Gus Dur dikenang jasanya oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sebagai penghormatan, di Gedung Rasa Dharma Semarang ada sinci Gus Dur. Menjelang Imlek warga Tionghoa di Semarang turut memanjatkan doa untuk Gus Dur.
***
Bangunan di salah satu sudut Jalan Gang Pinggir Kranggan, Kawasan Pecinan Kota Semarang menarik perhatian saya. Bukan lantaran bentuk arsitekturnya, namun adanya prosesi jelang Imlek di tempat tersebut.
Saya lantas masuk ke gedung bersejarah yang dibangun puluhan tahun silam dengan nomor 31-31A itu pada hari Rabu (26/1). Bentuknya memang tampak seperti rumah toko (ruko) biasa. Di atas pintu masuknya terpampang papan beraksen aksara Han atau aksara Tiongkok, jika diartikan dalam aksara Indonesia, berbunyi Perkoempoelan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma).
Aroma wangi dupa dari dalam gedung tersebut tercium hingga luar bangunan kala berada di depan Gedung Rasa Dharma. Lebih masuk ke dalam, angka 1876 di dinding berbalut keramik putih, yang merupakan tahun terbentuknya gedung tersebut menyambut saya.
Jeruji besi berwarna merah menyala berukir huruf Tiongkok terlihat memagari altar utama tempat untuk bersembahyang. Tentunya altar tersebut dilengkapi lilin, dupa dan beberapa sinci atau papan arwah yang tertanam aksara Han. Di altar tempat berdoa itu, tampak tiga orang keturunan Tionghoa tengah melakukan sebuah prosesi.
Menyalakan dupa menjadi awal prosesi mereka, setelah itu ketiga orang itu melantunkan doa di depan altar yang dipagari jeruji besi tersebut. Kim Cua atau uang arwah berwarna kuning mereka siapkan, bersamaan dengan itu, satu tampah bambu juga telah dibawa satu di antara mereka.
Uang arwah tersebut kemudian ditempatkan ke dalam tampah bambu untuk dibawa ke luar gedung. Beberapa orang tersebut kemudian beriringan menjauh dari altar utama untuk membawa uang arwah ke luar gedung.
Suara simbal pun mengiri langkah mereka hingga ke luar ruangan. Sampainya di luar Gedung Rasa Dharma, uang arwah yang ditempatkan di tampah bambu pun dibakar. Tampah bambu pun diangkat hingga abu sisa pembakaran uang arwah berhamburan terbawa angin. Alat musik pukul berupa simbal pun seketika dihentikan setelah abu sisa pembakaran uang arwah hilang terbawa angin.
Setelah itu, beberapa orang yang mengikuti prosesi melangkah kembali ke altar utama. Di depan altar utama, mereka langsung membersihkan papan arwah yang ada di meja altar.
Sinci Gus Dur
Dari beberapa papan arwah atau sinci, ada satu yang membuat saya penasaran. Pasalnya semua papan arwah di altar itu terbenam aksara Han, namun ada satu yang yang terukir dengan aksara Indonesia dengan kombinasi aksara Han.
Tulisan KH. Abdurrahman Wahid, sangat jelas terukir di papan arwah tersebut yang di sisi kanan kirinya terukir aksara Han. KH. Abdurrahman Wahid yang dimaksud adalah sosok Gus Dur tokoh pluralisme dan juga Presiden keempat Indonesia.
Jelang Imlek, sinci Gus Dur yang ada di Gedung Boen Hian Tong tak luput dari prosesi pembersihan. Prosesi sakral itu juga menjadi pembuka rentetan acara jelang Imlek oleh anggota Perkumpulan Boen Hian Tong.
Selesai dengan prosesi tersebut, saya lantas berbincang dengan seorang perempuan paruh baya yang mengenakan baju batik. Ia adalah Wenshi Ling-Ling atau Indriyani Hadisuwarto (59), yang juga mengikuti prosesi di Gedung Rasa Dharma.
Ling-Ling mengaku sebagai Sekretaris Perkumpulan Sosial Rasa Dharma, Ia pun bercerita banyak mengenai prosesi yang telah berlangsung, dan menjawab rasa penasaran saya mengenai sinci bertuliskan KH. Abdurrahman Wahid.
Diterangkan Ling-Ling, papan arwah di tempatkan di meja altar untuk mengenang dan menghormati para leluhur entnis Tinghoa. Tak hanya itu, ia juga menceritakan bagaimana papan arwah Gus Dur bisa ada di meja altar Gedung Rasa Dharma.
“Awalnya pada 2012 silam Ketua Komunitas Tionghoa Kota Semarang, Harjanto Halim,mendapatkan inisiatif dari seorang cendikiawan dari Bandung yang bernama Soegiri. Ia menyampaikan agar Gus Dur dapat dikenang serta mendapatkan penghormatan dari komunitas Tionghoa di Semarang,” katanya.
Dilanjutkannya, hal tersebut dikarenakan jasa-jasa Gus Dur terhadap komunitas Tionghoa yang ada di Indonesia. Ling-Ling menuturkan, awal pembuatan sinci Gus Dur melalui proses yang sangat panjang, karena harus meminta izin kepada istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, hingga diskusi santai dengan sahabat Gus Dur yakni KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
“Istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah sangat mendukung papan arwah Gus Dur ditempatkan di Gedung Rasa Dharma. Namun ia meminta agar komunitas Tionghoa Rasa Dharma berdiskusi dengan Gus Mus terkait konsep sinci yang akan dibuat,” paparnya.
Ling-Ling juga mengatakan, Gus Mus merupakan sahabat terdekat Gus Dur yang diyakini mengetahui seluk-beluk serta keinginan sang Bapak Tionghoa tersebut. “Papan arwah atas nama Gus Dur itu tidak semata-mata langsung dibuat dan ditempatkan di sini. Prosesnya cukup lama hampir dua tahun karena harus meminta izin ke ibu Sinta dan Gus Mus, akhirnya ditempatkan di altar Gedung Rasa Dharma pada 2014,” ucap Ling-Ling.
Desain mirip atap Masjid Demak
Menurut Ling-Ling pembuatan bentuk sinci Gus Dur berdasarkan hasil diskusi dengan Gus Mus. Dan disepakati bentuk sinci Gus Dur menyerupai atap Masjid Demak yang memiliki tiga tingkatan.
“Waktu bertemu Gus Mus kami sempat memiliki ide bentuk sinci Gus Dur setengah lingkaran menyerupai kubah Masjid, tapi Gus Mus menolak lantaran itu bukan yang diinginkan Gus Dur. Katanya Gus Dur lebih menyukai arsitektur Masjid Demak yang memiliki makna kebajikan, Islam dan Iman pada setiap tingkatnya,” jelasnya.
Selain berbentuk atap Masjid Demak, Ling-Ling menuturkan aksara Han yang ada di sisi kanan kiri sinci Gus Dur, berarti Bapak Tionghoa Indonesia. Ling-Ling juga menyebutkan, Gus Dur merupakan tokoh agama Islam yang menurut beberapa tokoh Islam, sosoknya tidak boleh digambarkan dan dibuat patung.
“Kami menghormati itu, jadi sinci ini menjadi hal tepat karena tidak menggambarkan sosok menyerupai Gus Dur,” terang Ling-Ling.
Ia menambahkan sesembahan pada sinci Gus Dur juga berbeda dengan sinci lainnya. “Tidak ada daging babi untuk sinci Gus Dur, biasanya kami berikan mendoan, kopi dan ayam ingkung. Namun tetap kami bersihkan sinci tersebut ada saat jelang Imlek, hal itu juga sebagai momentum pembuka rangkaian acara Imlek,” tambahnya.
Ling-Ling menuturkan, bahwa bentuk penghormatan kepada Gus Dur dari etnis Tionghoa tidak hanya ketika hari raya Imlek saja di Gedung Rasa Dharma. Namun, setiap bulan Desember ketika memperingati Haul Gus Dur. Gedung Rasa Dharma juga dijadikan tempat bagi para Gusdurian, Ansor, Banser dan komunitas lintas agama.
“Ketika haul Gus Dur gedung ini juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya para komunitas lintas agama,” terang Ling-Ling.
Sang Bapak Tionghoa
Bagi etnis Tionghoa, Gus Dur merupakan Bapak Tionghoa lantaran jasanya kepada etnis Tionghoa saat menjabat sebagai Presiden keempat Indonesia pada 1999 silam.
Ketika menjadi Presiden Republik Indonesia, Gus Dur menerbitkan Intruksi presiden Nomor 6/2000, pada 17 Januari tahun 2000, tentang etnis Tionghoa bebas menganut kepercayaan dan berekspresi dalam adat budaya atau tradisi Tionghoa.
Usai menerbitkan Inpres, pada 9 April 2001 silam Gus Dur meresmikan tahun baru China atau Imlek sebagai hari libur nasional, melalui Keputusan Presiden nomor 9 tahun 2001.
“Seperti yang masyarakat ketahui jasa Gus Dur selama menjadi Presiden sangat berarti bagi masyarakat maupun Komunitas Tionghoa, tak hanya di Kota Semarang bahkan hingga di pelosok Indonesia,” jelas Ling-Ling.
Sementara itu, Ling-Ling kembali mengenang tatkala Gus Dur di nobatkan sebagai Bapak Tionghoa pada 2004 silam di Klenteng Tay Kak Sie yang jaraknya tak sampai satu kilometer dari gedung Rasa Dharma.
Foto Gus Dur juga dipasang di Klenteng Tay Kek Sie sebagai bentuk penghormatan etnis Tionghoa kepada tokoh Pluralisme di Indonesia. Lebih lanjut Ling-Ling menceritakan, bahwa Gus Dur juga merupakan keturunan etnis Tionghoa.
“Beliau dulu dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa juga di sini tepatnya di Klenteng Tay Kek Sie yang jaraknya tidak jauh dari sini,”ucap Ling-Ling.
Sementara itu Ling-Ling menuturkan, mengenai cerita singkat sejarah cikal bakal dari Gedung Perkoempolan Sosial Rasa Dharma (Bion Hong Tong), Gedung yang didirikan pada 1876 silam merupakan tempat berkumpulnya para cendikiawan etnis Tionghoa di era tersebut.
Menurut Ling-Ling pada zaman dahulu tak semua orang Tionghoa mau masuk dalam perkumpulan tersebut lantaran dianggap sebagai perkumpulan elite orang Tionghoa. Tak hanya itu, ketika awal didirikan tak ada satu pun perempuan yang tergabung.
“Kalau zaman dulu sekali mayoritas anggota itu laki-laki dan orang-orang Tionghoa tertentu saja,”jelasnya.
Ling-Ling menuturkan, seiring berjalannya waktu banyak perubahan dari perkumpulan sosial Rasa Dharma. Lantaran pada dasarnya Rasa Dharma merupakan sebuah perkumpulan yang fokus pada aktifitas sosial.
Selain itu, kini banyak perempuan yang masuk dalam kepengurusan perkumpulan Rasa Dharma. Tak hanya itu, komunitas lintas agama juga ikut andil dalam berjalannya perkumpulan tersebut.
“Anggota Rasa Dharma sekarang ada 250 orang dan itu juga tidak hanya orang keturunan Tionghoa saja, ada juga anak-anak dari lintas agama,”terangnya.
Hingga Kini Gedung Rasa Dharma masih aktif dalam setiap kegiatan sosial, prosesi ritual jelang Imlek dengan memberikan doa kepada para leluhur, termasuk peringatan Haul Gus Dur sebagai bentuk penghormatan kepada Bapak Pluralisme sekaligus Bapak Tionghoa Indonesia.
Reporter : Aninda Putri Kartika
Editor     : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Pengakuan Admin @TxtdrBerseragam: Publikasikan Aparat Nakal Bukan karena Benci dan liputan menarik lainnya di Susul.