya, “Mas di mana? Aku di lor,” katanya dengan semringah. Hati saya mencelus dan bungah karena ia sudah berani menggunakan arah mata angin.
Kalau sudah di lor, berarti dia sudah masuk peron. Itu jika patokannya rel kereta. Tanpa berpikir panjang, saya langsung masuk ke dalam stasiun, karcis dicek dan saya cari satu persatu pacar saya di dalam kereta Prameks yang masih ngetem.
Nihil. Blio nggak ada di dalam. Tapi kalau saya pikir-pikir lagi, pintu masuk Solo Balapan itu di kidul, jhe. Kok bisa-bisanya dia bilang sudah ada di lor dan kami nggak bertemu di lokasi yang sama?
“Lho, kamu sudah beli tiket tho, Dek?” saya chat dengan gelagapan. Takutnya dia salah naik kereta malah kebawa sampai Surabaya.
Beberapa saat kemudian dia membalas, “Belum tuh, Mas. Gimana?”
“Kok bilang sudah di lor?”
“Kan katamu patokannya Gunung Merapi?”
Saya hanya bisa mbatin, kok ya bajingan tenan. Gimana bisa Gunung Merapi jadi patokan sementara kami lagi berada di Solo, bukan Jogja. Selain itu, arah mata angin yang dia bilang masih salah pula. Woalaaah gembus!
BACA JUGA Tempat Pacaran di Jogja yang Sungguh Nrimo Ing Pandum dan tulisan Gusti Aditya lainnya.