Dawet adalah salah satu menu minuman yang digandrungi masyarakat negeri ini. Jauh sebelum label dawet semakin meroket gara-gara jargon cendol dawet dalam lagu-lagunya Didi Kempot, dawet telah sukses merebut hati publik. Buktinya, populasi penjual dawet tidak dapat dibilang sedikit. Contohnya di sepanjang Jalan Jogja-Solo, tepatnya di daerah Bogem, pedagang dawet banyak banget berjejeran berjarak tiap sekian meter. Di kota dan desa kita dapat dengan mudah menjumpai mereka.
Salah satu merek dawet yang saya (dan pasti netizen juga) sukai adalah dawet ayu Banjarnegara. Perpaduan antara tepung sagu aren, tepung beras, air daun suji, air santan, daun pandan, potongan daging nangka, dan irisan tipis gula merah, plus es batu atau es gosrok, teramat mustahil untuk ditolak diminum jika segelas dawet tersebut disuguhkan ke hadapan kita. Bayangan menenggak dawet di pinggir jalan yang kering kala jam pulang kerja nan panas… duh, nikmatnya. Di balik ngefans-nya saya je dawet ayu Banjarnegara, ada hal yang membuat saya penasaran setiap saya berkunjung ke kios dawet.
Bukan tentang kenapa kok disebut dawet ayu. Bukan juga kenapa disebut dawet ayu tetapi kok yang jual justru pria, yang harusnya jadi dawet ganteng dong. Bukan pula kenapa nama tempat yang digunakan sebagai label adalah Banjarnegara dan bukan Banjarmasin atau Banjarbaru. Yang memicu keingintahuan saya adalah sosok Semar dan Gareng yang bertengger di atas kayu pikulan dawet Banjarnegara.
Bagi orang yang sedang jajan di kios dawet ayu, sepintas mungkin menganggap adanya pajangan Semar dan Gareng ini sebatas berkaitan dengan urusan estetika saja. Bagi pikiran-pikiran liar yang tergoda ber-negative thinking bisa jadi berpikir kalau pajangan tersebut berdaya magis alias untuk penglaris.
Nah, daripada sibuk berteka-teki ria, kemarin saya datangi salah satu pedagang dawet yang mangkal di sekitar Jalan Manisrenggo untuk digodai ditanyai. Sebagai bahan krosceknya, setelahnya saya juga menanyai kawan saya yang berprofesi sebagai guru bahasa Jawa dan merupakan anak dari seorang dalang terkemuka di Klaten. Ada empat jawaban yang saya dapatkan.
Makna pajangan Semar-Gareng di pikulan dawet ayu Banjarnegara #1 Melambangkan musim
Sadarkah kita kalau perpaduan kata Semar dan Gareng menjadi alasan dipasangnya hiasan dua tokoh wayang ini? Nama Semar dan Gareng jika digabung menjadi mareng yang dalam bahasa Jawa artinya kemarau. Adanya simbol Semar-Gareng dengan mareng-nya ini dipandang cocok bagi dawet ayu sebab tepat disantap saat cuaca panas, apalagi di musim kemarau.
Di balik istilah mareng ini sebenarnya penjual dawet berharap agar cuaca yang dijumpai saat berdagang adalah kemarau. Eh, duo wayang ini bukan untuk tolak hujan lho. Pada dasarnya para penjual tidak menolak hujan, hanya saja mereka berharap jika turun hujan, semoga segera reda sebab rezeki mereka tidak akan mengalir deras jika hujan tidak lekas berhenti. Jadi istilah mareng ini semacam doa atau harapan dari penjual dawet.
Makna pajangan Semar-Gareng di pikulan dawet ayu Banjarnegara #2 Melambangkan rasa
Hanya membaca kalimat barusan saja mungkin Anda akan mikir, memangnya apa hubungan tokoh wayang dengan rasa. Wayang kan nggak bisa didaur ulang pasca pementasan untuk dijadikan cemilan. Ya memang nggak bisa. Jangan biarkan pikiran liar meracunimu karena jawabannya lagi-lagi adalah akronim: nama SEmar-GAReng jika disingkat menjadi SEGAR.
Kata segar ini tentu saja melambangkan rasanya saat kita meneguk es dawetnya. Tidak heran banyak penjual yang menambahkan embel-embel “segar” di belakang kata dawet ayu. Di luar itu, jujur saja ketika pertama mendengar jawaban ini dari penjual dawet, saya sih autongakak.
Bagaimana tidak, coba saja Anda membuat akronim dengan melibatkan Bagong atau Petruk, niscaya akan aneh hasilnya. Formula SEmar-BAGong jika digabung menjadi SEBAG (mungkin bisa dipelesetkan menjadi sebah, yang ada artinya dalam bahasa Jawa, tapi kalau gitu nanti namanya bukan Bagong tapi Bahong).
Sementara itu, formula SEmar-PETruk jika digabung menjadi SEPET. Pasti Anda tahu kan arti kata “sepet”? Mustahil jika dua kombinasi ini dipasang di pikulan es dawet. Melihat arti dari akronimnya, kata tersebut berpotensi marai bakulane dawet ora payu. Strategi marketing-nya akan ambyar.
Makna pajangan Semar-Gareng di pikulan dawet ayu Banjarnegara #3 Figur teladan
Untuk memahami ini, Anda perlu menengok sebentar khazanah cerita wayang. Alasan mengapa sosok Semar adalah figur teladan rasanya telah menjadi pengetahuan umum. Dalam kisah pewayangan, Semar adalah pengasuh sekaligus penasihat para ksatria. Di luar awal mula sepak terjang Semar, menurut Purwacarita, Semar adalah jelmaan dari Batara Ismaya. Dalam kisah Mahabharata, keluhuran Semar sejajar dengan Kresna. Dalam perang Barathayudha, Semar adalah penasihat Pandawa. Ia berada di pihak ksatria yang memperjuangkan kebenaran dan hal-hal baik.
Sementara untuk Gareng, di luar riwayat awalnya saat masih menjadi raja bergelar Prabu Pandupragola di Kerajaan Paranggumiwayang, atau ketika berwujud Bambang Sukodadi di padepokan Bluluktiba, posisinya sebagai anak tertua dalam punakawan memegang peran penting. Gareng menjadi panutan bagi adik angkatnya, yakni Petruk dan Bagong, agar tidak bertindak sembrono dan mencelakai orang lain. Maka dari itu, tidak heran sosok Semar dan Gareng dipilih sebagai patron. Ada makna positif yang ingin disampaikan dari pikulan dawet ayu.
Makna pajangan Semar-Gareng di pikulan dawet ayu Banjarnegara #4 Wewakili rupa kebahagiaan yang murni
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong selaku punakawan biasanya dimunculkan oleh dalang saat adegan goro-goro. Tahukah Anda jika pementasan digelar semalam suntuk dan dimulai pada pukul 21.00, adegan goro-goro naik panggung di jam berapa? Lazimnya adalah lepas tengah malam, sekitar pukul 01.30-02.30. Ini adalah jam rawan ngantuk bagi orang yang menonton full dari awal.
Hebatnya, justru goro-goro inilah yang ditunggu kemunculannya oleh banyak orang. Alasannya sangat jelas, goro-goro menyuguhkan adegan humor, banyolan, ledekan, dan guyonan khas Jawa yang diselingi dengan lantunan lagu campursari. Lagu yang dinyanyikan pun tidak selalu tembang lawas, tidak jarang bahkan lagu berbahasa Jawa di era terkini. Bahkan pernah saya jumpai lagu dangdut turut mewarnai adegan yang memicu para hadirin ngakak parah.
Guyonan yang disampaikan oleh dalang melahirkan keceriaan di tengah malam dan keempat punakawan ini menjadi sumber kebahagiaan yang terpancar jelas dan tanpa dibuat-buat dari raut muka penonton.
Jika keempatnya sukses mengundang gelak tawa, mengapa tidak semuanya saja dipajang di pikulan dawet ayu?
Untuk yang satu ini jawabannya mudah saja, jika keempat tokoh dipasang semua nanti yang ada malah menghadirkan suasana sumpek di pikulan, hiasannya terlalu rame, dan menghalangi posisi pandang pedagang ke pembeli. Bukankah posisi Semar dan Gareng selalu ditaruh di ujung sisi kiri dan kanan seperti pengawal layaknya sepasang arca Dwarapala yang kerap diletakkan di pintu gapura atau gerbang. Jika tengahnya diisi dengan Petruk dan Bagong yo kebak tho, bosku.
Setelah membaca tulisan ini, bolehlah Anda mampir ke kios dawet ayu. Sepik-sepik lah dengan beliau. Siapa tahu ada fakta unik lain yang bisa Anda tambahkan di sini terkait Semar dan Gareng. Ngomong-ngomong, saya bukan penjual dawet ayu lho.
Selamat jajan dawet. Saya nitip dua gelas dong.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Penjelasan Tatakan Mangkuk Dawet Jabung Ponorogo Tak Boleh Dipakai Pembeli dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.