Akhir April lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menaikkan insentif pajak bagi dunia usaha akibat pandemi Covid-19, salah satu bentuknya yaitu insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Menteri Keuangan sendiri telah memperluas cakupan sektor penerima insentif pajak melalui pengundangan Peraturan Menteri Keuangan 44/2020.
Meski telah diperluas cakupannya, namun tampaknya tidak semua pekerja berhak menikmati insentif PPh 21. Buktinya ada pada cerita kawan saya ini.
Sekitar 2 pekan lalu, kawan saya (sebut saja Simar), yang sekarang kerja jadi freelancer alias karyawan/pekerja lepas, nanya seputar hukum perpajakan ke saya, terutama soal PPh 21. Dia nanya lewat WA, pula sambil pake embel-embel gini, “Keknya bukan bidangmu, tapi aku nggak tahu juga sih.”
Huffft, iya sih, saya emang mantan mahasiswa jurusan ilmu hukum, dan memang dulu saya pernah belajar matkul hukum pajak (itu pun cuman 2 SKS). Hanya saja, konsentrasi saya itu bidang hukum tata negara, dan saya yakin Simar sudah tahu itu.
Tapi, saya sih, ya, sebenernya nggak masalah ditanya macam begitu. Apalagi setelah tahu alasan dia nanya itu sebagai usaha dia untuk cari tahu dan tak mau serta-merta dikibuli oleh si pemberi kerja, yang katanya, penghasilannya bakal dipotong atas nama PPh 21. Alih-alih dapet insentif PPh 21, eeeh, malah mau dipotong dengan dalih pajak penghasilan.
Nah, soal pajak penghasilan ini, nyatanya memang bukan cuman pegawai tetap saja yang penghasilannya dipotong PPh 21. Tapi penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas/freelance pun ikut disasar PPh 21.
Dasar hukum pengenaan PPh 21 merujuk pada pasal 21 UU PPh perubahan terakhir (UU 36/2008). Makanya jenis pajak ini sering disebut sebagai PPh 21. Lalu, buat pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh 21, itu tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-16/PJ/2016.
Saya coba jelasin ke Simar sambil kasih rujukan peraturan-peraturan tadi kalau dia mau tahu lebih detail lagi. Dia jawab sip doang. Saya kira udah cukup.
Tapi, kemudian hari dia nanya lagi. Ternyata dia lebih bingung mahamin ketentuan pasal tertentu di peraturan tersebut. Saya maklum sih, karena bahasa hukum emang jelimet (atau emang sengaja dibikin begitu oleh DPR dan pemerintah plus jajarannya, biar banyak rakyatnya yang pusiiing???).
Selain jelimet, bahasa hukum juga tak jarang mesti dimaknai secara mutatis mutandis. Artinya, untuk memahami sebuah materi muatan pasal tertentu, tidak hanya cukup dengan membaca pasal itu saja, tetapi juga mesti memahami ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan pasal itu. Nah, tambah jelimet, kan?
Daripada kalian makin bingung kayak Simar dan biar kalian nggak gampang dikibuli para pengusaha/pemberi kerja, saya bikinlah tutorial ini. Langkah-langkah berikut ini merupakan hasil interpretasi saya terhadap Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-16/PJ/2016, yang kemudian saya coba sarikan melalui tulisan ini.
Tapi inget lhooo, langkah-langkah ini hanya sebatas sampe biar kalian tahu, penghasilan kalian itu kena PPh 21 atau nggak. Jadi nggak sampe teknis penghitungan pemotongan PPh 21 itu kayak gimana (ribet soalnya, hehe). Jengjengjeng, ini dia langkahnya.
Pertama, pastikan pekerjaan kalian memang sebagai freelancer.
Ya iya laaah, Bambaaang, kalian yang bukan freelancer ngapain juga baca tulisan ini. Lagi nganggur ya, kayak saya?
Kalok kalian tetep kekeh baca tulisan ini, jelas kalian sudah salah sejak langkah pertama, bahkan sejak kalian baca bagian pembuka tulisan ini.
Kedua, tentukan jenis upah kalian.
Setelah yakin kalian itu freelancer betulan, hal yang segera mesti kalian lakukan adalah menentukan jenis upah yang kalian dapatkan atas pekerjaan kalian. Apakah itu upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan?
Pertanyaan ini penting sekali kalian jawab. Sebab jika jenis upah kalian itu berbeda-beda, maka penentuan langkah berikutnya juga bakal berbeda.
Jika upah atau imbalan yang kalian peroleh itu dibayarkan secara harian, maka jenis upah kalian adalah upah harian. Kalok dibayarkan secara mingguan, maka jenisnya itu upah mingguan.
Untuk upah satuan itu jika upah atau imbalan yang dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang kalian hasilkan. Sedangkan upah borongan adalah upah atau imbalan yang dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu. Untuk upah yang dibayarkan secara bulanan akan dijelaskan pada langkah selanjutnya.
Ketiga, langkah ini untuk jenis upah yang dibayarkan secara bulanan.
Untuk jenis upah ini malah simpel. Kalau upah kalian yang dibayarkan secara bulanan atau jumlah kumulatif upah yang kalian terima dalam 1 bulan kalender itu sudah melebihi Rp4,5 juta, maka upah kalian jelas kena pemotongan PPh 21.
Kalok belum melebihi Rp4,5 juta? Ya, kalian nggak kena PPh 21. Udah, langkah kalian selesai sampai di sini.
Keempat, tentukan rerata upah sehari.
Untuk kalian yang upahnya tidak dibayar secara bulanan, jika jumlah kumulatifnya belum melebihi 4,5 juta rupiah, bakal ada dua kemungkinan. Pertama, nggak kena PPh 21, kalok upah sehari atau rerata upah sehari belum melebihi Rp450 ribu. Kedua, kalok melebihi Rp450 ribu, berarti kena PPh 21.
Nah, untuk jenis upah harian, kan, lebih jelas berapa nominal yang diperoleh dalam seharinya. Tapi jenis upah harian nantinya malah lebih kompleks soal penghitungan nominal PPh 21 terutangnya, yakni ketika nominal hariannya memang tidak melebihi Rp450 ribu, tetapi secara kumulatif dalam 1 bulan kalender ternyata melebihi Rp4,5 juta (kondisi perolehan upah yang begini malah jadi kena PPh 21).
Sedangkan, untuk upah mingguan, satuan, dan borongan, gimana cara menentukan rerata upah seharinya?
Caranya, untuk upah mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu. Kalok upah satuan itu dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang kalian hasilkan dalam sehari. Sedangkan upah borongan itu dibagi dengan jumlah hari yang kalian gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
Saya ambil contoh kasus Simar. Dia dapet proyek senilai Rp3,5 juta. Saya tanya, jenis upahnya berarti apa, Mar, borongan bukan. Betul, upah borongan katanya, dan itu dibayarkan langsung satu kali di akhir proyek.
Nah, proyeknya itu Simar kerjakan selama 20 hari. Jadi upah rerata seharinya: Rp3,5 juta dibagi 20 hari, sama dengan Rp175 ribu/hari (belum melebihi Rp450 ribu). Dengan begitu, seharusnya sih Simar tidak kena PPh 21. Waaah, nggak bener nih kalok si pemberi kerja tetep motong penghasilan Simar atas nama PPh 21.
Sebaliknya, kalok saya mengandaikan, misalnya proyeknya Simar itu diselesaikan dalam 5 hari. Jadi Rp3,5 juta dibagi 5 hari, maka upah borongan seharinya sama dengan Rp700 ribu (sudah melebihi Rp450 ribu). Kalok kasusnya seperti itu, Simar bisa kena PPh 21.
Begitulah langkah-langkahnya. Cukup mudah, kan? Untuk contoh kasus jenis upah lainnya, plus cara penghitungan nominal PPh 21 terutangnya, kalian bisa baca sendiri di lampiran Peraturan Direktur Jenderal di atas.
Oh yaaa, ngomong-ngomong, Simar kabari saya kemarin-kemarin. Katanya bener dia seharusnya nggak kena PPh 21, setelah dia jelasin ke si pemberi kerja. Dan si pemberi kerja cuma beralasan “kurang teliti”. Ternyata… hmmm.
Nah, makanya buat kalian kelas pekerja, pengetahuan literasi hukum itu juga penting. Biar kalian nggak gampang dikibuli pengusaha-pengusaha yang makai dalih PPh 21 atau hukum lainnya.
BACA JUGA Beli Laptop Second Bisa Super Worth it kalau Kamu Ngikutin Panduan Ini dan tulisan Emerald Magma Audha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.