Salah satu manifestasi dari sistem ekonomi syariah saat ini adalah bank syariah. Sistem bunga di bank konvensional yang dianggap mirip riba menjadi alasan bank syariah dibentuk. Tapi, saat ini bank syariah saat ini mengalami stagnasi pertumbuhan dan kebermanfaatan, meski pada awal 2021 telah dilakukan peleburan terhadap tiga bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) menjadi satu bank yaitu BSI.
Peleburan itu secara kebermanfaatan terhadap kalangan bawah tidak signifikan, hanya berdampak pada penambahan aset bank syariah secara umum di Indonesia. Bank tersebut, menurut saya, seperti kehilangan spirit syariahnya.
Stagnasi tersebut disebabkan banyak pelaku bank syariah yang enggan berterus terang tentang kekurangan dari bank tersebut dalam beberapa hal kepada masyarakat. Alih-alih mencoba untuk memperbaikinya, para pelaku masih terus menutup-nutupinya sehingga masyarakat acap kali merasa dibohongi oleh bank syariah.
Sebagai seorang lulusan perbankan syariah dan pernah mencicipi sesaat berada di lingkungan bank jenis ini, menurut saya setidaknya ada 5 hal yang masih sering ditutup-tutupi oleh para pelaku bank syariah.
#1 Bebas lepas dari praktik bunga
Para praktisi selalu menggaungkan bahwa bank syariah secara praktikal, baik dari sisi operasional, maupun pengambilan keputusan dalam menyalurkan pembiayaan, terbebas dari praktik bunga Padahal, praktik bunga itu sulit dihindari, melihat ekonomi dunia saat ini. Sebab, setiap tahun nilai uang itu menyusut.
Jadi selain disalurkan melalui pembiayaan ke masyarakat, dana yang telah dihimpun oleh bank syariah juga ditempatkan di Bank Indonesia, bank konvensional, bahkan di instrumen pasar modal. Alasannya jelas, bank syariah tidak bisa hanya bergantung pada angsuran nasabah untuk menjaga nilai uang yang dihimpun tidak menyusut (dan tetap untung). Penempatan dana tersebut akan memberikan imbal hasil berupa bunga secara berkala ke dalam kas bank. Hal ini untuk menyiasati agar uang yang telah dihimpun tidak menurun nilainya.
Secara regulasi, pendapatan bunga ini nantinya di dalam laporan keuangan akan dicatat sebagai pendapatan nonhalal yang harus disalurkan dalam bentuk aktivitas sosial.
Persoalannya di sini, dana nonhalal ini begitu seksi karena nominalnya bisa sangat besar sehingga sering kali tidak terdeteksi dan tidak transparan arah penyalurannya. Terkadang dana tersebut juga disalurkan dalam bentuk dukungan sponsorship yang notabenenya malah jadi ajang promosi produk dari bank tersebut.
Selain itu, karena tenor (jangka waktu) pembiayaan bisa sampai puluhan tahun, bank syariah sudah pasti tetap memperhatikan suku bunga acuan dari Bank Indonesia (BI 7 day Rate) ketika memberikan pembiayaan kepada nasabah.
Jadi bank syariah juga memasukan variabel bunga dalam pengambilan keputusan. Misalnya suku bunga saat ini ditentukan sebesar 3.4 persen, artinya margin keuntungan yang ditarik oleh bank syariah kepada nasabah berkisar di angka tersebut.
Nah fakta ini sering kali dikaburkan oleh para praktisi. Sehingga masyarakat seringkali menganggap bank syariah itu bebas bunga, padahal ya persoalan bunga masih jadi bahan pertimbangan karena rasanya yang manis.
#2 Semua adalah profit and loss sharing
Skema profit and loss sharing (bagi hasil dan bagi rugi) menjadi tagline yang diusung oleh bank syariah. Membuat banyak orang terhipnotis dan terkesima, bagaimana bisa ada sebuah lembaga komersial bersedia untuk menanggung kerugian dari nasabah yang mengajukan pembiayaan.
Nyatanya tagline ini hanya sebatas kata tanpa makna.
Secara implementasi, akad yang punya skema profit and loss sharing yaitu mudharabah sangat jarang dimasukan ke dalam klausul penawaran pembiayaan kepada nasabah. Saya tegaskan lagi, amat sangat jarang.
Apalagi kalau nasabah tersebut mengajukan pembiayaan untuk pengembangan usaha, hampir tidak mungkin bank syariah akan menyodorkan akad tersebut. Lebih seringnya akad yang ditawarkan adalah murabahah (jual beli) yang kalkulasi angsurannya lebih pasti karena dihitung dari margin keuntungan.
Jadi jatuhnya kayak pengadaan barang usaha. Bank membeli apa yang kamu butuhkan dan menjualnya ke dirimu. Atau selain jual beli, bank juga lebih suka menggunakan akad ijarah (sewa) yang diberi opsi kepemilikan di akhir tenor.
Akad bagi hasil bagi rugi yang sering dikoar-koarkan itu lebih sering digunakan kerja sama untuk proyek infrastruktur dengan skala yang besar, misalnya jalan tol, bandara, atau pelabuhan. Yang sudah barang tentu risiko kerugiannya sangat minimalis.
Baca halaman selanjutnya