4 Pertanyaan Konyol tentang Wakatobi yang Sering Bikin Saya Geleng-geleng

bahasa di wakatobi pelestarian lingkungan sepak bola bajo club wakatobi poasa-asa pohamba-hamba mojok

sepak bola bajo club wakatobi poasa-asa pohamba-hamba mojok

Sebagai orang yang bukan asli Jogja, apalagi asli Jawa, saya merasa beberapa kali teman-teman saya bertanya hal yang terlalu polos. Pikir mereka, daerah saya di Wakatobi sana (saat ini) sama halnya dengan apa yang mereka dengarkan menurut cerita orang tua mereka berpuluh tahun silam. Atau, saya kurang tahu, apakah saking tidak pernah ada narasi untuk tahu apa yang ada di Wilayah Indonesia Timur sana sehingga sedikit saja pengetahuan tentang kebudayaan timur adalah selalu soal kemiskinan, keterbelakangan, dan hal primitif lainya?

Nah, dari sekian banyak pertanyaan mengenai daerah saya di Wakatobi sana yang kadang polos cenderung tolol itu, saya akan merangkumnya dalam beberapa list berikut.

Katanya orang Wakatobi bisa jalan di atas air?

Beberapa kali, saya memang pernah bercerita mengenai orang-orang di Wakatobi yang bisa kita kategorikan sebagai meta-human, kepada beberapa teman saya di sini. Begini, mari saya beri tahu satu hal, bahwa Bandung Bondowoso bisa membangun 999 candi dalam semalam dengan bantuan bangsa jin dan lelembut itu sebuah kekuatan metahuman layaknya beberapa orang di Wakatobi. Tapi hal ini tidak lantas membuat semua orang Jawa punya skill yang sama.

Nah, di Wakatobi, hal serupa itu yang terjadi. Ada yang bisa berjalan di atas laut, bahkan bisa membelah lautan, ya ada, katanya begitu. Tapi tidak lantas semua punya kekuatan begitu? Maksud saya, kok maksa banget, saya yang lugu ini harus punya kekuatan berjalan di atas air?

Kalo bicara soal renang dan menyelam, walau mungkin tidak bisa bagus-bagus amat, orang-orang di Wakatobi paling tidak bisa atau pernah merasakan berenang dan menyelam.

Di Wakatobi ada motor nggak, sih?

Walau Wakatobi itu perkampungannya didominasi oleh kampung-kampung di pesisir dan pinggir laut, bukan berarti kami tidak butuh kendaraan bermotor untuk menjelajah di darat. Kan di tempat kami juga ada daratan.

Dari tahun 70-an atau 80-an, motor sudah ada di sana. Itu bahkan sebelum Wakatobi mekar menjadi kabupaten sendiri (2003). Walau bukan motor-motor sport dengan silinder yang besar, motor-motor terbaru dari mulai yang bebek, matic dan motor yang kalo kita dibonceng seketika berubah jadi simpanse itu juga ada di sana. 

Bahkan di usia kabupatennya yang masih tergolong muda, sejak 2010-an ke atas, orang-orang di Wakatobi berlomba memiliki mobil-mobil pribadi, hasil kredit nggak jadi soal, yang penting bisa gaya karena itu milik pribadi.

Baju orang Wakatobi kayak apa, sih?

Woy lah!!! Ente pikir Wakatobi itu macam orang-orang yang berdiam diri di hutan yang nggak pernah keluar, dan sekalinya keluar hutan, presiden udah menjabat tiga periode, gitu?

Nggak gitu konsepnya. Di Wakatobi itu, tren berpakaian ya layaknya orang-orang di Jawa pada umumnya. Walau mungkin mereka (sebagian) ada yang tidak mengenal barang branded, atau memang tidak mau memakai pakaian dan barang mahal, tapi sekedar pakaian, ya orang-orang sana berpakaian layaknya yang kalian saksikan di sekeliling kalian di Jawa.

Saya malas sekali menjelaskan ini kepada teman atau siapa saja orang yang selalu bertanya soal apakah orang Wakatobi sudah “mengenal pakaian”. Sebuah pertanyaan yang menurut saya terlalu dangkal. Bahkan sedangkal otak orang yang bertanya itu.

Saya ingin menjelaskan paling tidak dua hal mengenai ini. Pertama, Wakatobi itu daerah pesisir, yang secara logis, jadi tempat persinggahan, entah pedagang atau para perantau dari kota yang mencari kerja. Ya otomatis orang-orang sana mengenal yang namanya pakaian. Lha, wong kabar pakaian kekinian saja sudah dibawa para pendatang dan perantau itu kok. Belum lagi informasi dari media (TV dan internet) yang sudah berkembang lumayan pesat di sana, orang-orang ya semakin modis dan trendy tentu saja.

Kedua, dan ini yang agak nggatheli, bahwa dari pertanyaan ini, membuktikan bahwa mereka yang bertanya ini memang tidak pernah mau tahu (jika tidak mau disebut buta) terhadap manusia dan kebudayaan di Indonesia bagian Timur. Sudah begitu, pertanyaan yang diajukan juga tidak ada simpatik-simpatiknya sama sekali.

Orang Wakatobi makan beras nggak, sih?

Pertama, saya mau bilang kalo orang Wakatobi tidak makan beras. Kami di Wakatobi makannya nasi, beras yang sudah dimasak.

Gini lho, oke, saya sering sekali bercerita bahwa di Wakatobi itu, di zaman dahulu, tidak punya akses untuk makan makanan yang asalnya dari beras. Sehingga, dengan keterbatasan itu, orang-orang mengakalinya dengan mengolah apa saja yang tumbuh di tanah Wakatobi untuk dijadikan makanan pokok. Yang paling memungkinkan ya singkong. Dan budaya makan olahan singkong itu masih bertahan dan dipertahankan hingga saat ini.

Tapi, ketika beras masuk tidak serta merta ditolak untuk dijadikan bahan makanan. Pun dengan olahan singkong yang tidak ditendang setelah ada jenis makanan pokok baru yang muncul di kebudayaan kami. Sehingga, jangan heran kalo berkunjung ke Wakatobi dan Anda menemukan di meja makan disediakan nasi dan kasoami (hasil olahan singkong) dan keduanya tidak saling gontok-gontokan. Mereka dengan sangat rukun duduk berdua di sana. Entah siapa yang terpilih duluan untuk dilahap, tidak jadi soal.

Itulah beberapa pertanyaan konyol tentang daerah asal saya yang kadang bikin mendidih dikit ketika ditanyakan pada saya. Tapi, nggak apa-apa, tak kenal maka tak sayang. Cuman, sebaiknya kalian mulai deh belajar tentang keragaman dan geografi di Indonesia. Ya biar paham dan saling memahami gitu lho.

Juga biar nggak kebanyakan nanya sih.

BACA JUGA Tradisi Unik Perihal Makam di Wakatobi dan tulisan Taufik lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version