Dulu, nonton MotoGP itu menyenangkan. Beneran menyenangkan, terutama waktu Valentino Rossi masih berjaya. Meski dia begitu mendominasi, tapi pesaingnya ngeri-ngeri juga. Saking jagonya Rossi aja sampe balapan kelas dunia jadi kek “taman bermain:.
Itu dulu, sekarang? Hadeh. MotoGP sekarang nggak semenyenangkan dulu. Terlihat banget dari jumlah penonton yang merosot. Bisa dibilang, balapan ini mulai ditinggalkan oleh penggemar. Pantes balapan di Mandalika kemarin pake gimmick pawang hujan, penontonnya pada lari.
Kalian bertanya-tanya, kok bisa balapan bergengsi kayak gitu ditinggal penonton? Nih saya kasih alasannya.
#1 Regulasi motor yang nggak mashok
Di MotoGP ada dua tim yang beradu kecepatan di lintasan. Yaitu, tim pabrikan dan tim satelit. Tim pabrikan bisa dibilang sebagai tim utama dengan sokongan dana berlimpah yang berasal dari pabrikan besar yang memproduksi motor di dunia secara massal. Sedangkan tim satelit bisa dibilang sebagai anak dari tim pabrikan. Mereka masih terhubung dengan tim utama namun dengan sokongan dana yang terbatas.
Di era awal motor 4-tak, setiap tim dibebaskan membangun motor mereka masing-masing dengan batasan kubikasi maksimal 990cc. Tim pabrikan dengan sokongan dana melimpah memungkinkan mereka bereksperimen demi menciptakan motor tercepat. Mulai dari membangun mesin motor berkubikasi besar hingga ke pemilihan ban. Hal yang sulit dilakukan oleh tim satelit dengan dana terbatas.
Maka nggak heran di era itu kamu bakal melihat motor 4-tak 500cc beradu lari dengan motor 4-tak hampir 1000cc. Kesannya memang nggak adil dan setara, namun di situlah justru letak keseruannya. Lebih lagi mesin berkubikasi besar juga menuntut kemampuan pembalap dalam menjinakkannya. Mungkin kamu ingat Casey Stoner pernah mengalami penyakit aneh nggak terjelaskan gara-gara sulitnya menjinakkan motor Ducati.
Perlahan MotoGP mulai menyeragamkan motor dan pemilihan ban. Motor yang dipakai tiap tim untuk semusim balapan pun mulai dibatasi hingga hanya boleh memakai enam motor. Lebih dari itu, pembalap akan kena penalti. Pembatasan ini membuat tim yang bersaing memiliki keterbatasan melakukan eksperimen demi menciptakan motor yang balance.
Segala penyeragaman ini juga membuat banyak tim satelit untuk mengundurkan diri dari ajang balapan MotoGP. Banyak tim satelit nggak mampu memenuhi syarat yang diterapkan Dorna, selaku penyelenggara balapan MotoGP, karena keterbatasan dana.
Keadilan nggak selalu berarti sama rata, barangkali pepatah ini berlaku dalam kasus tersebut.
#2 Hadirnya ECU
ECU alias Electronic Control Unit merupakan perangkat yang dipasang pada motor pembalap buat mengatur segala kontrol yang ada pada motor seperti traksi, sasis, torsi, hingga wheelie. Mari abaikan segala istilah njelimet di atas karena bakal jadi kelewat panjang jika dijelaskan. Singkatnya, ECU berguna buat mempertahankan motor tetap berada di trek saat melewati tikungan. Hadirnya ECU akan memperkecil kemungkinan pembalap mengalami selip ban belakang dan crash.
Motor dengan power yang besar menuntut kemampuan pembalap buat menjinakkannya. Di era 2000-an awal, segala urusan menjinakkan motor menjadi urusan pembalap. Bisa dibilang, dahulu faktor pembalap sangat berperan penting dalam balapan ketimbang motornya sendiri.
ECU hadir di tahun 2015. Dorna selaku penyelenggara balap mewajibkan semua pabrikan menggunakan ECU yang sama hasil racikan insinyur dari Dorna pada MotoGP musim 2016.
Nggak sedikit pula pembalap yang mengeluhkan hadirnya ECU seperti Valentino Rossi dan Casey Stoner. Hadirnya ECU membuat peran pembalap jadi nggak terlalu “penting” lagi. Bisa dibilang, faktor motor dan pemilihan ban sangat berpengaruh pada hasil balapan ketimbang faktor pembalap itu sendiri.
#3 Nggak ada nama-nama besar
Dengan motor yang mudah dijinakkan oleh para pembalap, ditambah besaran kubikasi motor yang seragam, membuat hampir semua pembalap melaju dengan kecepatan yang cenderung konsisten. Nggak ada yang sangat cepat, nggak ada yang sangat lambat.
Maka nggak heran di setiap seri balapan, juaranya bisa berbeda-beda tergantung siapa yang lebih dulu memimpin balapan di lima lap awal. Alhasil alih-alih para pembalap melaju seolah sedang pawai ketimbang menunjukkan aksi saling salip.
Hal semacam ini jarang terjadi di MotoGP era 2000-an. Kubikasi motor yang berbeda, juga pemilihan ban, dan yang terpenting kemampuan pembalap sangat berpengaruh selama balapan berlangsung.
Di era tersebut, pembalap yang salah memilih ban akan merasakan akibatnya sendiri dan harus mencari caranya sendiri demi menyusul pembalap lain. Pembalap yang sangat cepat di lap-lap awal misalnya, akan tersalip di menjelang lap-lap akhir hanya gara-gara salah pemilihan ban. Meski begitu, pembalap masih diberi kesempatan buat melakukan sesuatu. Kemampuan dan pengalaman pembalap akan berguna untuk mempertahankan posisi dan melakukan perlawanan.
Dengan faktor pembalap memegang peranan penting, nggak heran nama-nama besar bermunculan di era tersebut. Valentino Rossi berjaya di era tersebut bersama Max Biaggi. Kemudian muncul nama Casey Stoner yang mampu menjinakkan buasnya motor Ducati sebagai lawan Valentino Rossi. Lalu Jorge Lorenzo. Dan si baby alien, Marc Marquez.
Semua pembalap di atas bisa dibilang memiliki fansnya sendiri yang selalu menantikan aksi mereka di lintasan, sesuatu yang agaknya sulit diulang di MotoGP sekarang.
#4 Sulitnya overtaking
Meski Dorna sering membantahnya, sejujurnya MotoGP sekarang terlihat seperti rombongan touring. Ini terjadi karena minimnya aksi saling salip antar-pembalap.
Selain karena hadirnya ECU yang membuat motor melaju secara konsisten, ada hal lain yang berpengaruh atas minimnya aksi overtaking dari pembalap. Yaitu hadirnya winglet (sayap) di bagian depan motor sebagai sistem aerodinamika.
Winglet berfungsi membuat ban depan motor tetap menapak aspal saat motor digeber di lintasan lurus. Cara kerjanya adalah dengan memanfaatkan tekanan angin untuk menekan ban depan motor yang kerap terangkat saat motor melaju dengan kecepatan tinggi. Ini akan membantu pembalap masuk tikungan lebih cepat karena motor mudah dibelokkan.
Akan tetapi di sisi lain, winglet juga membuat grip (daya cengkeram) ban depan cepat habis dan bisa membuat motor tergelincir karena ban depan kelewat banyak mendapat tekanan. Selain winglet, udara panas yang mengalir dari mesin motor di depan, membuat tekanan ban depan motor di belakangnya ikutan naik. Kondisi inilah yang kemudian membuat para pembalap MotoGP “takut” melakukan overtaking pada pembalap di depannya.
Sebagai penggemar, tentunya aksi overtaking menjadi hal paling ditunggu-tunggu dan sebetulnya di situlah letak kekuatan MotoGP dalam meraih sebanyak-banyaknya penggemar. Dengan minimnya aksi overtaking, MotoGP jadi makin mirip Formula 1.
Baru-baru ini, Dorna memutuskan akan mengadakan Sprint Race pada musim 2023. Sprint Race adalah balapan pendek dengan jarak setengah dari total lap pada balapan penuh. Sprint Race sendiri sepertinya diadopsi dari F1 yang sudah menerapkannya sejak tahun lalu. Bedanya, di balapan F1, Sprint Race akan mempengaruhi starting grid pembalap di sesi balapan penuh.
Sementara di MotoGP, Sprint Race nggak akan mempengaruhi posisi start pembalap saat balapan penuh, namun para pembalap akan mendapat setengah dari poin balapan penuh jika berhasil menyelesaikan Sprint Race. Harapan Dorna, dengan hadirnya Sprint Race, persaingan pembalap di papan klasemen akan semakin sengit dan bakal mengembalikan minat penggemar menonton MotoGP.
Namun, apalah artinya balapan pendek jika balapannya tetep minim overtaking dan lebih mirip konvoi ketimbang balapan.
Jika ingin solusi perkara jumlah penggemar yang terus merosot, Dorna seharusnya mendengarkan saran dari Casey Stoner: kurangi perangkat elektronik pada motor MotoGP secara signifikan dan kembalikan lagi peran pembalap dalam menjinakkan motor.
Penulis: Shofyan Kurniawan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 35 Istilah dalam MotoGP yang Sering Digunakan