Gerbong restorasi di kereta itu semacam dunia kecil yang penuh dosa. Bukan dosa yang bikin masuk neraka, tapi dosa sosial yang bikin orang lain pengin gigit sendok.
Semua orang tahu aturan tak tertulis di situ, tapi entah kenapa selalu ada saja yang pura-pura nggak tahu. Entah karena lapar, malas, atau cuma ingin eksis. Dari ujung meja sampai kursi pinggir jendela, dosa-dosa itu terus berulang tanpa ampun.
#1 Nongkrong di gerbong restorasi tanpa beli
Gerbong restorasi itu bukan ruang tunggu. Tapi ada aja penumpang yang duduk manis tanpa pesan.
Dia cuma scroll HP, minum air botol bawaannya sendiri, sambil pura-pura nunggu sesuatu. Kadang duduk setengah jam, kadang sampai pelayan udah hafal wajahnya.
Kursi yang harusnya buat orang lapar malah dipakai buat eksistensi. Dan yang paling ajaib, mereka selalu pura-pura nggak dengar ketika pelayan bilang, “Mau pesan, Mas?”
#2 Bikin gerbong restorasi berubah jadi studio konten
Ada tipe penumpang yang datang ke gerbong restorasi bukan buat makan, tapi buat konten. Tripod dibuka, kamera dinyalakan, gaya mulai.
Piring diatur kayak di iklan. Sendok diputar, kopi diaduk, lalu “cut” sambil cek hasil. Orang di sebelah cuma bisa menatap kosong. Makan nasi goreng jadi terasa kayak ikut audisi video kuliner. Gerbong yang harusnya wangi sotoka malah jadi panggung ego.
#3 Berisik seolah dunia miliknya
Gerbong restorasi bukan kafe privat. Tapi selalu ada yang ngobrol keras, ketawa sampai gema, bahkan kadang teleponan pakai loudspeaker. Semua isi gerbong tahu mereka lagi ngomong apa. Mulai dari masalah pacar, kerjaan, sampai utang temannya yang belum dibayar. Orang lain cuma bisa nunduk, pura-pura gak dengar, padahal pengin menyumpal tisu ke mulut mereka.
#4 Duduk terlalu lama setelah makan
Makan sudah selesai, tapi dia masih duduk santai, buka laptop, ngetik, sambil ngelirik orang yang berdiri nunggu kursi kosong. Kadang pelayan di gerbong restorasi sudah kode halus. Kadang sampai lampu makan dimatikan sebagian. Tapi dia tetap tak bergeming, seperti sedang rapat penting dengan Tuhan.
#5 Sok kenal sama pelayan di gerbong restorasi
Ada juga yang pura-pura akrab sama pramugara gerbong restorasi. Panggil dengan gaya bos. “Mas, kopinya dua ya, cepat ya, kayak biasa.” Padahal baru naik sekali seumur hidup.
Cara ngomongnya kayak langganan, tapi mukanya masih bingung lihat menu. Yang bikin geli, mereka suka sok ngatur padahal gak ngerti kalau sistem di kereta gak bisa disamakan dengan warung pinggir jalan.
#6 Pesan banyak tapi nggak habis
Ini dosa yang kelihatan kecil tapi menyebalkan. Mereka pesan semua menu karena penasaran. Sotoka, nasi goreng, mie, kopi, roti, teh, semua dipesan.
Begitu datang, cuma dicicip sedikit. Alasannya klise, “Porsinya besar banget.” Padahal jelas dari awal, bukan porsi anak kecil. Akhirnya makanan dibuang, sementara orang lain yang lapar cuma bisa ngiler nunggu giliran.
#7 Suka nyalahin harga
Harga makanan di gerbong restorasi memang lebih mahal dari warung biasa. Tapi selalu ada orang yang pura-pura kaget. Padahal dari dulu juga begitu. “Lho, segini mahal amat?” sambil ngomel keras.
Seolah dunia harus tahu bahwa dia baru sadar harga nasi goreng di kereta nggak sama dengan di pinggir rel. Kadang sampai pelayan senyum kaku, antara sabar dan pengin balik ngomel.
#8 Selfie berlebihan di gerbong restorasi
Satu atau dua foto masih oke. Tapi ada yang kayak gak kenal batas. Selfie dengan piring, selfie dengan pelayan, selfie di depan wastafel, selfie sambil mengunyah. Kadang sampai berdiri dan blocking lorong.
Orang lain yang mau lewat jadi berhenti, nunggu adegan selesai. Lampu reflektor kecil dinyalakan, gaya mulut bebek muncul, dan seluruh gerbong menahan tawa dalam hati.
#9 Bawa anak superaktif
Anak kecil bukan masalah. Tapi kalau anaknya lari-lari di gerbong restorasi, mainin tirai, pegang meja orang lain, dan teriak tiap dua detik, itu sudah ujian iman.
Orang tuanya cuma senyum sambil bilang, “Namanya juga anak-anak.” Sementara orang lain sudah kehilangan kesabaran dalam diam. Nasi goreng terasa hambar, kopi terasa getir. Semua gara-gara bocah dan orang tua yang santai kayak di rumah sendiri.
#10 Mengeluhkan kursi gerbong restorasi yang kecil atau sempit
Kursi gerbong restorasi memang kecil dan sempit. Tapi selalu ada yang protes keras, “Kok sempit amat, ya.” Tapi selalu ada yang merasa hidupnya paling tidak adil karena menurutnya sandaran kursi terlalu tegak.
#11 Tidur
Setelah makan, dia selonjor. Kepala miring, mulut terbuka, dengkuran lembut mengisi gerbong restorasi. Pelayan datang, bingung harus bangunin atau biarin.
Orang lain canggung, pengin makan tapi malu ganggu. Gerbong restorasi jadi tempat tidur umum tanpa kasur, tanpa malu, tanpa sadar diri.
#12 Bikin kotor gerbong restorasi
Dosa paling sering dan paling jijik. Saus tumpah, sendok lengket, tisu berserakan, dan remah roti di mana-mana. Kadang sampai bekas makannya ditinggal tanpa rasa bersalah. Padahal ada petugas yang harus bersihkan semua itu. Tapi entah kenapa, selalu ada yang merasa tugas membersihkan dunia bukan bagian dari dirinya.
#13 Nggak mau antre
Gerbong restorasi penuh, kursi terbatas, tapi dia nyelonong aja. Lihat orang nunggu, pura-pura nggak lihat.
Kadang langsung duduk, kadang cuma berdiri dekat meja biar dikasih duluan. Ego besar, sopan santun kecil. Orang lain cuma bisa nyengir masam sambil nunggu karma datang bareng getaran rel.
Inilah 13 dosa para penumpang kereta di gerbong restorasi yang bikin muak dan menyebalkan. Gerbong restorasi kereta itu seharusnya tempat tenang buat makan. Tapi setiap perjalanan, selalu ada dosa-dosa kecil yang menguap di udara.
Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Alasan Penumpang Bawa Makanan Sendiri ke Gerbong Restorasi Kereta
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
