Kosakata bahasa Jawa umumnya dipahami orang Jawa sejak kecil saat diajari orang tua mereka. Kosakata ini biasanya digunakan dalam interaksi sosial, kepada guru, teman, tetangga, pacar, tukang sayur, mertua, dll.
Jika ada pernyataan yang menjelaskan bahwa orang Jawa itu terkenal kaya akan perbendaharaan kata, itu nggak salah, kok. Bahkan saking kayanya, terkadang mereka kebingungan dalam membedakan mana kosakata yang benar dan mana yang salah. Peristiwa semacam ini sangatlah marak terjadi pada mayoritas masyarakat Jawa.
Lalu, apa permasalahan yang ditimbulkan? Banyak masyarakat Jawa yang sering salah dalam memakai kosakata bahasa Jawa saat berkomunikasi lalu mengakibatkan konteks percakapannya terkesan aneh dan bahkan nyleneh. Kesalahan tersebut berupa kesalahan pelafalan dan kesalahan penggunaan. Contohnya seperti berikut ini.
#1 Nuwun atau suwun?
Dalam kosakata bahasa Jawa, jika kita ingin berterima kasih kepada orang lain, kita hanya perlu mengucapkan “nuwun”, atau jika ingin lebih sopan lagi, bisa menggunakan “matur nuwun”, dan jika ingin yang lebih sopan lagi bisa menggunakan “matur nembah nuwun”.
Namun, banyak orang Jawa, termasuk yang di daerah saya (Jember Selatan), lebih familiar dengan kosakata “suwun” dan “matur suwun”. Padahal, “suwun” adalah kata dasar yang kalau dalam bahasa Indonesia artinya “minta”. Ini jelas nggak sesuai dengan konteks percakapan semula, yang mana kita ingin berterima kasih, jadi malah terkesan mengucapkan kata yang bermakna “minta”.
Kosakata “nuwun” dan “suwun”, memang hanya berbeda pada huruf awalnya saja, tapi keduanya memiliki arti yang berbeda pula. Nggak bisa dong dipakai seenaknya sendiri! Ora bisa digawe sapenake udele!
Ada lagi, kemarin saat saya ngopi di warung daerah Jember Utara, saya denger bapak pemilik warung tersebut bilang “kesuwun” kepada pelanggannya setelah membayar kopi. Meskipun sama-sama di Jember, tapi saya masih merasa asing dengan kosakata tersebut. Setahu saya, dalam ilmu morfologi Jawa, awalan “ke-” berfungsi sebagai imbuhan dalam verba pasif yang menerangkan tindakan tanpa disengaja, seperti: kesandhung (tersandung); kegawa (terbawa); ketunjang (tertabrak); dll. Tetapi untuk “kesuwun”? Embuh, lah!
#2 Nuwun sewu atau nyuwun sewu?
Kalau kosakata ini, sih, memang sedari dulu semua masyarakat Jawa sangat notice dan familiar banget kali, ya. Kosakata ini berperan besar untuk menunjukkan etika kita kepada orang lain dan umumnya digunakan sebagai simbolisasi rasa sopan santun, misal ketika kita hendak lewat di depan orang tua.
Lalu, jika ditanya mana yang benar: “nyuwun sewu” atau “nuwun sewu”, jawabannya adalah “nuwun sewu”.
“Nuwun sewu” (permisi) itu tergolong satu kesatuan frasa yang mana kedua kata di dalamnya saling melengkapi, dan jika salah satu katanya dikurangi atau diganti, dapat menimbulkan makna baru. Kalau dalam ilmu bahasa Jawa frasa ini disebut camboran.
Permasalahannya, banyak sekali masyarakat Jawa yang mengganti kata “nuwun” dengan “nyuwun” (meminta) yang pada akhirnya menjadi “nyuwun sewu” (meminta seribu). Saya khawatir saja, sih, jika ada yang mengucapkan “nyuwun sewu” kepada seseorang yang paham betul tentang bahasa Jawa, malah jadi miskom kayak gini,
A: “Pak, nyuwun sewu….” (Pak, minta seribu)
B: “Ora duwe sewu! Duweku limang ewu!” (Nggak punya seribu! Punyanya lima ribu!)
#modyar
#3 Wilujeng atau sugeng?
Wilujeng dalu, Kang. Eh, maksudku sugeng dalu. Eh, rak ya padha wae, ta?
Pada kedua kosakata ini, mayoritas masyarakat Jawa menyikapinya dengan menganggap semuanya sama. Padahal, meski kedua kata tersebut sama-sama berarti “selamat”, tapi secara fungsional, penggunaannya dibedakan.
Untuk “wilujeng”, berfungsi sebagai adjektiva yang cocok kalau dipakai dalam model percakapan seperti ini,
“Sokur bage sampeyan teka kene kanthi wilujeng.” (Syukurlah Anda datang ke sini dengan selamat)
Nah, kalau kata “sugeng”, cocok dipakai pada kalimat ucapan selamat. Contohnya begini, sugeng dalu (selamat malam), sugeng mahargya ariyadi fitri (selamat merayakan idulfitri), dll.
Jadi, jangan dibolak-balik, ya, Gaes!
#4 Lintu atau sanes?
Kalau dalam bausastra Jawa, “lintu” adalah ragam krama dari kata “ijol” (tukar). Sedangkan “sanes’ adalah ragam krama dari kata “liya” (lain) dan “dudu” (bukan). Lalu, apa permasalahannya?
Terkadang, mayoritas masyarakat Jawa lebih memahami kata “lintu” sebagai ragam krama dari kata “liya” (lain) dan sedikit dari mereka yang menyadari kalau arti dari kata yang mereka gunakan selama ini salah. Kesalahan penggunaan seperti ini menjadikan maksud percakapan menjadi tidak sesuai konteks. Misalnya gini.
“Nuwun sewu Pak Pulisi, kula namung gadhah arta sementen, arta kula lintuni pun taksih dipunasta ibuk kula.”(Permisi Pak Polisi, saya hanya memiliki uang segini, uang saya tukarnya masih dibawa ibu saya).
Gimana? Rancu sekali, kan, maksud sebenaranya dari anak kalimat yang disisipi kata “lintu”? Kata “lintu” pada kalimat tersebut seharusnya diganti kata “sanes” supaya maksud pembicaraan dapat tersampaikan secara benar. (Arta kula sanesipun = uang saya lainnya).
Kemudian, untuk kata “lintu”, cocok dipakai jika kalimatnya seperti ini.
“Nuwun sewu, Bu, kula badhe lintu arta.” (Permisi Bu, saya hendak tukar uang).
Nah, dari sini, dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman bahasa sangatlah wajar terjadi apabila penutur bahasa itu sendiri bersifat heterogen. Perbedaan bukan menjadi penghalang bagi kita untuk terus mempelajari bahasa daerah di tengah gempuran era globalisasi saat ini. Memang bahasa daerah bukanlah sesuatu yang berurgensi tinggi. Namun, sebagai insan muda yang seharusnya peduli terhadap kelestarian budaya, kewajiban dalam mempelajari bahasa daerah sudah menjadi tanggungan bagi kita bersama.
Salam bahasa! Salam budaya!
BACA JUGA Panduan Dasar Bahasa Jawa yang Solo Banget dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.