Kamu pasti pernah menemui penawaran kerja dengan sistem kekeluargaan? Atau kamu sendiri sedang bekerja di tempat yang mengagung-agungkan sistem ini? Akhir-akhir ini entah kenapa banyak yang menawarkan pekerjaan dengan sistem kekeluargaan. Mungkin karena dianggap efektif membuat pekerja betah dan nyaman dengan pekerjaannya.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan teman yang pernah merasakan bekerja dengan sistem kekeluargaan, ternyata capek hati juga lama-lama bekerja seperti ini. Apalagi kalau kamu tipe orang yang tidak enakan, ya sudah pasrah. Mau menolak tidak enak, melawan apalagi.
Karena pengalaman setiap orang berbeda-beda, jadi mari kita fokus saja ke pengalaman tidak enaknya bekerja dengan sistem kekeluargaan. Kalau kamu masih merasa enak dengan sistem ini, ya selamat. Semoga tidak mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.
Pertama, tidak jelasnya tugas pokok dan fungsi alias tupoksi. Sebenarnya sih ada tupoksi, tapi ya sebatas ada saja buat catatan. Nyatanya, hampir semua pekerjaan dikerjakan. Bukan sok hebat, tapi karena terpaksa saja lantaran tidak ada lagi yang mengerjakan. Belum lagi kalau tim kalian ramping, harus siap dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan dua sampai empat orang, justru kalian kerjakan sendirian.
Salah satu teman yang berprofesi sebagai guru dan tidak mau saya sebutkan namanya pernah curcol masalah pekerjaannya. Dengan jiwa menggebu-gebu dia bilang begini:
“Masalah piket di sekolah nih ya, kepala sekolah pernah bilang kalau sekolah kita ini kan sistemnya kekeluargaan, jadi yang lagi enggak sibuk mohon dibantu untuk piketnya. Padahal, jadwal piket sudah ada. Ujung-ujungnya enggak ada yang piket karena sok sibuk semua.”
Kedua, sering dihantui pekerjaan di manapun dan kapanpun tanpa mengenal apa itu hari libur. Saya yakin bekerja secara profesional tidak luput dari gangguan macam ini, lalu apa kabar dengan kami-kami yang bekerja secara kekeluargaan?
Seolah hidup kami dihabiskan untuk bekerja. Malam membahas kerjaan, yang harusnya kami habiskan waktu untuk rebahan. Bahkan diajak ngopi di luar jam kerja, tetap saja membahas kerjaan. Oh, sungguh atasan kami tidak membiarkan waktu kami terbuang sia-sia. Ingin menolak atau mengabaikan, tapi tidak semudah itu. Yang ada malah disindir.
“Eh si anu, kalau libur pasti susah dihubungi. Di-chat sama sekali enggak direspon.”
Iyalah enggak direspon, sudah berprasangka buruk duluan. Pasti mau membahas kerjaan. Belum apa-apa malas duluan jadinya. Padahal belum tentu membahas pekerjaan. Saking seringnya diganggu sampai memilih pura-pura tidak tahu. Oh Tuhan, izinkan saya menikmati waktu libur tanpa gangguan pekerjaan.
Ketiga, sedikit-sedikit muncul kalimat, “Kan kita keluarga.” Kalimat andalan yang dikeluarkan untuk melakukan pembelaan, meminta suatu, atau sebatas menenangkan tim yang sedang uring-uringan.
“Kan sesama keluarga harus saling membantu. Bisa kan bantu mengerjakan ini dan itu?”
“Kita bekerja dengan sistem kekeluargaan, wajarkan kalau saling membantu untuk keberhasilan bersama?”
“Selama ini kita anggap kamu keluarga lho, eh kamu malah sulit dimintai tolong. Jangankan itu, kalau libur saja susah dihubungi.”
Masalahnya, saya sering dipaksa bantu meski jelas kerjaan sendiri saja belum selesai. Sedangkan kalau pekerjaan sendiri sudah selesai lebih rawan disuruh bantu yang lain. Bukannya enggak mau bantu lho, ya. Hmmm…
Keempat, tidak punya kehidupan pribadi. Karena bekerja dengan sistem keluarga, jadi siapapun yang terlibat didalamnya adalah keluarga. Kalau ada masalah, ya diselesaikan secara keluarga alias mau tahu sampai akar-akarnya. Termasuk ikut campur ke ranah pribadi.
Saking layaknya keluarga, apa yang menjadi urusan pribadi sering dibawa-bawa ke pekerjaan. Disuruh cerita setiap ada masalah. Dicarikan solusinya bersama-sama. Tak jarang sampai mengatur lingkaran pertemanan, pakaian, dan makanan.
Rasanya haram bila punya suatu yang kita sembunyikan, punya kebahagiaan lain diluar lingkaran rekan kerja, bahkan punya waktu me time untuk menjaga kewarasan. Bukankah itu semua tanda peduli dan sayang? Tidak beb, kalau peduli dan sayang harusnya dikasih ruang untuk kehidupan pribadi berkembang bukan ikut campur dengan dalih peduli.
Memang tidak semua tempat kerja dengan sistem kekeluargaan melakukan hal-hal yang saya ceritakan di atas dan bisa saja kalian-kalian yang bekerja dengan profesional pun merasakan hal yang sama. Semoga saja kalian selalu bahagia dengan apapun yang sedang kalian kerjakan. Ingat, ada cicilan yang merengek minta dibayarkan. Jadi, semangat bekerja mencari cuan. Jangan lupa, tetaplah menjadi manusia yang bermanfaat bagi kehidupan~
BACA JUGA Empati Warkop Pitulikur dan Fenomena Siswa Belajar Online di Warkop, yang Prihatin Seharusnya Pemerintah atau tulisan-tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.