Kalau kita bicara soal kuliner enak, murah, terjangkau, dan mudah ditemui, salah satu yang terlintas di pikiran kita adalah nasi rames. Kita, saya dan juga kalian yang membaca tulisan ini, pasti tahu bahwa nasi rames ini identik dengan makanan yang enak dan murah meriah. Selain itu, kuliner ini juga nggak terbatas ruang dan waktu. Maksudnya, di kota mana pun ada, dan jam bukanya panjang, bahkan ada yang sampai 24 jam.
Maka nggak heran kalau warung nasi rames itu nggak pernah sepi pembeli. Ya gimana, makanannya enak dan murah, kadang buka 24 jam, pilihannya banyak pula. Tiap warung kadang punya menu yang berbeda, dan tiap kita makan di sana kadang pilihan lauknya juga nggak selalu sama. Sesuai dengan makna kata “rames”, yang kalau kata banyak orang artinya “ora mesti”.
Namun, di tengah populer dan berkuasanya nasi rames, kita mungkin kerap menemui keanehan-keanehan, hal-hal yang janggal dari makanan ini, khususnya dari penjualnya. Keanehan dan hal yang janggal ini kadang bikin kita sebagai penikmat kuliner ini mikir, “kok jadi gini, sih?” Dan keanehan serta kejanggalan inilah yang jadi semacam dosa bagi para penjual nasi rames di luar sana.
Memangnya apa aja dosa-dosanya? Sini tak kasih tahu.
Nge-branding nasi rames jadi premium
Mungkin kita pernah menjumpai ada sebuah tempat makan yang menjual nasi rames (atau bahkan tempatnya), tapi ada branding premiumnya di sana. “Nasi Rames Premium”, gitu biasanya. Tempatnya agak-agak mewah, makanannya juga terlihat terlalu mewah, jualannya bisa di mall, dan harganya bisa dua kali lipat atau lebih dibanding harga standar nasi rames pada umumnya.
Ini yang menyebalkan. Buat saya, nge-branding kuliner ini jadi premium itu sama sekali nggak cocok. Bahkan keliru!
Kita pencinta dan pemakan kuliner ini itu nggak butuh hal-hal yang premium di sepiring nasi rames kita. Kita nggak butuh makanan yang berasal dari bahan premium. Jelas, kita nggak butuh penyajian makanan yang terlalu rapi. Kita cuma butuh makanan yang enak, layak, dan murah. Tumplekin semuanya di satu piring, itu lebih appetizing.
Lagian, branding premium itu cuma akal-akalan biar bisa jual dengan harga tinggi. Jualan nasi rames dengan harga tinggi itu aja udah menyalahi prinsip. Ada-ada aja.
Dibungkus pakai boks, bukan pakai kertas bungkus atau daun
Masih agak nyambung dengan nasi rames premium, kita mungkin beberapa kali menemukan ada warung atau penjual yang kalau ada pembeli minta bungkus, mereka membungkusnya pakai boks (styrofoam), bukan pakai kertas bungkus atau daun pisang. Ini yang agak melenceng dari nasi rames. Aneh banget.
Nasi rames kalau dibungkus itu treatment-nya sama kayak nasi padang. Harus dibungkus pakai kertas bungkus, nasi dan lauknya harus jadi satu, biar semuanya meresap, semuanya menyatu. Biar esensi ramesnya itu ada dan riil gitu. Jangan membungkusnya malah pakai boks (kayak nasi kotak) atau pakai styrofoam. Selain aneh, bentuknya jadi nggak cantik.
Okelah kalau ada pesanan partai dalam jumlah banyak, silakan aja pakai boks. Tapi kalau yang beli perorangan, beli cuma satu, dua, atau tiga bungkus, ya mending pakai kertas bungkus atau daun pisang aja, lah.
Buka lebih dari 12 jam tapi masaknya nggak dua kali
Sudah jadi keharusan bagi warung makan, terutama warteg atau nasi rames, yang buka lebih dari 12 jam, untuk masak lauk dan sayurnya dua kali. Masak dua kali ini bukan hanya menghangatkan masakan sebelum dihidangkan, ya. Tapi benar-benar masak dua kali. Pagi sebelum buka, dan nanti siang atau sore di tengah jam buka. Apalagi kalau bukanya 24 jam, bisa tiga kali itu masaknya.
Tapi, kita mungkin sering menemui warung nasi rames yang jam bukanya lebih dari 12 jam (dari jam 6 pagi sampai jam 9 malam, misalnya), tapi masak lauk dan sayurnya nggak dua kali. Paling kelihatan itu dari sayurannya. Sayur labu siamnya pucat, oseng tauge-nya layu, dan sebagainya. Bahkan kalau dihangatkan aja, pun, masih akan kelihatan nggak segar.
Makanya, kalau masak jangan langsung sekali banyak. Dikit-dikit aja dulu. Nanti kalau yang di etalase udah kurang dari setengah, baru masak lagi, refill lagi. ‘Kan gitu enak, biar tetap segar masakannya.
Itulah setidaknya 3 dosa penjual nasi rames yang masih kerap kita jumpai. Sebenarnya ini bukan dosa yang akan otomatis menghancurkan bisnis atau mengantar ke neraka. Ini cuma dosa yang akan bikin pelanggan protes sedikit, hilang sebentar, dan akan balik lagi nanti kalau sudah berbenah.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Rekomendasi Warung Nasi Rames Legendaris di Jogja yang Wajib Dicoba Sekali Seumur Hidup
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















