Gua Selarong telah dikenal sebagai tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dari kejaran Belanda. Namun di luar kisah sejarah itu, Gua Selarong menyimpan cerita dari soal tulang-tulang aneh, makam misterius, hingga aneka penampakan dari dunia lain.
***
Mursidi (48) lumayan sibuk di musim liburan akhir tahun 2021 kemarin. Baru jam 10.00 WIB, Minggu (26/12), tapi tiket seharga Rp6.000 di loket jaga di objek wisata Gua Selarong sudah nyaris 150 lembar terjual.
Pengunjung dengan sepeda motor dan mobil melewati pos di situs yang berada di Kembang Putihan, Guwosari, Pajangan, Bantul, 12 kilometer arah selatan pusat Kota Yogyakarta. “Kebanyakan memang masih wisatawan lokal. Kemarin 200-an orang. Sebelum Covid, sehari 50-100 orang, tapi pas Covid rata-rata 30-an tiket sehari,” ujar pegawai Dinas Pariwisata Bantul itu.
Tetenger situs itu mudah saja. Selain tersedia di peta digital, patung sang pangeran—salah satu anak raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono III—Itu lengkap dengan jubah dan kudanya berdiri gagah di gerbang, bahkan hingga di dalam area wisata.
Seperti sudah banyak diketahui, Gua Selarong adalah tempat persembunyian Pangeran Diponegoro setelah kediamannya di Tegalrejo, Yogyakarta, dibakar oleh serdadu Hindia Belanda. Dari gua ini pula, Diponegoro menyusun kekuatan untuk melancarkan perang gerilya sebagai bagian dari Perang Jawa 1825-1830.
Gua Selarong satu dari segelintir objek wisata yang di bawah pengelolaan langsung Pemerintah Kabupaten Bantul. Selain gua ini, ada Parangtritis serta pantai-pantai selatan dan Gua Cerme.
Pada 2019, pemkab memperbarui lokasi wisata di area 2,5 hektar ini dengan menambahkan gedung tempat pemutaran film sejarah tentang gua dan Diponegoro. Selain itu, dibuat panggung terbuka yang rencananya untuk pentas acara seni. “Tapi lalu ada Covid-19, jadi belum terpakai,” kata Mursidi.
Toh, pada Minggu siang itu, pengunjung tampak ramai dan menyebar di berbagai sudut area tempat itu. Dari camping ground yang lapang dan teduh yang jadi latihan olahraga beladiri, sampai klub kendaraan yang kumpul-kumpul di gazebo, hingga sarana bermain yang digunakan anak-anak. Apalagi musim hujan juga membuat dua air terjun di sana mengalir deras.
“Mungkin bisa lebih ramai kalau dipromosikan lagi. Tapi jangan banyak yang diubah karena selain sejarahnya, kondisi alamnya di sini juga bagus,” tutur Soleh (41), asal Tasikmalaya, yang sudah 24 tahun di Jogja tapi mengaku baru kali itu ke Selarong.
Namun, di samping wisata alam dan sejarah, daya tarik utama situs ini tentu saja adalah potensinya sebagai wisata religi alias wisata spiritual, yakni pada liang tempat Sang Pangeran tinggal selama pelarian.
Setelah mengancik ratusan anak tangga dengan kemiringan lebih dari 45 derajat, pengunjung dapat melihat gua itu.
Di sebelah barat, ada Gua Kakung, tempat tinggal Diponegoro. Mulut gua yang telah dipahat persegi ini tak terlalu lebar, hanya dua meter, dengan tinggi dan dalam satu meteran.
Di sisi timur terdapat Gua Putri, tempat istirahat salah satu istri Diponegoro, Raden Ayu Ratnaningsih. Gua ini lebih lebar, tapi sisi batuan di sisi depan lebih rendah sehingga untuk masuk harus menunduk.
Kedua gua itu telah dilindungi bangunan baru berupa gerbang dengan cat putih yang masih tampak baru. Sayangnya, papan keterangan di situs ini tak diperbarui—dengan tulisan mulai pudar, kayu usang, dan kaki-kakinya yang telah lapuk.
Papan nama gua pun ala kadarnya, yakni dari sumbangan KKN mahasiswa. Beberapa bagian gua pun tak luput dari aksi corat-coret dan tak dibersihkan. Di dua gua itu juga tercecer sisa-sisa ritual seperti daun dan keranjang kecil tempat ubarampe sesajen.
Tulang dan pusaka dari masa perang
Mursidi bukan sekadar pegawai tempat wisata biasa. Bapak tiga anak itu boleh dibilang juru kunci generasi ketiga Gua Selarong. Sebab kawasan ini semula adalah milik leluhurnya hingga diwariskan ke sang kakek, Kromo Sentono. Saat diketahui kawasan itu punya nilai historis, lahan Mbah Kromo ditukar guling dengan tanah plungguh desa hingga akhirnya dikelola oleh pemerintah kabupaten.
Meski tanah itu bukan lagi miliknya, Mbah Kromo tetap dipercaya mengelola situs Gua Selarong hingga dilanjutkan ke ayah Mursidi. Seperti ayahnya, Mursidi merawat situs itu hingga diangkat sebagai PNS. Kini, selain Mursidi, ada tiga orang yang mengurus segala hal soal situs tersebut, mulai dari tiket sampai kebersihan.
Mbah Kromo disebut masih punya garis darah dengan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Versi Mursidi, salah satu putri HB III, Raden Ayu Kustini, dengan kata lain adik Pangeran Diponegoro menikah dengan Raden Joyo Kenthol. “Kalau dirunut-runut, saya ini generasi ketujuh HB III,” kata Ketua RT periode 1997-2006 di kampung itu.
Namun Mursidi dan keturunan Mbah Kromo tak lagi memiliki gelar bangsawan. Ini lantaran sang kakek itu memutuskan meninggalkan kehidupan kerajaan. “Mbah pengen jadi warga biasa. Mbah pesen, enggak usah pakai nama raden-raden. Orang keraton kan mungkin banyak selisih paham. Mbah mau cari ketenangan,” tuturnya.
Mbah Kromo wafat pada 2012 di usia 112 tahun. Mursidi menyebut garis keturunan Mbah Kromo merupakan trah paling jelas dari silsilah Raden Joyo Kenthol. Buktinya, kata Mursidi, Mbah Kromo dipercaya sejumlah pusaka, seperti keris dan tombak.
Pusaka yang paling bertuah adalah tombak Kiai Sombro yang punya riwayat digunakan di sejumlah perang. Menurut Mursidi, keampuhan senjata itu terlihat dari pegangan tombak yang tebal oleh daki. Itu, kata dia, sebagai tanda kerap dipegang kuat-kuat oleh banyak orang. “Oleh simbah, saya diminta menjaga Kiai Sombro sebagai bentuk keselamatan,” ujarnya.
Ia mengaitkan amanat sang kakek dan daya Kiai Sombro dengan kejadian beberapa tahun silam saat anaknya masih TK dan nyaris celaka. Kala itu, saat anaknya melintas di jalan untuk membeli layang-layang di kawasan Madukismo, sebuah mobil L300 menabrak si bocah.
“Anak saya sampai ada di bawah mobil. Mobil penyok, kepala anak saya dekok. Tapi enggak ada darah, enggak apa-apa,” ujarnya.
Mursidi tak dapat memastikan rekam jejak Kiai Sombro di kancah perang mana saja, termasuk di Perang Jawa, wabil khusus gerilya Diponegoro di Selarong. Yang pasti, kata Mursidi, setidaknya sekali perang antara Belanda dan pasukan Diponegoro pecah di daerah itu.
Sebelumnya kedua pihak itu kerap kucing-kucingan. Prajurit Pangeran Diponegoro memanfaatkan kondisi alam Selarong yang berupa perbukitan dengan menyebar telik sandi. Sekitar satu kilometer di sisi timur Selarong, ada Bukit Mijil yang menjadi tempat pemantauan. Dari bukit ini, mereka mengawasi jika pasukan Belanda menyerbu. “Kalau kelihatan datang, mereka memberi kode dengan membakar gubuk,” kata dia.
Kobaran api dari Bukit Mijil bakal terlihat dari Bukit Semanjir di sebelah selatan Selarong. Prajurit jaga di Semanjir pun akan segera melapor ke Selarong untuk menyiapkan pasukan.
Lokasi-lokasi bersejarah ini masih terawat hingga kini. Bukit Mijil bahkan disulap sebagai tempat wisata dengan warung dan spot selfie.
Namun suatu kali ini, anak buah Pangeran Diponegoro kecolongan. Pasukan Belanda sanggup merangsek ke kawasan Selarong. Pendukung Pangeran Diponegoro pun menyongsong hingga pertempuran pecah. Korban-korban pun berjatuhan, tak terkecuali para serdadu Belanda. Warga setempat menyebut lokasi perang itu berada di selatan Selarong itu sebagai Banjar Pateman atau Banjaran.
Seratusan tahun kemudian, kawasan itu mulai dihuni dan berkembang menjadi desa. Sebagai bekas lokasi perang, warga kerap menemukan sisa tulang belulang manusia di dalam tanah. Pada medio 1980-an, mereka biasanya menemukan tulang saat membangun rumah.
Uniknya, tulang-tulang itu berukuran lebih panjang dari struktur tulang orang Jawa pada umumnya. Dengan begitu, bisa dibayangkan pula bahwa kerangka itu bukan tulang dari manusia Jawa. “Simbah-simbah menyebutnya balung londo,” ujar Mursidi.
Ya, tulang orang Belanda. Mursidi bahkan sempat mengalami sendiri. Saat mengeduk tanah di sekitar rumah, ia menemukan kerangka bagian paha manusia. Tetangganya sempat pula menemukan tengkorak. “Mungkin dulu di sini seperti kuburan massal,” kata dia.
Dengan banyaknya korban serdadu Belanda itu, kawasan Selarong bisa dibilang tak sekadar menjadi tempat persembunyian, melainkan sebagai palagan untuk memberi perlawanan sengit pada penjajah. Apalagi, kata Mursidi, Diponegoro memilih Selarong sebagai persembunyian bukan tanpa alasan. “Sebelum perang itu beliau sudah sering ke sini,” kata Mursidi.
Diponegoro bertandang ke Selarong untuk semedi dan belajar dari para tetua setempat, terutama seorang pertapa yang disebut Kiai Usrek atau Kiai Secang. “Beliau guru spiritual Diponegoro,” kata dia.
Di atas bukit Selarong, di atas Gua Kakung dan Gua Putri yang menjadi kediaman Diponegoro dan sang istri, terdapat dua makam yang dipercaya sebagai makam Kiai Secang dan istrinya.
Dianggap ‘keluarga’ sendiri
Di sebelah Gua Putri, melintang di atas air terjun kecil, sebetulnya telah dibuat tangga menuju jalan setapak ke arah makam. Namun tangga ini rusak sehingga akses langsung dari gua ke makam jadi terputus.
Dengan begitu, satu-satunya jalan menuju makam Kiai Secang adalah turun dari gua, ke tempat parkir di dekat loket, lalu menyusuri jalan setapak di samping musala. Di siang bolong saat itu, Mojok sendiri menyusuri setapak berbatu yang menanjak ke arah makam.
Dari jalan ini, terlihat pula betapa berkembangnya kawasan Selarong ini dibanding ‘sekadar’ bukit dan hutan untuk pelarian Diponegoro. Di sisi timur setapak, plang Kementerian Agama mengumumkan bahwa tanah itu milik mereka. Rencananya, kawasan tersebut akan menjadi lokasi kampus baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Bersimpang jalan dari arah makam, jika diteruskan tak sampai satu kilometer menembus tegalan, kita juga akan bertemu dengan kompleks perumahan warga. Dalam lima tahun terakhir, tempat ini memang getol menjadi sasaran pengembang membangun permukiman.
Satu kayu kecil bertuliskan ‘makam’ menjadi penunjuk arah ke sebuah tanah datar. Di tengahnya, di sebuah pelataran dari susunan batu dan di bawah pohon yang meranggas, dua nisan batu bersisian. Inilah makam Kiai Secang dan istrinya. Sedikit melangkah, kita bakal berdiri di tubir bagian atas Gua Kakung dan Putri.
Mursidi menyebut pada hari-hari tertentu, seperti malam Selasa dan Jumat Kliwon, masih ada orang-orang yang ngalap berkah di petilasan tersebut. Banyak yang sukses, tapi ada juga yang tak dapat apa-apa
Ia mewanti-wanti, laku spiritual itu harus didasari niat dan tujuan yang baik, yakni untuk berziarah, berharap berkah Yang Mahakuasa, dan mendoakan leluhur. “Jadi bukan untuk niat yang tidak baik seperti minta nomor atau pesugihan. Ini salah kaprah. Bisa diganggu juga,” katanya.
Diganggu apa dan seperti apa, Mursidi langsung mencontohkan seorang asal Magelang yang gagal nyalon lurah. Sudah keluar banyak uang, orang itu ternyata kalah. Untuk mengganti modalnya, ia berniat beli nomor dan meminta wangsit di makam Kiai Secang. “Ngotot minta diantar sampai atas, tapi cuma sebentar. Katanya enggak kuat, ada ular naga besar sekali,” cerita Mursidi.
Menurut Mursidi, sebenarnya lumrah saja tempat seperti Selarong dijumpai makhluk dari jagat lain. “Kalau namanya bukit, tempat sepi, dan banyak pohon, pasti banyak jin atau danyang. Kebanyakan jin di sini jin putih. Tapi kan ada juga jin nakal,” katanya.
‘Penampakan’ yang terjadi pun bermacam-macam. Mulai dari mendengar suara-suara, bunyi gending ata gamelan, hingga melihat patung Diponegoro serasa hidup. “Ada juga yang melihat (makhluk) berjubah putih,” kata Mursidi dengan suara pelan.
Keengganan Mursidi merinci ‘penampakan’ mungkin bisa dimaklumi. Cerita-cerita mistis itu, apalagi di objek wisata yang dikelola pemerintah, bisa berdampak pada citra bahkan pada kunjungan wisata ke destinasi tersebut.
Toh, Mursidi menyatakan sebenarnya tak ada pantangan khusus di Selarong. Hanya saja, seyogianya pengunjung tak berulah di luar kebiasaan selewat surup atau kala matahari terbenam. Akibatnya memang bisa runyam.
Sekitar 2010, sejumlah siswa SMK di Bantul menggelar makrab—malam keakraban—dengan menyalakan api unggun. Saat itu, sebut Mursidi, ada peserta acara yang iseng menaburkan kemenyan di api unggun. “Jadinya 12 anak kesurupan. Teriak-teriak tidak sadar. Ada yang dibawa ke orang pintar dan rumah sakit. Tapi sampai seminggu belum sembuh,” papar Mursidi.
Kasus kesurupan termutakhir terjadi kurang dari setahun silam. Saat itu sejumlah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) melakukan syuting untuk sebuah cerita. “Mereka datangnya sudah surup. Seharusnya kan salat Magrib dulu. Ini tahu-tahu ada yang langsung mandi,” kata Mursidi.
Atas kejadian-kejadian itu, Mursidi dan sesepuh setempat yang harus memulihkan kondisi mereka. “Kalau pakai bahasa manusia, intinya kami meminta maaf,” kata dia.
Warga setempat pun punya adat membuat sesajen saat punya hajat. Isinya, tumpeng nasi kuning, daging mentah, pisang raja, hingga jajan pasar dan daun lompong. Sesajen ini ditaruh di12 titik di Selarong. Mulai di gerbang, pelataran, sendang, gua, hingga puncak bukit.
“Istilahnya, ngguwangi untuk bancakan. Enggak bikin memang ada yang nggak apa-apa. Tapi kalau enggak bikin, kalau pas apes, dandang digeneni kayu beberapa jam enggak akan bisa panas,” kata Mursidi sambil tersenyum tipis.
Dengan sejarah panjangnya, Mursidi pun berani menyebut bahwa Selarong termasuk “pusat peradaban lelembut”. Namun bangsa jin, kata dia, layaknya umat manusia. “Kita mesti saling menghargai saja. Jangan saling mengganggu,” kata dia, singkat.
Harmoni makhluk beda dimensi itu seperti dipaparkan dengan santai oleh Mbah Kamirah, nenek penjual buah di Selarong yang mengaku berusia 89 tahun. Meski kerap buah pisangnya dibeli para peziarah sore-sore untuk ritual, ia menyebut tak pernah melihat ‘danyang’ Selarong atau penampakan aneh-aneh selama puluhan tahun bermain dan jualan di Selarong.
“Malah ndak pernah tahu. Mungkin marga wes mambu kringete. Wes kaya batihe,” kata dia seraya terkekeh. Barangkali para makhluk dunia lain itu sudah hafal bau keringat Kamirah dan tahu nenek itu tak akan mengusik mereka. Alhasil, mereka pun tak bakal muncul menyeramkan hingga menganggap manusia kawan bahkan keluarga sendiri.
Reporter : Arif Hernawan
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Kotagede, Tanah Hadiah Saksi Lahirnya Mataram Islam dan liputan menarik lainnya di Susul.