Saya melihat berita tentang RUU PPN dengan nanap. Banyak pendapat, saling counter. Seru. Ngeri. Mencekam. Ea! Sebenarnya apa, sih, ini? Intro sedikit, PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai. Pajak ini melekat di semua barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen akhir, ya kita ini, dengan cara dipungut oleh penjual. Tarifnya 10%. Kebutuhan pokok seperti beras, daging, telur, buah, dan sayur nggak kena PPN. Selain kebutuhan pokok tersebut, 17 jenis jasa yang sangat dibutuhkan rakyat banyak juga nggak kena PPN.
Saat ini sedang dipresto (((digodog dengan cepat))) RUU tentang PPN. Di sini PPN akan disesuaikan tarifnya. Barang kebutuhan pokok jadi kena PPN. Tarifnya diusulkan beragam, ada yang 1 %, kebutuhan pokok yang grade-nya premium kena 12 %, mungkin malah bisa 25%.
Jasa yang dulunya nggak kena PPN jadi kena. Nanti kalau berobat ke rumah sakit, ke klinik, ke laboratorium, beli motor dengan leasing, naik Gojek, naik bus, naik kereta api, naik pesawat, harganya akan naik karena ada PPN itu. Nah, loh!
Terbayang nggak, sih, akan beratnya kita bertahan hidup saat RUU ini diketuk nanti. Perenungan saya selama nol hari tiga malam menghasilkan kiat yang akan saya coba nanti. Berikut bocorannya.
#1 Atur strategi konsumsi
Kalau hari Senin kita beli menu yang kena PPN 12 %, maka dua belas hari kemudian kita harus memilih beras, telur, daging yang kena PPN 1 %. Kita harus punya list barang biasa dan barang premium. Tempelin magic com dengan tulisan: “hemat pemakaian nasi, beras mahal!” Kalau bikin teh, kurangi kadar manisnya. Kalau kalian harus mengonsumsi telur omega karena alergi, sebaiknya lupakan saja karena bisa saja ini masuk barang premium yang akan menyedot isi dompet kalian.
#2 Pantau harga
Cek pergerakan harga setidaknya saat awal pengumuman kenaikan. Jangan pernah meminta anak untuk belanja ke warung dengan janji, “Kembaliannya nanti boleh dijajanin.” Bisa jadi harga barang dulu lain dengan setelah kenaikan. Lalu anak kalian akan pulang sambil menangis tersedu bilang, “Maaak, mana kembaliannya? Uangnya malah kurang.”
#3 Jalankan kebijakan uang ketat
Kalau jatah hari ini seratus ribu, maka isi itu saja di dompet kalian. Lainnya kubur dalam-dalam. Sebelum kenaikan PPN isi dompet biasanya habis sehari sebelum gajian. Bisa pas gitu seperti punya artificial intelligence. Setelah kenaikan PPN, kalau pengendalian kita kurang, bisa saja tiga hari sebelumnya isi dompet sudah kosong melompong kayak kopiah. Makan mau ikut siapa?
#4 Larang anak membeli jajanan yang berpotensi bikin sakit
Apalagi kalau ananda nggak mempan dengan obat generik sehingga sesekali harus ke dokter non-BPJS. Sudahlah harga jajanannya naik, harga dokternya juga naik. Pun pengobatan yang nggak ditanggung BPJS. Harus operasi kutil tapi nggak ditanggung BPJS? Anggap saja sedang operasi plastik.
#5 Pertimbangkan kenaikan ongkos transportasi
Naik Gojek nantinya akan kena PPN, loh. Maka, kalian juga harus cermat menghitung. Pesan untuk 88% perjalanan. Sisanya lanjutkan dengan berjalan kaki! Ini juga terjadi untuk bus, kereta, api, pesawat. Pokoknya semua angkutan yang berjaya di darat, laut, dan udara akan kena PPN. Namun bedanya, khusus pesawat nggak bisa dilanjutkan jalan kaki. Eh, ya mungkin bisa asal ada niatnya. Wqwqwq
#6 Belilah barang kebutuhan dari produsen langsung
Misalnya, telur beli ke peternaknya, bukan produsen besar, ya. Bila mereka jualan di bawah 13 juta sehari, itu belum wajib memungut PPN ke kita. Harga jualnya jadi lebih murah jatuhnya. Bisa juga dicoba cara lama. Berburu dan meramu. Wqwqwq. Lawas, ya? Tapi, ini relevan, lho. Cobalah mulai dengan berburu ayam di kandang tetangga, lalu tetangga gantian meramu cabe, terong, ketela di kebun kalian.
#7 Bersabarlah kalau anak nggak masuk sekolah negeri
Sudah SPP-nya mahal, sekarang kena PPN pula. Sebenarnya ini hanya karena kalian salah pilih rumah sehingga nggak masuk zonasi, kan? Pun berterimakasihlah pada pemerintah yang memasukkan kalian pada kelompok orang kaya. Anggap saja itu doa.
Ada lagi? Semoga nanti ketemu sambil jalan.
Selain cara di atas, mungkin bisa juga kita menghadap Yang Mulia Menteri Keuangan agar menganulir pengenaan PPN atas kebutuhan dan jasa pokok. Ceritakan bahwa ini akan berat. Pasti banyak masyarakat yang nggak kuat. Setidaknya jangan sekarang. Jangan juga 1 Januari 2022. Kesannya kok barusan jatuh tertimpa tangga, masih terseok-seok jalannya, eh, iuran RT dinaikkan.
Mengenai kenyataan bahwa negara memerlukan banyak dana untuk membiayai penganggulangan Covid, pemulihan ekonomi, memberikan stimulus dan insentif, itu sudah kita ketahui bersama. Namun, mencari solusinya mungkin ramashok dalam kapasitas kita. Kalau yang ini kita no comment saja.
Eh, gitu nggak, sih?
BACA JUGA Sebaiknya Penetapan Pajak pada Jasa Pendidikan dan Sembako Dibatalkan Saja.