Sebagai pekerja profesional dalam bidang yang saya tekuni, saya punya keresahan perkara tak ada aturan khusus yang mengatur gaji dan fee yang saya terima. Sebab, para profesional itu punya skillset yang berbeda ketimbang karyawan biasa pada umumnya. Disclaimer dulu, ini nggak merendahkan lho, ya.
Kalau untuk pegawai biasa, gaji mereka diatur lewat Undang-undang Ketenagakerjaan, dan teknisnya mengikuti aturan Perda masing-masing. Detilnya begini. Secara prinsip ekonomi, perusahaan minimal harus mempertimbangkan berapa Purchasing Parity (kemampuan daya beli) masyarakat. Kalau umumnya per bulan masyarakat di sebuah daerah biasa menghabiskan minimal 2 Juta, maka paling tidak harus ada lebihan untuk kebutuhan lainnya. Oleh karena itu paling tidak karyawan harus digaji 50 persen dari purchasing parity sebagai fixed cost untuk kebutuhan sehari-hari.
Itu kalau pegawai biasa, bagaimana bila pekerja profesional? Mari kita bedah.
Professional Rule
Bicara masalah fee profesional, organisasi IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) yang menaungi akuntan publik seluruh Indonesia, asosiasi tersebut menetapkan batasan fee minimum, itu pun didukung juga dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi setiap klien yang akan menggunakan jasa dari akuntan publik yang terdaftar dan resmi, wajib dan harus mau mengikuti batasan minimum fee yang telah ditetapkan standarnya. Jadi nggak ada alasan lagi tuh untuk harga teman-harga teman. Sekali profesional, tetap profesional.
Bicara asosiasi, ada juga profesi lain yang tidak secara eksplisit menetapkan batasan minimum, ya salah satunya seperti profesi saya konsultan pajak. Nggak ada batasan minimum berapa besaran fee yang harus dibayarkan. Jadi terus terang saja secara profesional saya agak bingung dan kesulitan berapa “harga” yang pantas untuk klien baru. Apalagi kalau klien tersebut dari kenalan kita yang sudah nitip “jangan mahal-mahal” ya, sudah susah deh seperti itu.
Jika dibandingkan dengan asosiasi IAPI, kami konsultan pajak, punya metode yang berbeda, selama masih mengikuti bagaimana tata cara profesional rule dan “dianggap pantas”, pekerjaan dari klien pun masih okelah kami ambil. Caranya begini, misalkan kami konsultan pajak mendapatkan pekerjaan untuk mendampingi pemeriksaan atau berperkara di Pengadilan Pajak, tarif yang kami tetapkan adalah RPH (Rate per Hours). Artinya kami dibayar per waktu per jam kerja. Ya mirip-mirip seperti supir taksi lah, semakin kena macet, semakin tinggi bayarannya.
Secara tidak langsung, semakin sulit, semakin njelimet suatu kasus, maka kami akan mendapatkan fee yang lebih besar. Belum lagi kalau kasus tersebut berhasil atau sukses kami tangani, akan ada success fee yang kami terima, istilah lainnya adalah bonus.
Bila tidak sepakat, maka tidak perlulah menggunakan jasa kami sebagai profesional. Apalagi yang sudah memiliki lisensi resmi untuk berpraktik. Selain sekolah kami sulit, ilmu kami juga mahal untuk dipraktikkan. Makanya user yang menggunakan jasa konsultan, lawyer, atau profesional lainnya tentunya adalah orang-orang yang berduit semua.
Reputasi
Besaran fee yang dibayar tidak luput juga dari reputasi dari seorang profesional itu sendiri. Tidak bisa dimungkiri, bahwa semakin mentereng reputasi yang dimiliki, semakin tinggi pula RPH yang ditetapkan. Pernah dengar besaran fee seorang Hotman Paris Hutapea dalam menangani kasus per jamnya? Kalau bayarannya kecil, saya pesimis dia bisa bolak balik Jakarta-Bali dalam waktu yang berdekatan, bisa clubbing tanpa kenal waktu, dan bisa juga punya hotel dan villa mewah yang tersebar di berbagai kota. Itu karena apa? Ya reputasi.
Bila dibandingkan dengan sarjana hukum lulusan luar negeri yang meskipun fresh graduate sekalipun, Hotman Paris akan tetap menjadi primadona dalam menyelesaikan kasus penting. Sebab, reputasinya secara tidak langsung juga mengangkat offering price yang dimilikinya. Sejujurnya, tidak ada patokan berapa sih harga yang pas dan cocok, tapi kalau sudah melihat reputasi yang “high” dan kliennya sudah banyak dan mentereng semua, calon klien pun segan mau menawar harga murah, bahkan tidak jarang banyak yang mundur duluan.
Ya kembali lagi, reputasi.
Saya beri contoh lagi, misalkan saya saja deh. Saya adalah konsultan yang berpraktik di pinggiran kota, klien pun sudah masuk dalam kategori “alhamdulillah lumayan”. Kasus yang kami tangani pun sering dan banyak pula yang berhasil. Konsultan-konsultan kami, sudah banyak makan asam garam perpajakan. Namun, bila kami cari klien sampai “buncruten”, nama kami tidak akan dikenal. Kami lagi-lagi kami bukan firma konsultan yang masuk kriteria “Big 4” atau “Big 5”, yang reputasi, kantornya, dan sumber dayanya melimpah dibandingkan firma Konsultan lainnya. Jadi, prinsip kami, selagi ada klien yang mau memakai jasa kami, baiknya harga kami paskan dengan rata-rata pengeluaran yang pantas, daripada tidak dapat klien sama sekali.
Legalitas
Terakhir namun ini yang paling penting. Menjadi seorang profesional itu, mau tidak mau selain memiliki kemampuan, seorang profesional harus memiliki legalitas yang cukup untuk berpraktik. Misalnya akuntan beregister harus memiliki sertifikat CA (Chartered Accountant), akuntan publik harus memiliki sertifikat CPA (Certified Public Accountant), konsultan pajak memiliki sertifikat Brevet, pengacara harus memiliki izin sebagai pengacara, dan lain sebagainya.
Besaran yang pantas sebagai seorang profesional juga tidak lepas dari berapa legalitas dan sertifikasi yang kita punya. Semakin kredibel seorang profesional, semakin mapan pula sertifikasi keahlian yang dia miliki, maka harga tawar pun akan terus naik. Oleh sebab itu, beberapa profesi akuntansi salah satunya, banyak digemari oleh orang-orang yang memiliki basic Akuntansi dan setara lainnya. Lelah atas tuntutan pekerjaan dan waktu yang padat menjadi alasan kuat mengapa sertifikasi profesional banyak diminati orang-orang. Selain itu, bekerja sebagai profesional adalah hal yang tidak membutuhkan waktu yang seharian penuh ngantor, bisa sambil santai di rumah, bisa sambil jalan-jalan, selama handphone dan email aktif tuntutan pekerjaan pun tidak menjadi masalah.
Tidak heran kan, banyak konsultan atau profesional lainnya punya mobil banyak dan rumah yang bagus-bagus ?
BACA JUGA Salah Kaprah Definisi Penghasilan dalam Perpajakan dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.