Ketika seseorang menginjak kaki di kelas 12 SMA, mereka tergolong bukan seorang anak kecil lagi. Sebab mereka sudah dihadapkan untuk membuat keputusan, yang kelak akan mempengaruhi jalan kehidupannya. Umumnya ada tiga pilihan yang mereka lakukan seperti segera bekerja, kuliah di PTN atau PTS, dan kuliah di sekolah kedinasan.
Khusus untuk mereka yang ingin melanjut kuliah dengan biaya yang nihil plus segera mendapat pekerjaan setamat bersekolah, maka tak salah untuk memilih sekolah kedinasan. Setamatnya dari pendidikan, mereka akan mendapat predikat abdi masyarakat. Selain itu pula, mereka akan menjadi menantu idaman mertua.
Tentu tak luput pula prestasi seseorang yang memasuki sekolah kedinasan dalam pembicaraan ibu-ibu kompleks. “Jeng, jago juga anak kamu bisa masuk ke sekolah kedinasan.” Kalau mengetahui hal tersebut membanggakan memang, tapi buat anak kampus lain, lain ceritanya. Mereka kerap menyodorkan stigma kepada anak yang berkuliah di sekolah kedinasan. Berikut stigma yang yang sering dilekatkan.
Tidak nasionalis karena tidak pernah demonstrasi
Yang namanya mahasiswa itu disebut agent of change. Segala perubahan dalam bumi pertiwi Indonesia konon muncul darinya. Oleh karena itu mahasiswa tak luput dari yang namanya masalah politik. Sebagai bentuk kontribusi mereka dalam masalah perpolitikan adalah melakukan demonstrasi.
Bagi anak kampus lain yang mengetahui anak sekolah kedinasan tidak ikut demonstrasi dianggap mereka cepu dan tidak nasionalis. Padahal kalau ditimbang-timbang anggapan seperti itu adalah keliru. Demonstrasi bukanlah melulu sarana menunjukkan keberpihakan dalam pembangunan negara.
Belajar dengan baik saja sudah cukup plus bekerja dengan tepat nantinya. Lagipula, para mahasiswa sekolah kedinasan akan menjadi PNS, pelayan masyarakat. Kalau terbiasa ikut demo, sulit dipungkiri kegiatan seperti itu akan terbawa sampai kerja. Akibatnya pekerjaan yang dilakoninya tidak efektif. Kalau semuanya nanti yang melakukan demonstrasi, siapa lagi yang akan bekerja?
Bukan mahasiswa sejati
Ada lagi perkataan dari mereka yang menganggap mahasiswa sekolah kedinasan tergolong bukan mahasiswa sejati. Apa lagi itu mahasiswa sejati? Ternyata, kata mereka mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang pernah berambut gondrong. Sempat aku bingung dengan arti itu, tapi membuatku tertawa geli.
Kukira itu mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang sarat akan prestasi dan berkontribusi besar kepada negara semenjak dini. Kalau pengertiannya begitu aku setuju. Tapi istilah mereka tentang istilah mahasiswa sejati ini buat perut terasa mules.
Masalah rambut itu memang suatu selera, tapi yang namanya mahasiswa sekolah kedinasan memang dituntut berpenampilan rapi. Bayangkan saja seandainya mahasiswa sekolah kedinasan berambut gondrong dan terbawa sampai kerja, bisa-bisa situasi berabe. Bayangin aja dulu.
Selain berambut gondrong sebagai penanda mahasiwa sejati, tata berpakaian sekolah kedinasan juga mereka soroti. “Terlalu rapi dan borjuis yang menunjukkan seorang kapitalis. Tidak ada kesan revolusioner yang mendobrak kemapanan.” Begitu kata mereka.
Sekilas mendengar perkataan seperti itu membuat kita salut. Kadar bahasanya terasa tinggi dan membuat kita berdehem atas pemikiran progresif mereka. Yang menjadi masalah dalam kalimat itu adalah sasarannya. Masalah penampilan yang rapi bukan berarti anti revolusioner. Tindakan revolusioner itu tidak diperlambangkan dengan pernak-pernik simbol seperti berpakaian dan seruan-seruan revolusioner belaka. Bagi kami tindakan revolusioner adalah sewaktu memanfaatkan fasilitas sekolah kedinasan dengan baik dan belajar tekun sebagai balas budi jasa kepada masyarakat luas. Sebab sekolah kedinasan yang gratis itu didapat dari pajak yang diberikan oleh masyarakat kepada negara.
Dianggap anak kecil karena jadwal kuliahnya diatur
Perbedaan yang paling mencolok dengan perguruan tinggi lainnya adalah permasalahan jadwal kuliah. Di sekolah kedinasan dibuat jadwal perkuliahan berdasar sistem paketan. Arti simplenya kampus sudah menyiapkan mata pelajaran yang mesti dipelajari dan menentukan jadwalnya sendiri.
Berbeda dengan sistem perkuliah di PTN dan PTS yang cenderung menganjurkan mahasiswanya untuk memenuhi mata kuliahnya sendiri sebagai prasyarat mengikuti perkuliahan selanjutnya. Lagi-lagi yang ingin kami bantah adalah kesan anak kecil yang dilekatkan kepada kami, tidak sepenuhnya benar. Wong kalau rezeki, ngapain ditolak. Kalau ada yang simple kenapa yang sulit. Begitukan fitrah manusia. Penyebab berbedanya proses jadwal kuliah itu jangan tanyakan kepada kami karena kami tidak paham. Sebagai anak negara ya kami mesti mengikuti setiap aturan negara.
Pada akhirnya tujuan kuliah di sekolah kedinasan dan perguruan tinggi lainnya tidak ada bedanya. Sama-sama membuat manusia tercerahkan. Semua kembali bergantung pada preferensi kalian.
BACA JUGA Hal yang Perlu Anda Ketahui Jika Jatuh Cinta pada Perempuan Batak atau tulisan Johan Gregorius Manotari Pardede
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.