Lamongan Punya Unisla yang “Keanehannya” Sulit Disaingi Kampus Lain

Lamongan Punya Unisla yang “Keanehannya” Sulit Disaingi Kampus-kampus Lain Mojok.co

Lamongan Punya Unisla yang “Keanehannya” Sulit Disaingi Kampus-kampus Lain (unsplash.com)

Orang-orang lebih familiar dengan Wisata Bahari Lamongan (WBL) atau Soto Lamongan ketika membicarakan Lamongan. Sangat jarang yang tahu kalau Lamongan punya perguruan tinggi bernama Universitas Islam Lamongan (Unisla) kecuali warga lokal. Bagi warga sini, Unisla semacam jadi ikon pendidikan karena jadi andalan orang-orang selepas SMA.

Sebagai salah satu tenaga pengajar di Unisla Lamongan, saya tahu betul seluk-beluk kampus ini. Banyak fenomena yang saya rasa jarang ditemui di kampus-kampus lain atau bahkan dianggap aneh, tapi sangat wajar terjadi di Unisla. Apa sajakah itu?

#1 Di Unisla Lamongan kalian bisa kuliah bareng para guru 

Hal pertama yang unik adalah mahasiswa Unisla Lamongan sering kuliah bareng para guru. Banyak guru yang sudah lama mengajar, entah di sekolah umum maupun diniyah, tapi ternyata belum punya gelar sarjana. Ini hal yang wajar, apalagi bagi mereka yang dulu fokus mondok bertahun-tahun. Ilmunya mumpuni, pengalaman mengajar segudang, tapi ijazah S1 belum ada.

Nah, Unisla ini jadi semacam “pintu masuk” mereka buat melengkapi syarat formal. Jadi jangan heran kalau di kelas ada mahasiswa usia 19 tahun duduk sebangku sama bapak-bapak usia 40-an yang sudah kenyang ngajar anak SMA.

Atmosfernya tentu berbeda. Ada nuansa hormat sekaligus akrab. Kadang mahasiswa muda segan kalau harus diskusi, tapi lama-lama cair juga. Dan lucunya, para guru ini juga sering curhat, “Kalau di sekolah, murid-murid saya begini lho.” Jadi kelas terasa bukan cuma tempat belajar teori, tapi juga ruang berbagi pengalaman nyata.

#2 Kebanyakan dosen adalah kepala sekolah

Hal lain yang menarik di Unisla Lamongan, dosennya banyak yang kepala sekolah. Khususnya di kampus 2, ada cukup banyak dosen terbang yang sehari-hari menjabat sebagai kepala sekolah, pengurus yayasan pendidikan, atau menjabat struktural di lembaga pendidikan.

Kebayang kan, kuliah pendidikan tapi langsung diajar orang yang tiap hari bergelut dengan problem sekolah? Bukan hanya dapat teori, tapi juga kasus-kasus nyata di lapangan. Mereka bisa taktis menjelaskan pentingnya manajemen sekolah. Bagaimana tidak, wong besok paginya mereka rapat dengan para guru, orang tua murid, hingga komite sekolah. Manajemen sekolah sudah seperti makanan sehari-hari bagi mereka. 

Itu mengapa, menurut saya, jurusan pendidikan Unisla cukup solid. Sebab, mahasiswa jadi punya akses langsung ke pengalaman praktis. Mau tanya soal kurikulum, supervisi guru, sampai drama wali murid pun bisa dibahas. Kadang-kadang malah serasa rapat sekolah beneran.

#3 Rentang usia yang merata

Hal ketiga yang bikin suasana Unisla Lamongan beda adalah rentang usia mahasiswa yang sangat beragam. Nggak melulu lulusan SMA/MA yang masih 18-19 tahun. Ada juga yang baru kuliah setelah beberapa tahun kerja. Bahkan, tidak sedikit yang sudah berkeluarga. 

Ini membuat obrolan di kelas lebih kaya. Mahasiswa muda biasanya ngomong soal anime terbaru atau tren medsos, sementara yang lebih tua bisa menimpali dengan pengalaman hidup. Pernah suatu kali ada diskusi tentang manajemen waktu. Mahasiswa muda sambat betapa susahnya life balance ketika sudah kuliah. Mahasiswa yang lebih tua cuma senyum, lalu nyeletuk, “Coba kuliah sambil gendong anak, baru kerasa susah beneran.” Sontak satu kelas ketawa.

Selain itu, mahasiswa yang usianya lebih tua sering jadi “role model” soal ketekunan. Mereka kuliah bukan untuk main-main, tapi murni menambah ilmu dan memperkuat karier. Semangat seperti ini kadang menular ke yang muda-muda.

Bagi saya pribadi, tiga hal ini membuat Unisla Lamongan punya warna yang khas. Kuliah bareng guru-guru, dosennya kepala sekolah, dan mahasiswa lintas usia semua berpadu dalam satu ruang kelas. Kalau di kampus negeri, hal-hal semacam ini mungkin jarang ditemui.

Yah, Unisla Lamongan mungkin belum sebesar kampus negeri ternama. Tapi, tiap kampus punya ciri khasnya sendiri yang sulit dicari di tempat lain. Pun semua kampus tetap menjadi ruang belajar untuk membuka banyak hal, dalam catatan kita memang mau untuk belajar dan membuka diri.

Penulis : M. Afiqul Adib
Editor : Kenia Intan

BACA JUGA Tidak Ada Skripsi hingga Jarang Ketemu Dosen, Hal-hal yang Lumrah di Universitas Terbuka, tapi Nggak Wajar di Kampus Lain.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

 

Exit mobile version