Siapa sih yang nggak tahu Solo? Kota kelahiran Presiden RI ke-7, Joko Widodo, ini sering jadi tujuan wisatawan yang hendak berwisata ke daerah Jawa Tengah dan sekitarnya. Solo memang terkenal dengan wisata budaya dan juga kulinernya yang sedap. Ada banyak hal yang ikonik dan unik yang bisa kita temukan di sini.
Walau nggak lahir di kota ini, Solo menorehkan kesan dalam di benak saya sebagai warganya. Iya, Solo terasa seperti rumah sendiri. Dan itulah alasan mengapa saya perlu menuliskan artikel ini sebagai bentuk rasa sayang terhadap Solo. Sebagai warga Solo yang baik, saya merasa ada hal-hal yang sebaiknya nggak boleh hilang dari Kota Budaya ini, berikut beberapa di antaranya:
#1 Selat Solo
Kuliner satu ini jadi favorit banyak orang tak terkecuali wisatawan karena cita rasanya yang manis, gurih, sedikit asam, dan segar. Selat Solo terbuat dari cacahan daging sapi yang dibentuk menjadi bola-bola lalu disajikan dengan berbagai macam sayuran seperti wortel, selada, kacang panjang, dan kentang goreng. Semua bahan ini kemudian disiram dengan kuah yang memberikan rasa manis, gurih, dan asam.
Selat Solo akan semakin nikmat bila disantap di siang hari sebagai menu makan siang. Isiannya yang lengkap—protein, karbohidrat, dan serat—bikin kita merasa makan makanan dengan gizi yang lengkap. Tentu saja hidangan seperti ini harus tetap ada dan nggak boleh lenyap dari jagat kuliner Nusantara.
#2 Es teh
Hal lain yang nggak boleh hilang dari Solo adalah es teh. Mungkin sebagian dari kalian akan bilang, “Halah, es teh doang. Semua daerah juga ada es teh kali!”
Eits, jangan salah. Es teh ini bukan sembarang es teh, ygy. Es teh di Solo punya ciri khas yang berbeda. Umumnya di Kota Solo, tiap warung makan punya racikan teh masing-masing dari campuran beberapa merek teh. Campuran teh tersebut kemudian digodok bersamaan dalam satu teko sehingga teh menjadi kental dan pekat. Teh yang pekat ini nantinya dituang ke gelas bersama gula dan es batu sebelum dihidangkan.
Meski tampilan es teh Solo cenderung lebih pekat, rasanya lebih manis, kok. Pokoknya rasa es teh di sini beda dari es teh di daerah lain, deh. Tenanan.
#3 Kirab 1 Suro
Di Solo, ada perayaan yang digelar setiap datangnya tahun baru Hijriah atau masyarakat biasa menyebutnya 1 Suro. Perayaan ini digelar oleh Keraton Surakarta dengan melakukan arak-arakan benda pusaka dan kebo (kerbau) bule milik Keraton atau dikenal sebagai ritual mubeng beteng.
Ada satu hal yang menurut saya menarik dari Kirab 1 Suro ini, yakni kepercayaan masyarakat akan kebo bule yang mendatangkan berkah dan khasiat tersendiri, mulai dari mendatangkan rezeki, menyembuhkan penyakit, hingga menyuburkan tanaman. Masyarakat pun berebutan untuk dapat menyentuh kebo bule ini.
Selain jadi tradisi, momen Kirab 1 Suro juga merupakan upaya Keraton Surakarta dalam memperkenalkan budaya, kesenian, serta sejarah dan nilai yang terkandung di dalamnya kepada masyarakat luas. Jangan sampai tradisi ini hilang, sih.
#4 The power of “nek ra sabar maburo”
Sudah jadi perbincangan banyak orang kalau masyarakat Solo mengedepankan unggah-ungguh atau yang diartikan sebagai sopan santun dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Unggah-ungguh ini menjadi salah satu peraturan tak tertulis yang diamini oleh warga Solo sebagai adab bersosialisasi.
Budaya unggah-ungguh ini yang bikin saya jatuh cinta dengan Solo. Contoh penerapannya yang nyata adalah ketika kita sedang berada di jalanan menunggu lampu merah atau sedang ada kemacetan. Di Solo, saya jarang sekali mendengar klakson dibunyikan saat lampu mulai menyala hijau atau kemacetan yang lama. Beberapa kali saya memang pernah menemukan klakson yang dibunyikan saat lampu merah berganti hijau, namun mayoritas pelakunya nggak berplat AD.
Ya, saat sedang berhenti di lampu merah atau kena macet di jalan, warga dituntut untuk bersabar dan nggak berisik membunyikan klakson. Kalau nekat membunyikan klakson siap-siap saja mendengar omelan, “Nek ra sabar maburo!” (kalau nggak sabar, terbang saja).
#5 Pemimpin yang blusukan dan friendly
Saya percaya tiap pemimpin punya gaya yang berbeda dalam menjalankan roda kepemimpinannya, tak terkecuali wali kota Solo yang kini dijabat Gibran Rakabuming Raka sejak 2021 lalu. Sejauh ini, wali kota yang kerap disapa Mas Wali ini aktif menerima aspirasi warga melalui akun media sosialnya, khususnya Twitter. Upaya mendengarkan aspirasi warga secara langsung ini linier dengan gaya blusukan yang dilakukan ayahnya yang juga mantan wali kota Solo, Joko Widodo.
Harus diakui bahwa upaya “blusukan modern” ini mendapat banyak pujian dari warga Solo maupun luar Kota Solo. Sebab, warga jadi bisa membagikan keresahan mereka secara langsung melalui akun Twitter. Kemudahan penyampaian aspirasi warga kepada pemimpin wilayahnya ini sudah seharusnya diterapkan sebagai prioritas mengingat salah satu fungsi pemimpin suatu wilayah adalah memastikan kesejahteraan dan keamanan warganya. Makanya saya merasa budaya blusukan ini nggak perlu dihilangkan, siapa pun pemimpinnya.
#6 Kasus tabrak lari Flyover Manahan tahun 2019
Kalau hal-hal yang nggak boleh hilang sebelumnya dari Solo seputar kuliner, budaya, dan gaya kepemimpinan wali kotanya, poin terakhir ini saya menuliskan kasus tabrak lari Flyover Manahan yang terjadi pada 2019 silam.
Pasalnya, kasus tabrak lari yang menewaskan seorang ibu bernama Retnoning Tri ini sudah berlalu 3 tahun. Namun, polisi masih belum juga menangkap pelaku dengan alasan rekaman CCTV yang buram. Pada 2019 lalu, Kasatlantas Poltesta Solo mengeklaim sudah mengantongi identitas pelaku, akan tetapi penangkapan ditunda dengan alasan ingin mengumpulkan bukti supaya nanti di persidangan nggak terbantahkan.
Konyolnya, hingga 3 tahun berlalu kasus ini belum ada kemajuan. Pada 2021 kemarin beberapa lembaga seperti Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawalan Penegakan dan Pengawasan Hukum Indonesia (LPH3I) sempat mengajukan permohonan praperadilan sebagai bentuk keprihatinan terkait lamanya penanganan kasus tabrak lari tersebut. Namun usaha itu juga belum menemukan titik terang.
Tentu saja kasus ini nggak boleh hilang dan dilupakan begitu saja sampai ada titik terang dan tegaknya keadilan bagi korban. Sebagai warga biasa, saya cuma bisa berharap agar kasus semacam ini nggak terulang di Solo.
Nah, itulah enam hal yang nggak boleh hilang dari Solo. Apakah kalian punya versi hal-hal yang sebaiknya nggak boleh hilang dari Kota Budaya ini?
Penulis: Nabila Mawaddati Rivai
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kota Solo, Sebaik-baiknya Kota untuk Menetap.