Kompleks Candi Prambanan selama ini merupakan destinasi wisata yang cukup populer di Indonesia. Candi Prambanan bahkan sudah masuk sebagai warisan budaya dunia bersama dengan beberapa candi yang berada di kawasan kompleks PT Taman Wisata Candi Prambanan. Mereka adalah Candi Sewu, Candi Bubrah, Candi Lumbung, dan Candi Gana/Candi Asu.
Dalam penetapan UNESCO, kelima candi tersebut disebut sebagai “Prambanan Temple Compounds”. Penetapan ini telah dilakukan sejak 13 Desember 1991. Artinya, tahun 2021 ini adalah peringatan 30 tahun dari penetapannya.
Selama ini, banyak pengunjung yang datang dan hanya berfoto di Candi Prambanan, sementara candi lainnya dilihat sembari naik kereta dan mobil golf yang disediakan pengelola. Bahkan untuk Candi Gana, namanya mungkin paling tidak populer lantaran letaknya yang berada luar pagar dan di tengah permukiman penduduk. Makanya rangkaian kunjungan yang disediakan pengelola tidak menjangkau candi satu ini.
Kehadiran pengunjung yang kerap membanjiri Candi Prambanan, khususnya di masa liburan, terkadang tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang candi. Selama ini masyarakat bahkan tidak tahu kapan Candi Prambanan dibangun. Kebanyakan yang diketahui hanyalah mitos bahwa Canda Prambanan dibangun oleh Bandung Bondowoso dalam semalam. Padahal ada beberapa fakta yang perlu kamu ketahui terkait kompleks Candi Prambanan, lho.
#1 Candi tidak dibangun dalam semalam
Pembangunan Candi Prambanan yang berlatar agama Hindu, dihubungkan dengan prasasti Siwagrha. Prasasti yang kini berada di Museum Nasional ini berangka tahun 778 Saka (856 Masehi atau abad ke-9 Masehi). Dikutip dari buku Membangun Kembali Prambanan terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi DI Yogyakarta (2009), salah satu teks dalam prasasti tersebut berbunyi, “… Sira bhakti ta bhaktita weh ksunika samapta dening angutus inatus magawai sagupura parhyangan aganitanggana ta pacalan …” Teks tersebut menunjukkan bahwa candi ini dibangun oleh ratusan pekerja.
Prasasti Siwagrha ini hanya menunjukkan peristiwa peresmian dari Candi Siwa, yaitu tahun 778 Saka oleh Rakai Kayuwangi. Artinya, candi ini sudah jadi dan diresmikan pada tahun tersebut dan belum ada keterangan kapan mulai pembangunannya.
Sementara keberadaan Candi Sewu dikaitkan dengan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 714 Saka atau 792 Masehi. Prasasti menyebutkan tentang penyempurnaan prasada bernama Wajrasanamanjusrigrha. Prasada ini merupakan persembahan pada raja yang telah meninggal dunia. Prasada Wajrasanamanjusrigrha ini kemudian diidentikkan dengan Candi Sewu.
Candi Lumbung, Bubrah, dan Gana diduga berasal dari abad yang sama, yaitu sekitar abad 9-10 Masehi. Dan keempatnya—bersama dengan Candi Sewu—juga memiliki latar keagamaan yang sama, yaitu agama Buddha.
#2 Pembacaan relief dimulai dari sisi kiri candi
Saat berkunjung ke Candi Prambanan, khususnya Candi Siwa dan Candi Brahma, terdapat relief kisah Ramayana. Sementara Candi Wisnu memuat kisah Kresnayana. Kedua relief terpahat di pagar langkan yang mengitari ketiga candi tersebut. Cara membacanya dimulai dari sisi kiri ke kanan atau lazim dikenal sebagai pradaksina.
Makanya saat naik ke candi, jangan lupa belok kiri dulu, ya. Jangan belok ke kanan. Nanti baca cerita Ramayana dan Kresnayana-nya jadi terbalik.
#3 Candi Perwara diduga dibangun tidak berbarengan dengan candi induk
Sejumlah arkeolog berpendapat bahwa Candi Perwara yang berada di halaman 2 kompleks Candi Prambanan dibangun tidak bersamaan dengan candi induknya yang berada di halaman 1. Lantaran candi-candi ini diduga persembahan dari raja-raja bawahan dari masa Mataram Kuno.
Hal yang sama juga kemungkinan berlaku pada candi-candi yang masuk dalam Prambanan Temple Compounds ini, baik Candi Sewu maupun Lumbung.
#4 Arsitektur candi-candi ini menjadi inspirasi bangunan candi lain
Candi Prambanan merupakan bangunan candi tertinggi yang ada di Asia Tenggara pada abad ke-9 Masehi. Dalam buku Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara (2018) disebutkan jika Candi Prambanan merupakan bangunan tertinggi yang dibangun sebelum abad ke-10. Candi induk Prambanan (Candi Siwa) memiliki ketinggian 47 meter atau setara dengan gedung berlantai sepuluh.
Buku tersebut juga menyebutkan jika arsitektur candi di Indonesia pada abad 9-10 Masehi ini telah menginspirasi pembangunan candi di luar nusantara. Candi Prambanan dan Candi Sewu merupakan inspirasi pembangunan Angkor Wat dan Bayon di Kamboja.
#5 Pengelolaan Prambanan Temple Compounds melibatkan sejumlah pihak
Pengelolaan Candi Prambanan di bidang pelestarian—mencakup pemugaran, pemeliharaan dan lain-lain—berada di bawah kewenangan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi DI Yogyakarta. Berbeda dengan Candi Sewu, Bubrah, Lumbung, dan Gana, aspek pelestariannya berada di bawah tanggung jawab BPCB Provinsi Jawa Tengah. BPCB merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Nah, pada aspek pemanfaatan (untuk tiket dan fasilitas lain di luar bangunan candi), keempat candi (Candi Prambanan, Sewu, Lumbuh dan Bubrah) berada di bawah manajemen PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur dan Ratu Boko, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara. Sementara Candi Gana, pelestarian maupun pemanfaatannya berada di bawah tanggung jawab dari BPCB Provinsi Jawa Tengah.
#6 Mitos bakal putus dengan pasangan karena berkunjung ke Candi Prambanan
Ada mitos yang berkembang di kalangan masyarakat bahwa pasangan yang masih pacaran lebih baik tidak mengunjungi Candi Prambanan lantaran kisah cinta mereka tidak bakal langgeng. Entah dari mana mitos ini berasal. Pun tak jelas, apakah mitos ini berlaku bagi yang berkunjung ke Candi Prambanan saja, atau Candi Sewu, Lumbung, dan Bubrah.
Kalau takut dengan mitos itu, mungkin kamu bisa mencoba alternatif lain dengan mengunjungi Candi Gana yang letaknya jelas-jelas di luar pagar. Atau malah berkunjung saat sudah menikah seperti yang saya lakukan. Sekalian saja mengajak anak-anak agar bisa mengajari mereka soal cagar budaya sejak dini.
Semoga uraian di atas bisa memandu kamu yang akan berkunjung ke kompleks Candi prambanan. Mari tetap melestarikan cagar budaya, salah satunya dengan rajin berkunjung ke candi.
Penulis: Shinta Dwi Prasasti
Editor: Intan Ekapratiwi