Pandemi, selain mengenalkan protokol kesehatan, juga mengenalkan kembali kebiasaan bersepeda bagi warga Indonesia. Dan seperti yang kita tahu, protokolnya diabaikan, namun kebiasaan bersepeda tetap berjalan. Dan Kediri, jelas tak ketinggalan tren tersebut.
Saya menyadari bahwa sebagai warga negara yang baik, ikut-ikutan tren sudah menjadi sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan akan membuat menjadi asing. Tak ayal, hampir setiap minggu saya bersepeda berkeliling kota. Menyusuri setiap jalanan Kota Kediri yang mungkin sebentar lagi akan menjadi kenangan bagi saya. Ya, sebentar lagi saya akan lulus kuliah dan meninggalkan kota kecil ini.
Tetapi, bersepeda di sini bukannya tanpa halangan. Tidak seperti bersepeda di Kota Yogya yang sebagian jalanannya sudah mulus dan memiliki jalur khusus sepeda. Di sini, tidak seenak itu. Ada beberapa hal yang tak enak dan menyebalkan menurut saya jika bersepeda di Kediri.
#1 Jalur khusus sepeda yang kurang terawat
Di Kediri, terkhusus di kotanya, hanya ada beberapa jalan saja yang memiliki jalur khusus sepeda. Misalnya, Jalan Raung. Di jalan yang sering dilalui sista-sista Kediri untuk jajan ke daerah GOR Jayabaya ini, adalah salah satu jalan yang memiliki jalur khusus sepeda di sebelah kanan dan kiri. Dimulai dari perempatan Muning, lalu ke selatan, dan berakhir di pertigaan pasar burung GOR.
Selain itu, jalur khusus sepeda juga ada di Jalan Sudanco Supriadi, Jalan KDP Slamet, sepanjang Jalan Veteran, dan Jalan Laksda Agung Suprapto. Ini untuk yang berada di barat Sungai Brantas. Sedangkan yang di timur sungai, jumlah jalan yang memiliki jalur khusus sepeda lebih banyak. Misalnya di Jalan Diponegoro, Jalan Hasanudin, Jalan Teuku Umar, dan Jalan Imam Bonjol.
Rata-rata jalan yang saya sebutkan di atas, jalur sepedanya tak terawat dengan baik. Misalnya yang berada di Jalan Imam Bonjol, jalur sepeda di sana yang masih terlihat jelas hanya beberapa meter saja. Tepatnya berada di Jembatan Ngadisimo, dekat SPBU Ngadisimo-Ngadirejo. Selain di jalan itu, beberapa jalur sepeda memang tidak hilang, tetapi ruas jalannya “gronjal-gronjal” dan bergelombang karena akar pohon.
(jalan rusak pixabay.com)
Namun, bukan untuk menganggap remeh, sebenarnya ini tidak terlalu bermasalah jika melihat jumlah pesepeda di Kediri yang masih belum terlalu ramai. Atau, jika dibandingkan dengan ramainya jalanan Kota Kediri yang hanya di beberapa ruas jalan saja. Pesepeda masih punya banyak pilihan untuk memilih jalan yang aman bagi mereka.
#2 Alih fungsi jalur khusus sepeda
Untuk hal tak mengenakkan ini, terdapat hampir di semua ruas jalan. Misalnya yang ada di utara Pasar Bandar, di Jalan KDP Slamet. Di sana, pesepeda yang memutar dari Monumen Sekartaji dan ingin menuju ke arah Bandar atau Jalan Veteran, harus berhati-hati. Sebab, jalur khusus sepeda di sana digunakan untuk parkir mobil. Hampir setiap hari, selalu ada mobil yang terparkir di sana. Jika bersepeda melewati jalan itu, minimal harus menengok ke belakang jika hendak ke tengah untuk menghindari mobil yang terparkir di sana. Kendaran yang diparkir di atas jalur khusus sepeda, sebenarnya tidak hanya di jalan itu. Ada beberapa jalan lain yang kondisinya sama dan memakan hak pesepeda.
Selain itu, di ruas jalan lain yang memiliki jalur khusus sepeda, misalnya di sepanjang Jalan Veteran. Di sana, sebagian jalur khusus sepeda tertutup oleh gerobak pedagang. Tak ayal, kondisi itu membuat pesepeda yang melewati jalan itu harus mengalah untuk sedikit ke tengah agar tetap bisa jalan. Itu pun bukan tanpa risiko, mungkin saja pesepeda dapat di seruduk dari belakang oleh pengendara lain. Yang paling menyebalkan adalah ketika kita sebagai pesepeda menghindari pedagang itu, lalu sedikit ke tengah, akan ada suara klakson yang selain memekakkan telinga, kadang juga “ngeget-geti”. Kan yo risi to, Bosku. Kene i pengen bersepeda dengan aman dan tenang, je.
(jalur sepeda pixabay.com)
#3 Pengendara yang melawan arus
Selain dua hal di atas, yang menyebalkan ketika bersepeda di Kota Kediri adalah beberapa masyarakatnya yang suka melawan arus. Memang tidak semua, tapi banyak. Selama dua tahunan saya di sini dan bersepeda mengelilingi wilayah kotanya, hampir selalu saya bertemu dengan orang-orang yang suka melawan arus ini.
(kecelakaan sepeda shutterstock.com)
Keluhan saya tentu saja beralasan. Bayangkan ketika bersepeda, mau nggak mau kan kita harus di pinggir, biar aman dari serempetan kendaraan lain yang jalannya lebih cepat. Lalu dari depan ada kendaraan lain yang melawan arus dan menyerobot hak pesepeda, apa nggak mangkel?
Lagi-lagi, di sini pesepeda terpaksa ngalah lagi. Padahal yang salah mereka, mengambil hak orang. Kalau mereka yang ngelawan arus ini mau berhenti sejenak ketika menyadari kendaraan lain yang memang berada di jalurnya, tidak masalah. Masalahnya mereka ini merasa tidak bersalah dan yasudah, nyelonong aja.
Mungkin hanya tiga hal itu saja yang menurut saya menyebalkan ketika memilih untuk bersepeda di Kota Kediri. Selebihnya saya kembalikan ke para pesepeda di Kediri Raya. Mau disikapi seperti apa. Untuk penutup, saya menyarankan untuk para pesepeda agar mlipir ke pinggiran kota saja, ke desa-desa. Mengingat Kediri diapit empat gunung yang jika dapat menemukan angle yang pas untuk menikmatinya, insyaallah tidak menyesal.
Penulis: Rezha Rizqy Novitasary
Editor: Rizky Prasetya