Rembang sebenarnya menyimpan banyak identitas menarik, hanya saja sering kalah pamor dibanding daerah lain. Kesadaran itu muncul setelah saya berbincang dengan seorang teman yang merupakan warga asli Rembang. Usai menjalani seminar hasil tesis, dia sengaja main ke kedai saya. Kami sepakat menghindari pembahasan soal semhas—bukan karena nggak penting, tapi kalau ditanyai hal-hal yang sama terus kan rasanya seperti diadili untuk kedua kalinya.
Di sela-sela obrolan santai sambil menikmati nasi daun jeruk, teman saya mulai bercerita tentang berbagai hal unik dari kampung halamannya. Banyak di antaranya terdengar asing di telinga saya, padahal jelas-jelas menarik dan khas, tapi juga ada sisi yang bikin miris. Dari situ saya sadar, ada banyak hal seputar Rembang yang jarang muncul ke permukaan. Padahal sebenarnya patut diketahui banyak orang.
#1 Punya minuman soda khas dari buah kawis
Sebagai warga Blora, tetangga sebelah yang kalau mau ke Rembang modal bensinnya nggak sampai bikin dompet kering, saya sebenarnya nggak punya alasan untuk ketinggalan informasi soal minuman khas daerah tersebut. Tapi begitulah hidup, kadang hal yang paling dekat justru paling sering luput.
Teman saya bahkan sampai meyakinkan saya bahwa Rembang punya julukan “The Cola of Java”. Lantaran daerah ini punya minuman soda khas yang terbuat dari buah kawis.
Sebenarnya teman saya nggak heran jika saya kaget dan nggak percaya akan julukan tersebut. Bahkan menganggap wajar kalau banyak orang nggak tahu. Soalnya populasi pohon kawis di Rembang juga makin menipis. Bukan karena punah, tapi karena dianggap kurang menghasilkan.
Padahal olahan kawis ini rasanya unik. Ada sensasi rasa soda seperti Coca-Cola tapi versi lokal. Saya pribadi sebenarnya pernah minum es kawis sebelumnya, tapi nggak tahu kalau itu produk asli Rembang. Kadang dunia ini memang aneh, manusia hanya ingin menikmati sesuatu tanpa peduli asal-usul yang dikonsumsinya.
#2 Rembang titik sentral perdagangan di Pulau Jawa yang tergerus zaman
Rembang masih kerap dianggap sebagai kabupaten sepele di Jawa Tengah. Padahal kalau ditelisik sejarahnya, Lasem Rembang pernah jadi pusat perdagangan yang cukup bikin kota tetangga iri.
Menurut penuturan mbahnya teman saya—dan didukung beberapa catatan sejarah—pelabuhan di wilayah Rembang pernah jaya bahkan sejak zaman Majapahit. Kapal-kapal silih berganti singgah, membawa tembakau, kopi, jati, dan tebu untuk diekspor, menjadikan Rembang sebagai titik transit yang strategis di jalur maritim Jawa.
Dari keramaian itu bahkan muncul pecinan pertama di Jawa, yang sekarang dikenal dengan “Little Tiongkok”. Jadi kalau ada yang bilang Rembang itu biasa-biasa saja, jelas mereka belum pernah dengar cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sekarang sih Rembang nggak “seheboh” dulu. Tetapi jangan salah, kabupaten ini masih punya satu pelabuhan utama yang masih aktif dan terus dikembangkan untuk niaga dan logistik. Namanya Pelabuhan Sluke.
Pelabuhan ini berfungsi sebagai pengumpan regional, dan pemerintah setempat menargetkan naik kelas jadi pelabuhan nasional pada 2027. Jadi meski dulu sempat meredup, Rembang tetap masih punya peran penting dalam ekonomi dan logistik lokal.
#3 Kota garam yang kehilangan petani garam
Sebagai wilayah pesisir di jalur Pantura yang punya garis pantai panjang, Rembang memang dikenal sebagai salah satu sentra garam di Jawa Tengah. Di sana, tambak garam bukan pemandangan istimewa. Ibarat warung Indomie, ada di mana-mana.
Banyak warga memanfaatkan kondisi alam tersebut untuk mengais rezeki, di samping pekerjaan lain seperti melaut atau bertani. Intinya, garam sudah lama menjadi identitas ekonomi sekaligus budaya masyarakatnya.
Namun, dari cerita teman saya, profesi sebagai petani garam kini makin sedikit peminatnya, terutama dari kalangan muda. Bukan semata-mata soal gengsi, tapi karena tantangannya memang berat. Faktor cuaca yang makin tak menentu membuat proses produksi sering gambling. Satu musim cerah nggak jadi jaminan, bahkan hanya karena satu malam hujan deras bisa langsung menghapus kerja berbulan-bulan.
Belum lagi harga garam di pasar yang tidak stabil dan cenderung jatuh justru pada saat panen raya. Kalau sudah begitu, wajar saja banyak yang berpikir dua kali untuk meneruskan usaha ini. Kata teman saya, “Rembang ki kota garam, tapi petani garamnya ya mulai capek sendiri.” Sebuah ironi yang terasa amat asin, tapi nggak bikin nafsu makan meningkat.
Itulah tiga hal yang jarang orang bicarakan soal Rembang, sebuah kota pesisir yang penuh identitas lokal dan pernah punya kejayaan di masa silam. Dari hasil obrolan ini saya jadi sadar satu hal: sisihkan sedikit waktu untuk saling bertukar cerita, karena justru dari percakapan sederhana itu kita punya peluang untuk mengenal lebih dekat daerah di sekitar kita, menemukan hal-hal yang terlewat, dan memahami fenomena yang selama ini jarang terdengar.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jalan Pantura Rembang Adalah Jalan Nasional Terburuk, Tidak Pernah Benar-benar Layak Dilewati.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















