Beberapa hari lalu, saya membeli kopi di warung kelontong yang dekat dengan rumah saya. Saat membayar, saya teringat dengan satu tulisan saya yang belum di-publish. Tulisan ini berisi mengenai analisis saya tentang kenapa toko kelontong mlik warga keturunan Cina itu sebagian besar sukses.
Analisis ini terinspirasi dari warung kelontong yang ada di belakang rumah saya yang dulu. Saat awal-awal buka, warung kelontong ini masih kecil. Tiga tahun kemudian, warung itu menjadi berkembang begitu pesat. Bahkan, ada fasilitas isi ulang air galon, showcase dan freezer. Terlihat sekali bahwa warung kelontong mereka sukses dan berkembang.
Dari analisis ala-ala yang saya bikin, saya jadi paham kenapa toko kelontong orang Cina sering sukses.
#1 Jadi tempat kumpul-kumpul
Kalo saya perhatikan, area halaman warung kelontong langganan saya tersebut selalu menjadi tempat kumpul-kumpul warga sekitar pada hampir setiap malam. Pada warung kelontong di belakang rumah saya, hampir setiap malam, bapak-bapak selalu main catur sambil ngopi. Bahkan, si koko pemilik warung pun asyik ikutan main catur. Saya lalu memperhatikan warung kelontong lainnya yang tak jauh dari rumah nenek saya. Di halaman warung ini, hampir setiap malam, para kawula muda ngumpul-ngumpul untuk mengobrol sambil merokok dan main gitar. Bahkan, anak si koko pemilik warung itu ikutan ngumpul-ngumpul juga.
Nah, dari hal itulah saya jadi tahu kenapa toko tersebut sukses. Sebab, dengan dijadikan tempat nongkrong, alhasil terciptalah kedekatan secara emosional. Jangan salah, faktor emosional kerap kali jadi pertimbangan utama lho.
#2 Untung dikit, tapi banyak yang beli
Saya pernah membandingkan harga pulsa di warung kelontong milik orang Cina dengan warung kelontong lainnya. Biasanya, harga pulsa di warung milik orang Cina lebih murah ketimbang lainnya. Biasanya lho ya.
Tak hanya pulsa, harga barang lain di toko kelontong milik koko-koko biasanya lebih murah. Tapi, selalu rame. Nah, mungkin mereka pake azas untung dikit gapapa, tapi ngejar pembeli yang banyak.
Bingung?
Begini mudahnya. Toko A jual beras sekilo 12 ribu. Nah, toko B jualan beras sekilo 11 ribu. Harga beras aslinya adalah 10 ribu per kilo. Di toko A, yang beli 5 orang, untungnya 10 ribu. Di toko B, yang beli 15 orang, alhasil untungnya 15 ribu.
See? Untung dikit nggak apa-apa, yang penting pada repeat order.
#3 Tahu betul kebutuhan konsumen
Ada satu hal menarik yang benar-benar menyita perhatian saya dari warung kelontong milik orang Cina yang berada di belakang rumah saya. Jarak tiga rumah dari warung ini, ada masjid. Menariknya, meskipun pemilik warung kelontong bukan beragama Islam, warung ini ternyata berjualan sajadah dan peci. Tentu saja, target market produk ini yaitu para jamaah masjid tersebut. Dari titik ini, saya menyimpulkan kalo warung kelontong milik orang Cina itu tahu betul barang-barang apa saja yang dibutuhkan warga sekitar.
Dalam berdagang, tahu kebutuhan (calon) konsumen itu amat penting. Soalnya, sebagus apa pun barang yang kamu jual, kalau nggak dibutuhkan, tetep aja nggak laku. Apalagi kita sedang bicara toko kelontong, ini lebih krusial. Kalau paham apa yang konsumen butuhkan, terlebih stoknya lengkap, pasti bakal laku. Lha wong bisa diandalkan, jelaslah jadi tujuan utama.
Itulah tiga hal yang menyebabkan warung kelontong milik orang-orang Cina itu banyak yang sukses berdasarkan analisis yang saya lakukan. Nah kalau kalian tertarik untuk bikin usaha sejenis, tiru strategi mereka, atau belajar sekalian. Selamat mencoba!
Penulis: Rahadian
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Panduan Membuka Toko Kelontong bagi Anak Muda