Kemenangan historis Parasite sebagai film terbaik di ajang Academy Award ke 92, membuka mata banyak penikmat film terhadap sinema Korea Selatan. Sinema dari negara ini mendapat kebangkitan kembali setelah tumbangnya rezim militer sayap kanan pada tahun 1987. Sebelumnya, sinema Korea Selatan mendapat banyak sensor dari militer yang berkuasa selama lebih dari 15 tahun. Mengambil tema isu kritis terhadap pemerintah atau kesenjangan sosial dalam film, sudah pasti mustahil, terutama di tengah paranoia rezim militer terhadap ideologi komunisme dan Korea Utara.
Namun, dengan kebebasan berpendapat pascareformasi Korea Selatan, sinema negara tersebut mulai berani mengambil tema kontroversial, tabu, dan kritis sebagai bahan utama industri perfilman mereka. Parasite dalam hal ini bukanlah satu-satunya film dengan tema kesenjangan sosial yang menghiasi sinema Korea. Di bawah ini beberapa film dengan tema sama dengan Parasite yang menarik untuk ditonton pecinta hiburan asal negeri ginseng.
# The Host
Sebelum Bong Joon Ho menyutradarai Parasite dan Snowpiercer, terdapat film berjudul The Host. Film bergenre monster ini menunjukkan untuk pertama kalinya ke penonton, kemahiran Bong dalam mengutak-atik unsur-unsur yang dianggap pakem dalam suatu genre. Ia memutuskan untuk tidak mengambil sudut pandang ilmuwan dan militer seperti terlihat dalam banyak film monster Hollywood, Bong berhasil menyelipkan banyak komedi satir terhadap pemerintah Korea Selatan dan militer Amerika Serikat.
Satir tersebut dihadirkan lewat perantara keluarga Park, keluarga miskin yang tinggal di bantaran sungai Han. Di dalam keluarga tersebut terdapat Gang-doo, pria ceroboh yang ditugaskan menjaga lapak dagang keluarganya; Hee-bong, ayah dari Gang-doo sebagai pemilik lapak; dan Hyun-seo, anak remaja dari Gang-doo.
Saat Hyun-seo diculik oleh monster sungai Han yang terbentuk dari mutasi bahan kimia hasil buangan pangkalan militer Amerika Serikat, keluarga Park bertekad untuk menemukan anggota termuda mereka kembali. Bantuan datang dari dua saudara Gang-doo, Nam-il sebagai mantan aktivis mahasiswa yang berakhir pengangguran dan Nam-joo sebagai atlet panahan peraih medali perunggu.
Keberadaan karakter seperti Nam-il berhasil menyelipkan ironi terhadap sulitnya mencari pekerjaan bagi lulusan baru bahkan pascaperjuangan mahasiswa untuk mewujudkan reformasi Korea Selatan. Di lain pihak, karakter seperti Nam-joo menunjukkan betapa kompetitifnya masyarakat Korea akibat sistem kapitalisme, di mana menjadi nomor satu adalah segalanya. The Host adalah salah satu bukti bahwa genre apa pun bisa menjadi kritik politis dan sosial selama ada sutradara yang tepat.
#2 Sympathy for Mr. Vengeance
Film arahan sutradara Park Chan-wook ini mungkin tidak sepopuler Oldboy. Namun, karya pertama dari trilogi balas dendam ini memiliki dua karakter utama dengan latar belakang berbeda drastis. Di satu sisi terdapat Park Dong-jin sebagai CEO perusahaan ternama dan di lain pihak ada Shin Ha-kyun sebagai buruh pabrik tuna rungu. Setelah kehilangan kedua anggota keluarganya secara tragis, kedua pria ini memutuskan melakukan balas dendam. Perjalanan berdarah kedua pria ini untuk menghakimi siapa pun yang dianggap menzalimi mereka akhirnya bersinggungan.
Beberapa tema dalam film ini kembali ditemukan dalam trilogi balas dendam selanjutnya, yaitu Oldboy. Konflik antara si kaya dan miskin diintensifikasi dengan keinginan mereka untuk balas dendam terhadap satu sama lain. Namun pada akhirnya, pesan utama dari trilogi ini adalah balas dendam tidak pernah menyelesaikan masalah dan tidak ada kata menang dalam balas dendam, selain rasa sakit. Baik sebongkah batu kali atau sebutir bulir pasir, di dalam air keduanya sama-sama tenggelam.
#3 Burning
Karya sutradara Lee Chang-dong ini adalah film Korea Selatan pertama yang masuk daftar 9 terbaik untuk nominasi Film Berbahasa Asing terbaik di Academy Award. Satu tahun sebelum Parasite menang di kategori tersebut. Terkenal akan film melankolisnya, Burning berbeda dari kebanyakan karya sutradara yang pernah menjadi Menteri Kebudayaan Korea Selatan ini. Film ini berkutat pada hubungan pertemanan antara Lee Jong-su dan Shin Hae-mi dengan Ben, playboy kaya raya nan misterius.
Jong-su digambarkan sebagai mahasiswa Sastra dengan mimpi menjadi penulis novel dan terpaksa bekerja serabutan setelah lulus. Keadaan rumahnya juga tidak baik sejak ibunya pergi meninggalkannya dan ayahnya baru-baru ini didakwa menyerang orang lain. Di lain pihak, Hae-mi digambarkan bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) dan tinggal sendiri setelah keluarganya terlilit hutang.
Kontras langsung terasa saat penonton dihadapkan dengan Ben dan gaya hidupnya. Pada usia muda, Ben mengendarai mobil sport dan tinggal di apartemen di daerah mewah. Pekerjaannya tidak jelas selain mengundang wanita kencan dengannya di kafe, makan malam di restoran mewah bersama keluarganya, dan mengundang temannya pesta minum wine. Namun, Ben tidak pernah kekurangan uang ataupun teman, berbanding terbalik dengan Hae-mi dan Jong-su.
Sebagai genre thriller psikologis, Burning menekankan diri pada perspektif antara si kaya dan miskin dengan dialog minim. Bagaimana mereka melihat satu sama lain dan dunia, terlihat lewat tindakannya daripada kata-kata. Penonton akhirnya diberi kebebasan untuk menentukan interpretasi mereka terhadap situasi karakter. Dan kesimpulan penonton bisa jadi dipengaruhi status ekonomi mereka sendiri.
Dilihat dari keberadaan film di atas, kebebasan sinema Korea Selatan untuk mengambil tema sensitif dan kontroversial bisa dibilang salah satu kunci kesuksesan mereka. Dalam industri seni, kebebasan berekspresi adalah faktor utama dalam perkembangan sektor tersebut. Semoga sutradara Indonesia semakin banyak yang berani seperti mereka dalam mengangkat isu sosial dan politik sebagai bagian dari ekspresinya.
BACA JUGA Rekomendasi Film Korea Bergenre Komedi buat Hibur Hari Beratmu dan tulisan lainnya dari Raynal Arrung Bua.