Daftar Isi
Nggak semua mahasiswa UIN dari kalangan pesantren dan sekolah keislaman
Jangankan jurusan kedokteran, ada banyak mahasiswa yang mengeluh tentang mata kuliah yang disematkan pada jurusan non-agama, seperti sosiologi, teknik lingkungan, matematika, dan politik. Mereka mengeluhkan bahwa penambahan itu berimplikasi pada nilai IPK yang kecil sebab mereka—mahasiswa UIN—tak semuanya berasal dari pesantren atau sekolah keislaman.
Wajar, mereka tidak memahami sama sekali mata kuliah yang diajarkan. Selain itu, mereka selalu mempertanyakan relevansi mata kuliah keislaman yang diberikan, menjadikan 1 tahun kuliah mereka belajar secara sia-sia dan tidak berguna.
Ilmu keagamaan adalah keilmuan yang tidak bisa diremehkan dan dianggap lebih sederhana daripada ilmu-ilmu sains. Demikian pula ilmu kedokteran. Keduanya, atau bahkan semua bidang ilmu, membutuhkan ketelatenan, kefokusan dan kurikulum yang memadai dalam membentuk kepakaran seseorang. Menambahkan Fakultas kedokteran ke dalam perguruan tinggi Islam, sama halnya meremehkan pengetahuan keislaman yang dalam tanda kutip “tidak butuh banyak fasilitas” atau cukup perpustakaan. Ini sama halnya menyuruh seorang dokter spesialis bedah untuk mengisi kajian tafsir di universitas. Padahal, untuk menjadi keduanya dibutuhkan waktu yang sangat lama dan tidak mudah. Saya yakin Ini salah, dan sangat menghina ilmu keislaman dan sosial.
Sumber daya dan infrastruktur UIN yang terbatas
Fakultas kedokteran itu tidak main-main. Untuk membangun satu fakultas kedokteran, sebuah kampus harus siap menyediakan fasilitas medis yang sangat kompleks. Mulai dari rumah sakit pendidikan hingga laboratorium yang memenuhi standar internasional.
Nah, di sini letak masalahnya: UIN sejak awal tidak dibangun dengan insfrastruktur itu. Tak heran jika dalam kemunculannya, selalu diliputi skandal di baliknya. Tak perlu saya sebutkan, teman-teman bisa membacanya di Google. Ada begitu banyak problem yang dihasilkan fakultas kedokteran di UIN. Atau, tanya mahasiswa UIN secara langsung, Anda akan tahu.
Banyak kampus UIN yang mulai membuka fakultas kedokteran menghadapi masalah besar terkait fasilitas. Rumah sakit pendidikan? Belum tentu bisa diadakan dengan standar yang sesuai. Laboratorium kedokteran yang memadai? Mungkin, tetapi apakah kampus UIN sudah siap menanggung biaya operasionalnya? Fakultas kedokteran di kampus UIN akan menghadapi kesulitan besar dalam menyediakan sarana prasarana yang diperlukan, sementara fasilitas lain yang lebih relevan dengan pengajaran agama bisa terabaikan bahkan tersingkirkan.
Bukan cuma soal fasilitas medis, pembukaan fakultas kedokteran di UIN juga bisa mempengaruhi fakultas lain. Dengan dana yang terbatas, pembukaan fakultas kedokteran bisa mengalihkan dana dari fakultas-fakultas lain yang sebenarnya sudah membutuhkan pembiayaan lebih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini bukan sekadar soal membuka fakultas baru, tetapi soal keberlanjutan dan kesetaraan antara fakultas-fakultas yang sudah ada.
Mari jujur saja, membuka fakultas kedokteran memang bisa jadi peluang untuk meraup keuntungan finansial. Namun, apakah itu alasan yang cukup kuat untuk mengorbankan kualitas dan misi awal pendidikan di UIN? Jika sekadar mencari “cuan” lewat biaya kuliah mahal dan penjualan jasa medis, UIN akan kehilangan jati diri sebagai lembaga pendidikan yang mengutamakan pendidikan berbasis agama.
Pendidikan tinggi harusnya tidak hanya melihat profit, tetapi juga bagaimana memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya umat Islam.
Kebutuhan masyarakat yang berbeda
Jangan lupa, UIN adalah kampus dengan basis masyarakat agamis yang sangat kuat. Di mana lagi kita bisa menemukan lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ilmu agama secara sistematis dan komprehensif? Kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan kedokteran memang penting. Tetapi, apakah itu sesuai dengan kebutuhan mayoritas masyarakat yang memilih UIN untuk belajar agama?
Objek keduanya saja sangat berbeda. UIN, objeknya adalah masyarakat agamis, Bukan Saintis. Selama ini, UIN menjadi tempat bagi masyarakat yang ingin mendalami ilmu agama, bukan ilmu kedokteran. Masyarakat yang memilih UIN menginginkan pendidikan yang lebih berorientasi pada penguatan pengetahuan keagamaan, bukan untuk menjadi saintis medis.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan basis agama, UIN seharusnya tetap berperan sebagai pengayom dan pembimbing proses keagamaan masyarakat. Alih-alih membuka fakultas kedokteran, UIN lebih baik memperkuat bidang-bidang yang secara langsung berkaitan dengan agama dan sosial. Ini akan lebih berdampak pada pengembangan masyarakat yang lebih luas, tanpa harus mengorbankan kualitas pendidikan agama yang selama ini menjadi ciri khas UIN.
Jadi, mari kita pikirkan matang-matang: apakah membuka fakultas kedokteran di UIN benar-benar keputusan yang tepat, atau justru langkah yang terlalu dipaksakan tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi kualitas pendidikan agama yang sudah ada? Jangan sampai kita terjebak dalam euforia mengikuti tren tanpa mempertimbangkan misi dan identitas lembaga pendidikan yang sudah kita bangun sejak awal.
Penulis: Alfian Muslim
Editor: Rizky Prasetya