Bicara salat, ada satu elemen penting di dalamnya yg mau tidak mau, suka tidak suka, sering kali kita terjebak atau kadang juga kita dijebak untuk berada di posisi ini. Yap, jadi imam salat. Posisi ini adalah palugada persembahyangan kita kepada Sang Maha Disembah. Posisi ini merupakan sesuatu yang sangat sakral. Di banyak ayat Alquran, posisi ini memiliki cara khusus penentuannya. Nggak main-main, lho. Bahkan tata cara pemilihannya aja dijelaskan di buku petunjuk beribadah.
Masalah memilih imam salat ini telah menggerogoti setiap lini kegiatan persembahyangan yang sakralnya harus dinomorsatukan tersebut. Ini biasanya terjadi ketika ada agenda pemilihan imam salat secara tidak ideal dan terkesan aneh. Alih-alih sesuai dengan apa yang disebutkan dalam buku pedoman salat lengkap, kita malah bikin “aturan sendiri”. Biasanya, orang yang dipilih sebagai imam salat, seperti ini.
#1 Sosok yang lebih tua atau sepuh, kadangkala sudah sakit-sakitan
Dalam sebuah penjelasan, Imam Abu Hanifah, salah dari keempat tokoh besar mazhab memberi penjelasan mengenai syarat menjadi imam salat itu karena usianya yang tua. Kita bisa sama-sama memahami bahwa tua yang dimaksud adalah tua dalam konsep ilmu agamanya pun tua umurnya, tapi proporsional. Terlepas blio konservatif atau tidak.
Permasalahannya, dalam beberapa kesempatan salat jamaah, imam yang diberi tanggung jawab untuk memimpin salat itu tidak lagi masuk kategori tua yang proposional. Akan tetapi, lebih kepada tua banget. Atau kalau kita haluskan, mungkin lebih ke sepuh. Yang bahkan sekedar ngomong saja sudah tinggal satu huruf-satu huruf.
Dan ini jadi perkara, kita kadang tidak tahu apa yang dibaca oleh sang imam. Belum lagi, posisi blio yang sangat ringkih, bahkan dari kelihatannya kita bertanya dalam hati, bajingan banget yang memilih blio. Betapa beban plus-plus ditanggung oleh imam salat yang begitu sepuh itu.
Di satu sisi, harapan kita dianggap menghormati orang tua begitu berapi-api dengan menunjuk blio sebagai imam salat. Namun, di sisi lain kita harus mempertimbangkan kondisinya. Belum lagi jika si imam yang kita “paksa” memimpin salat itu memiliki penyakit. Sangat berdosa sekali kita-kita yang urun rembug memilih blio untuk jadi imam. Apalagi jika dalam kondisi itu, ada orang lain yang lebih tua, tapi masih bertenaga dan potensial.
Namun, beda cerita jika blio justru yang meminta untuk dipilih jadi imam. Nek iki sih, ya tidak tahu harus komentar apa lagi.
#2 Orang yang merdu suaranya
Saya kadang menduga, orang-orang yang memilih imam salat dari jenis ini adalah jamaah tayangan tivi akademi dangdut dan ajang pencarian bakat lainnya melalui olah tarik suara. Bukan, bukan mau mencela tayangan yang mereka sukai itu. Perkaranya di sini, kita sedang memilih imam salat. Dan suara merdu itu jadi poin ke sekian dan harusnya sekadar syarat pendukung. Hal ini tidak masuk dalam posisi utama kategori pemilihan imam salat. Yang justru perlu jadi poin itu adalah bacaanya yang bagus, pemahaman agamanya yang mumpuni, dan tetek bengek lainnya seputar tata cara pemilihan imam salat.
Namun, percaya tidak percaya, saya sering menemukan jenis demokrasi ini dalam beberapa kesempatan salat berjamaah. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada si imam dan jamaah yang memilih blio, tolong cengkoknya itu diperhatikan juga. Eh. Maksudnya, kita ini kan bukan cari pemenang audisi nyanyi di TV, tapi kita sedang mencari pemimpin yang akan membawa suasana salat kita kepada kekhusyukan yang haqiqi.
#3 Yang penting bukan kita atau bukan orang yang kita kenal
Pemilihan imam salat jenis ini biasanya terjadi saat jamaah salat berangkat dari berbagai latar belakang yang sebelumnya tidak pernah saling sapa apalagi kenal satu sama lain. Hal ini muncul dari ketidaktahuan akan bobot dan nilai dari masing-masing orang. Termasuk rasa minder dari diri kita sehingga tidak mau mengajukan diri sebagai imam salat jamaah.
Namun, justru karena keterbatasan pengetahuan kita mengenai orang lain dan memilihnya menjadi imam salat ini yang kadang jadi bumerang. Kita kadang dibuat kaget karena hasil pilihan kita sendiri. Macam ekspektasi kita tentang pemerintah ideal dari sosok yang kita agung-agungkan saat pemilihan umum, eh kok ternyata jauh dari ekspektasi kita semuanya.
Lagian, bisa-bisanya kaget saat salat. Padahal sejak awal kita sudah tahu bahwa ketidaktahuan kita bisa jadi justru berubah 180 derajat. Akan tetapi, kita tetap mematok ekspektasi tinggi. Kan kalau sudah begitu, ya, kita juga sebenarnya yang asu.
BACA JUGA Kebiasaan Orang Indonesia Saat Janjian: Menyebut Waktu Salat sebagai Waktu untuk Bertemu dan tulisan Taufik lainnya.