Waktu merantau ke Jogja dari Malang, saya cukup terkejut karena ada beberapa hal yang nggak saya jumpai di Kota Pelajar…
Banyaknya kampus favorit menjadikan Jogja sebagai salah satu kota favorit untuk menimba ilmu. Manusia muda dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul dan melebur di Jogja. Biaya hidup yang relatif murah menjadi salah satu pertimbangannya. Memang biaya hidup di Jogja masih tergolong murah dibandingkan kampus-kampus favorit di wilayah barat.
Saya menjadi salah satu orang yang merantau ke Jogja untuk menimba ilmu. Padahal di Malang juga ada kampus favorit. Meski begitu saya bersyukur sekali berkesempatan merantau dan banyak mencoba hal-hal baru.
Rupanya nggak terlalu sulit menjumpai anak Malang yang berkuliah di Jogja sehingga saya masih punya teman cerita saat homesick melanda. Tinggal dalam waktu di lama di Jogja membuat saya dan teman-teman menyadari betapa berbedanya Malang dan Jogja.
Daftar Isi
Angkot, transportasi umum utama di Malang yang nggak ada di Jogja
Kalau kalian berkunjung ke Malang, kalian pasti akan menjumpai angkot. Angkot Malang punya ciri khas berwarna biru senada dengan warna kebesaran klub bola kebanggan warga Malang, Arema. Yang membedakan antar-trayek adalah warna garis di badan angkot dan kode trayeknya. Sebelum ojol merajalela, angkot pernah merajai jalanan di Kota Apel. Sekarang populasi angkot memang sudah sangat berkurang, namun eksistensinya masih tetap terjaga.
Sangat lumrah berpergian dengan angkot di Kota Malang. Terutama bagi orang-orang yang nggak punya kendaraan pribadi atau nggak bisa nyetir. Di Jogja, saya nggak pernah melihat angkot sama sekali. Fungsi angkot sudah digantikan oleh Trans Jogja. Namun sesekali saya pernah menjumpai bus kecil seperti Tayo dari daerah pinggiran Jogja. Agaknya orang Jogja lebih suka naik bus ketimbang angkot.
Naik Trans Jogja memang lebih nyaman daripada angkot. Lalu lintas juga menjadi lebih tertib. Namun Trans Jogja hanya bisa berhenti di halte khusus. Buat orang yang terbiasa naik angkot seperti saya, hal ini sedikit merepotkan. Sebab harus berjalan cukup jauh untuk mencapai halte. Jalur Trans Jogja juga terkesan terbatas pada jalan-jalan utama. Lain dengan angkot yang keterjangkauannya lebih luas, bahkan bisa menjangkau daerah pelosok.
Baca halaman selanjutnya: Bahasa Jawa di Malang lebih egaliter dan kasual…
Bahasa Jawa di Malang lebih egaliter dan kasual
Jogja terkenal dengan penggunaan bahasa Jawanya yang pakem. Nggak cuma orang luar Jawa atau daerah Jakarta, beberapa teman saya dari Malang juga mengaku kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Jawa baku. Terutama saat berkunjung ke pedalaman Jogja.
Masyarakat Malang memang terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian. Namun bahasa Jawa yang dipakai di Malang cukup berbeda. Bahasanya lebih kasual dan egaliter. Bukan hal yang aneh kalau kalian mencampur bahasa krama dengan ngoko dan bahasa Indonesia. Secara umum dialeknya pun lebih kasar dibandingkan orang Jogja.
Bisa STMJ-an sampai malam
Jogja sangat terkenal dengan budaya angkringannya. Walaupun sebenarnya bukan berasal dari Jogja, angkringan telanjur diidentifikasi sebagai tempat nongkrong wajib di Jogja. Selain angkringan, ada warmindo yang jadi tempat nongkrong idola para mahasiswa. Baik di angkringan maupun warmindo, keduanya sama-sama tergolong murah.
Kalau di Malang, kalian bisa mencoba nongkrong malam hari di kedai STMJ. Jualan utamanya STMJ (susu, telur, madu, jahe) dengan berbagai variasinya. Ada SM saja, SMJ, STMJ ditambah rempah, dan sebagainya. Hidangan pendampingnya yang umum adalah roti bakar. Segelas STMJ hangat sangat sempurna untuk menemani obrolanmu bersama teman-teman di tengah dinginnya udara malam Malang. Minuman ini juga kerap diandalkan saat masuk angin maupun kelelahan.
Di awal-awal kedatangan saya di Jogja, saya kesulitan menjumpai kedai STMJ. Rupanya STMJ dijual di kedai susu seperti di Solo. Di sana STMJ nggak menjadi bintang utama, sebab jualan utamanya adalah susu murni aneka rasa. Sepertinya STMJ memang bukan minuman yang populer di Jogja. Tapi siapa juga yang butuh STMJ kalau udara di Jogja saja segerah itu?
Sound horeg jadi hiburan yang cukup populer di Malang
Sekitar 5 tahun belakangan sound horeg menjadi hiburan yang semakin lumrah di Malang Raya. Meskipun berisiknya minta ampun, nyatanya acara cek sound selalu berhasil mengumpulkan banyak massa. Sound system rakitan khusus berukuran jumbo ditumpuk hingga beberapa meter untuk menghasilkan suara yang menggelegar. Tak ketinggalan kemerlap lampu sorot beraneka warna agar susananya lebih mirip dengan diskotek.
Asal tahu saja, sound horeg sudah merambah ke acara karnaval. Sepanjang Agustusan kemarin, sudah beberapa kali saya menonton karnaval dan sebagian besar menggunakan sound horeg. Template-nya sama, seperangkat sound diangkut dengan mobil di barisan paling depan atau belakang. Kemudian ada barisan orang-orang berkostum yang menarikan koreografi khusus. Lama nggak nonton karnaval membuat saya asing dengan template baru ini.
Sejujurnya saya kurang menyukai pertunjukan seperti ini. Bikin telinga pengang dan jantung berdebar. Jeda antar rombongan karnaval juga semakin panjang sejak adanya sound, bisa 30 menit. Padahal dulu nggak ada jeda sepanjang itu. Sebentar saja langsung buyar, dan nggak menyita waktu.
Untung saja di Jogja nggak ada tren sound horeg. Mendingan nggak usah ada, deh. Daripada terganggu dengan suara kebisingannya.
Walaupun ada perbedaan antara Jogja dan Malang, namun nggak terlalu menyulitkan bagi para perantau asal Malang. Banyak yang merasa betah dan menganggap tinggal di Kota Pelajar itu cukup menyenangkan.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kenapa Malang Terkesan Ingin Menjadi Jogja?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.