Sebagai mahasiswa Semarang, saya sudah cukup berdamai dengan nasib. Berdamai dengan panasnya cuaca, berdamai dengan tanjakan kampus yang bikin dengkul lemas, sampai berdamai dengan harga kos di Semarang yang kadang lebih nyeremin dari deadline skripsi. Tapi ada satu hal yang masih sulit saya maafkan, yakni kenapa Jogja bisa istimewa sehingga kehidupan mahasiswa di sana terlihat menyenangkan. Sementara itu sebagai mahasiswa di Semarang saya hanya bisa melongo dari kejauhan.
Setiap kali timeline dipenuhi story teman-teman kuliah di Jogja yang lagi nongkrong di angkringan, nonton pertunjukan seni dadakan, atau sekadar naik sepeda sore-sore sambil liat Merapi dari kejauhan, hati ini rasanya kayak habis ditinggal dosen pembimbing tanpa kejelasan. Nyesek, tapi nggak bisa protes.
Memang benar, rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Rasa-rasanya kalau rumputnya ada di Jogja, bukan cuma hijau, tapi udah level taman bunga yang bisa buat healing satu angkatan.
Daftar Isi
Jogja punya lebih banyak toko buku. Ajaibnya, semua nyaman dan mengakomodasi mahasiswa Jogja
Entah kenapa Jogja seperti punya kesepakatan tidak tertulis: setiap sudut kotanya wajib punya toko buku yang nyaman dan estetik. Mau yang tua, baru, kecil, atau besar, semuanya punya aura “datanglah dan temukan dirimu di antara rak-rak ini”. Ada bean bag, ada musik indie pelan, ada mbak-mbak penjaga yang tahu letak puisi Sapardi tanpa harus buka katalog.
Mahasiswa Semarang kayak saya gini bahkan pernah nglaju cuma demi beli buku ke Jogja. Iya, nglaju. Naik motor pagi-pagi, menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih lewat jalur alternatif yang penuh truk dan debu demi sampai ke toko buku di kawasan Taman Pintar. Yang lain nglaju buat kerja, saya nglaju buat mencium bau kertas dan lihat rak-rak buku yang ditata pakai cinta.
Itu pun nggak langsung pulang. Mesti sekalian ritual: beli buku, duduk di kursi rotan, pesan kopi susu gula aren, terus sok-sokan baca novel tebal. Tapi tetap, rasanya puas. Jogja memang tahu cara memperlakukan buku dan pembacanya kayak manusia.
Di Semarang? Yah, saya nggak berani nglaju ke toko buku karena… ya toko bukunya aja masih harus dicari dengan Google Maps dan harapan. Paling, lagi-lagi, ke toko buku area Stadion Diponegoro. Kadang saya mikir, apa memang mahasiswa Semarang diasah mentalnya dari susahnya nyari toko buku? Biar kuat menghadapi dunia yang keras di luar sana.
Tetap saja, perasaan iri muncul dalam diri ini. Apalagi kalau melihat teman saya yang menjadi mahasiswa di Jogja bisa nongkrong santai di toko buku yang juga merangkap kafe, sambil baca Pramoedya dan pesan kopi namanya susah dieja.
Jogja bikin literasi terasa nyaman. Semarang? Ya… literasi masih kalah sama diskon all you can eat.
Jogja punya lebih banyak pilihan kafe dan nggak cuma untuk foto-foto
Entah siapa yang bikin peraturan tidak tertulis ini, tapi Jogja kayaknya wajib punya satu kafe di setiap gang. Minimal. Dan ajaibnya, semuanya beda konsep. Ada yang industrial, ada yang shabby chic, ada pula yang nyeni banget sampai bikin kita ngerasa salah kostum. Belum lagi yang tematik—dari kafe rasa Jepang, sampai kafe rasa “belum move on.” Lengkap.
Ini bukan cuma soal gaya-gayaan. Banyak kafe di Jogja yang memang niat dijadiin tempat belajar dan nugas para mahasiswa, atau sekadar menyusun hidup yang tercerai-berai. Colokan ada di tiap meja, WiFi kenceng, dan suasananya mendukung banget buat nulis puisi galau yang nggak akan pernah dikirim. Kadang, bisa juga ketemu obrolan random yang mendadak filosofis karena pengunjungnya juga nyeni (hampir) semua.
Sementara itu, di Semarang, kafe memang ada, tapi jumlahnya nggak sefantastis Jogja. Kadang, mahasiswa Semarang kayak saya mesti muter dulu setengah kota buat nemu kafe yang cocok buat nugas. Ya kafe yang colokannya nggak cuma satu dan lokasinya nggak bikin motor ngos-ngosan nanjak.
Maklum, kebanyakan kafe di Semarang masih didominasi konsep “penting ada kopi dan WiFi”, bukan “tempat mahasiswa menyelamatkan semester”. Jadi, jangan heran kalau niat awal mau ngerjain tugas, ujung-ujungnya malah jadi sesi foto 3 slide buat IG story, lalu pulang dengan tugas tetap kosong dan hati lebih kosong lagi.
Belum lagi jam operasionalnya suka nggak jelas. Ada yang baru buka jam 2 siang, padahal deadline jam 5 sore. Ada juga yang tutup pas kita udah siap nulis panjang—dan cuma sempat buka laptop buat pasang stiker laptop biar keliatan rajin.
Bukan berarti Semarang nggak punya kafe enak, ya. Ada, kok. Tapi jumlahnya belum cukup buat jadi pelarian kolektif mahasiswa-mahasiswa kelelahan yang butuh free WiFi, colokan, dan sedikit validasi lewat latte art berbentuk hati. Pokoknya soal kafe buat nugas ini bikin mahasiswa Semarang iri deh sama mahasiswa Jogja.
Mahasiswa Jogja bisa makan Preksu, sementara mahasiswa Semarang cuma bisa kepo dari Instagram
Jogja itu surganya ayam geprek. Di antara sekian banyak warung geprek, ada satu nama yang jadi legenda sekaligus bahan iri hati mahasiswa dari luar kota: Preksu. Singkatan dari Ayam Geprek Susu, tempat ini bukan sekadar warung makan tapi sudah jadi semacam tempat ziarah kuliner buat mahasiswa dari berbagai penjuru Nusantara.
Letak Preksu ini strategis banget: di pelbagai titik di Jogja. Mengutip website resmi mereka, ada 13 cabang di Jogja. Meski parkiran motor kadang kayak lapangan upacara 17-an, kebanyakan mahasiswa Jogja tetap rela antre. Kenapa? Karena Preksu ini bukan cuma jual ayam geprek, tapi juga rasa “aku paham kamu mahasiswa, sini makan enak dan murah dulu sebelum dunia menghancurkanmu.”
Sementara mahasiswa Semarang? Yah, paling banter cuma bisa liatin akun Instagram-nya yang followers-nya udah tembus puluhan ribu. Scroll-scroll sambil nahan lapar, terus ujung-ujungnya order geprek biasa lewat ojek online. Mau ngeluh pun percuma, soalnya nggak ada ayam geprek lokal yang jualan dengan branding sekuat “Berani cabai berapa?” sambil nyodorin susu aneka rasa sebagai penawar.
Belum lagi Preksu punya nilai lebih yang bikin iri sampai ke tulang belakang: suasana religiusnya. Kajian Jumat pagi, program tahsin, sampai menu gratis buat yang puasa Senin-Kamis? Ini warung makan apa pesantren trendi, sih? Mungkin kalau ada franchise-nya masuk Semarang, saya rela jadi anak magang tanpa dibayar, asal dikasih ayam geprek bakar kecap tiap hari. Bercanda.
Itulah beberapa hal yang membuat saya sebagai mahasiswa Semarang iri dengan mahasiswa Jogja. Buat mahasiswa Jogja, bersyukurlah kalian karena punya hal-hal yang bikin kami iri. Buat mahasiswa Semarang kayak saya, sabar ya…
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pengalaman Suram sebagai Mahasiswa Perempuan Jogja yang Pulang Malam.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.