Tulisan sebelumnya tentang mengapa nasi padang jadi makin murah sementara nasi di warteg makin mahal, rupanya mendapat respons yang baik dari pembaca Terminal Mojok. Ternyata, banyak orang yang merasakan keresahan yang sama dengan yang saya rasakan.
Oleh sebab itu, sebagai penulis, saya merasa perlu untuk menggali lebih dalam terkait alasan apa yang membuat nasi padang jadi makin murah dibanding nasi di warteg. Kira-kira apa saja, ya?
#1 Bukan asli orang Padang
Alasan pertama harga nasi padang sekarang jadi makin murah dibanding nasi warteg yaitu karena orang yang berdiri di belakang warung nasi padang murah bukanlah orang Padang asli, melainkan warga lokal daerah setempat. Kawan saya, bahkan pernah mendapati warung nasi padang di Semarang yang pelayannya ngapak. Elah jebul yang punya juga orang ngapak, alias bukan orang padang asli. Pantesan harganya murah.
Ya, gimana, ya? Orang Padang asli, pasti tahu betul bahwa nasi padang identik dengan bumbu rempah yang beragam. Selain itu, santan yang digunakan dalam mengolah masakan juga hasil dari dari parutan kelapa, bukan santan instan. Saat ditambahkan dalam proses memasak, santan hasil parutan kelapa asli akan lebih banyak mengeluarkan minyak, sehingga membuat hidangan semakin sedap. Sedangkan santan instan, kebalikannya. Dia tidak banyak mengeluarkan minyak. Jadi kurang sedep, gitu.
Nah, peran santan dalam menciptakan olahan nasi padang yang mantap ternyata tidak hanya terbatas pada santan asli dan santan instan saja. Namun, di mana kelapa itu tumbuh juga turut mempengaruhi cita rasa masakan. Bagi lidah orang Minang, santan yang berasal dari kelapa yang tumbuh di Sumatera Barat akan terasa lebih enak ketimbang santan dari kelapa yang ditanam di Jawa.
Sekarang, coba pikir. Dengan rempah melimpah dan santan yang terbuat dari kelapa asli, apa mungkin harga nasi Padang bisa 10 ribuan saja? Nggak mungkin, Say. Maka, satu-satunya cara supaya nasi padang bisa murah meriah adalah dengan menekan biaya produksi yang timbul dari bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat nasi padang.
Selain itu, ada faktor lain yang bikin warung nasi padang makin gencar dalam bertarung: persaingan dan franchise.
Survive and franchise
#2 Upaya bertahan
Banyaknya warung nasi padang murah yang menyaingi nasi warteg juga dipengaruhi oleh sistem. Bayangkan kamu sebagai pelaku usaha warung nasi padang. Kemudian, kamu melihat satu per satu warung padang di sekelilingmu mulai putar haluan. Dari yang semula warung padang biasa dengan harga normal, tiba-tiba menjelma jadi warung padang murah meriah.
Lalu, kamu melihat bagaimana orang berduyung-duyung pergi ke warung tersebut. Jangan salahkan pembeli kalau mereka pilih yang lebih murah. Keadaan ekonomi yang memaksa mereka berbuat demikian. Lambat laun, kamu sebagai pelaku usaha pun mulai goyah. Mau tidak mau harus ikut arus. Ganti haluan menjadi warung makan padang murah meriah, demi bisa bertahan di industri yang memang sengit ini.
#3 Adanya sistem franchise
Kalau dua poin sebelumnya dilihat dari kacamata warung nasi padang, sekarang mari kita lihat dari perspektif warteg. Jika kalian masuk ke warteg dengan harapan dapat harga murah tapi jebul mahal, bisa jadi kalian masuk ke warteg yang dibangun dengan sistem franchise.
Kenapa? Kalian baru tahu kalau warteg pun ada franchisenya? Itulah. Namanya juga industri.
Berdasarkan beberapa informasi, biaya paket kemitraan warteg ini berkisar antara 135-150 juta. Biaya tersebut, di luar biaya sewa tempat. Dengan biaya operasional yang begitu besar, tak heran jika harga yang ditawarkan di warteg franchise akan berbeda dengan warteg konvensional.
See? Jadi kelihatan kan kontrasnya. Yang nasi padang berlomba-lomba menyediakan makanan murah, yang warteg franchise makin menjamur di mana-mana. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini warteg farnchise mulai bermunculan juga di tempat asalnya, Kota Tegal.
Pada akhirnya, pilihan kembali ke diri kita masing-masing. Mau ngejar makan siang di nasi padang murah meriah, atau beli nasi di warteg saja. Keduanya, sama baiknya. Asal ada duit buat bayar.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Warteg Pertama di Jogja Merekam Kebiasaan Makan Mahasiswa